‘Ngaji Puisi’ Ajamuddin Tifani (1951-2002)

0

Oleh : Y.S. Agus Suseno

PEKAN terakhir Ramadan 1443 H (Ahad, 25 April 2022), Komite Sastra Dewan Kesenian Banjarmasin (DK Bjm) mengadakan “Ngaji Puisi Ajamuddin Tifani”. Ini adalah “Ngaji Puisi”  kedua yang dilaksanakan DK Bjm di malam bulan puasa (setelah “Ngaji Puisi Hijaz Yamani”, 2021).

ACARA yang dikemas sederhana di Kampung Buku (Jalan Sultan Adam) Banjarmasin ini diawali dengan pertunjukan puisi karya Ajamuddin Tifani (1951-2002) oleh UKM Seni Teater Himmasindo (FKIP ULM) yang berkolaborasi dengan Sanggar Titian Barantai, Universitas Islam Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Uniska) Banjarmasin.

Menariknya, selain dihadiri penyair Ali Syamsuddin Arsy (ASA, pimpinan Kindai Sastra, Banjarbaru), Nasrullah (dosen antropologi FKIP ULM Banjarmasin), aktivis dan pegiat seni, acara juga dihadiri  Muhammad Ikhsan Alhaq (Kepada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banjarmasin); sementara pihak lain yang diundang (termasuk Kepala Bidang Kebudayaan, Disbudparpora Kota Banjarmasin, yang terkait erat dengan tupoksinya) tidak hadir.

BACA : Romantisme Sastra dan Kepenyairan di Kalsel Era 1980-an

Dipandu Nailiya Nikmah JKF (cerpenis, penulis novel, penyair, esais, dosen Politeknik Negeri Banjarmasin) “Ngaji Puisi Ajamuddin Tifani” menghadirkan Dewi Alfianti (puteri mendiang Ajamuddin Tifani yang juga penyair, kritikus sastra, dosen Prodi PBSI FKIP ULM) dan saya (sebagai narasumber).

Dewi Alfianti (DA) menyampaikan pandangannya (sebagai pengamat, akademisi) tentang puisi Ajamuddin Tifani, dan pendapatnya sendiri (sebagai seorang anak) soal Abahnya. DA menyebut puisi Ajamuddin Tifani (AT) dominan bertema religius dan kritik sosial, juga tentang kehidupan sehari-hari, tentang lapar, sikap kekeluargaan dan keakraban AT dengan kawan-kawannya yang, dalam kerja kreatif, selalu hadir di sekitarnya.

BACA JUGA : Amuk Meratus Micky Hidayat, Agus Suseno Suarakan Nelangsanya Loksado

DA juga menyampaikan bahwa AT tak pernah memuji pencapaiannya dalam hal apa pun, tapi justru mengkritik yang, kemudian disadarinya, mungkin itulah cara AT mendidik anaknya. DA juga menyebut, karakter Abahnya semasa hidup cenderung “kontroversial” (di mata publik).

Sebagai “orang dekat” AT (saya istilahkan “ring satu”), saya mengisahkan kebersamaan dengan AT yang saya kenal sejak jelang akhir Abad XX (1979). Selain saya, “orang dekat” AT lainnya adalah penyair (dan esais) almarhum Noor Aini Cahya Khairani (NACK). Praktisi sastra lain (yang masih hidup) yang “dekat” dengan AT juga ada, tapi, saya kira, “kedekatan”-nya dengan AT lebih sebatas pertemuan ketika ada kegiatan sastra, diskusi, seminar, baca puisi; tak seperti saya dan NACK yang sering ikut numpang makan dan ngopi di tempat tinggal keluarga AT.

BACA JUGA : Pujian adalah Racun, Kritik adalah Obat

Di zamannya- di era manual- AT adalah “kiblat” bagi seniman muda yang ingin belajar kesenian (di Kota Banjarmasin); bukan hanya sastra, tapi juga teater (AT juga penulis naskah/skenario film/aktor dan sutradara teater; teater tradisi mamanda maupun teater modern), seni rupa (AT juga pelukis, pembuat spanduk), redaktur sastra (di koran “Media Masyarakat” milik mendiang Anang Adenansi), dan lain-lain.

Singkat kata, AT adalah “seniman multitalenta” dalam pengertian sebenarnya. Seminggu sekali, AT mengasuh acara “Sanggar Deklamasi” di RRI (Nusantara III) Banjarmasin dan (yang sebagian masih diingat orang) mengelola acara “Palataran Karindangan” (bakisah bahasa Banjar) di Radio Nirwana, Banjarmasin. Semua dilakoninya (termasuk juri Lomba Cipta/Baca Puisi, Festival Teater, Lomba Melukis) dengan sungguh-sungguh, dengan karakternya yang aktif, kreatif, energik dan humoris.

BACA JUGA : Ingin Dikenang Baik, YS Agus Suseno Bikin Puisi untuk Gubernur Kalimantan Selatan

Menambahkan pendapat DA tentang tema puisi karya Abahnya, saya katakan bahwa (tahun 1990-an) ketika sastra Indonesia mengalami trend “sastra profetik” (sastra yang membawa pesan-pesan kenabian, penyebutannya dipelopori Abdul Hadi WM), AT termasuk tokoh penting “sastra profetik” (dari Pulau Kalimantan). Akhir Abad XX, dengan puisi dan cerpennya, AT (selain Korrie Layun Rampan, Provinsi Kalimantan Timur) tergolong tokoh, bagian penting sastra Indonesia.

Selain sebagai teman, sahabat, “musuh” (dalam diskusi sastra dan filsafat), AT (yang saya panggil “Kaka” — Ka Fani”) adalah “kiblat” yang menginspirasi kalangan muda dalam menggapai reputasi sastra. Tatkala puisi “Kapal Kertas” AT terpilih sebagai Juara I Lomba Cipta Puisi se-Indonesia (yang diselenggarakan Arpenda, Yogyakarta, 1984), saya dan kawan-kawan lain (yang lebih muda) berusaha mencapai hal yang sama.

BACA JUGA : Bela yang Tersisih, Kritik Tajam Puisi Banjar Seniman Nyentrik YS Agus Suseno

Setelah pemaparan narasumber, dalam dialog “Ngaji Puisi Ajamuddin Tifani” malam itu (22.00-23.00 WITA), ASA menyampaikan beberapa hal tentang AT dan puisinya. ASA (yang di masa lalu sempat terpengaruh oleh gaya baca puisi AT), membacakan kutipan puisi AT (dengan energi yang tak seperti dahulu). Menariknya, Nasrullah mengatakan kenal AT justru dari siaran radio BBC London (siaran berbahasa Indonesia) yang menyebut namanya.

BACA JUGA : Kritik YS Agus Suseno dalam Monolog Dua Perempuan

Semasa hidup, selain dalam bentuk antologi puisi bersama (cetak offset, stensilan maupun  fotokopi), AT tak pernah memiliki antologi puisi tunggal. Tiga tahun setelah meninggal dunia, sahabatnya Tariganu (meninggal dunia 2021) memfasilitasi penerbitan “Tanah Perjanjian”: Antologi Puisi Ajamuddin Tifani (Penerbit Hasta Mitra, Jakarta, 2005).

AT dilahirkan di Banjarmasin, 23 September 1951, meninggal dunia di RSUD Ulin, Banjarmasin, Senin pagi, 6 Mei 2002. Hari Jumat, 6 Mei 2022, tepat 20 tahun AT pergi; meninggalkan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan yang begini.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Seni dan Sastra Kalsel     

Pencarian populer:Ajamudin tifani
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.