Transformasi NU VS Politik Oligarki

0

(Catatan Kecil Harlah NU Ke-96)

Oleh: Dr MS Shiddiq

PADA 31 Januari 2022, tepat 96 tahun usia Nahdlatul Ulama (NU). Rentang usia yang sudah tidak muda lagi. NU sudah mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai gerakan umat sejak pra-kemerdekaan, era kemerdekaan, era otoritarisnisme orde baru, era reformasi hingga sekarang.

DI BAWAH kepemimpinan Ketua Umum PBNU yang baru terpilih Gus Yahya Cholil Tsaquf, diharapkan NU semakin menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU), yang seringkali didefinisikan sebagai organisasi massa Islam tradisional, meskipun memiliki sejarah panjang berkontribusi positif bagi bangsa Indonesia, NU masih saja dinilai kurang mampu mengakomodasi perkembangan dunia yang maju pesat seperti sekarang ini.

Pertanyaannya, apakah benar NU masih dianggap tradisional atau justru menjangkau jauh melampaui batas nu-modernisme-liberal, yang dalam konsep tentang masyarakat plural (plural society) seperti diusulkan oleh J.S. Furnivall (1948) dan kemudian dikembangkan oleh Alvin Rabushka dan Kenneth A. Shepsle (1972), NU justru menawarkan konsep kehidupan berbangsa dan bernegara secara umum (kaaffah), bukan spesifik semata urusan agama.

Kembali Khittah

Sejak kembali ke khittah 1926 di bawah nakhoda KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU sebenarnya bergerak melakukan transformasi baik dari segi visi-misi, oritentasi maupun strategi. Kiprah kiai NU yang sebelumnya lebih banyak berselancar di ranah politik praktis instrumental, berubah secara signifikan.

NU tidak lagi menjadi instrumen politik para tokohnya, tidak pula hanya bergerak dengan lembaga pendidikan pondok pesantren. Tetapi sudah berubah menjadi kekuatan sosial sekaligus sebagai kekuatan politik yang secara implisit jauh berbeda warna dan pola gerakannya.

BACA : Luncurkan Program Bakti Banua, Baznas Kalsel : Demi Jaga Alim Ulama dan Anak Yatim

Tak heran, jika kemudian dengan tegas Gus Yahya mengingatkan kembali agar organisasi massa NU secara kelembagaan tak boleh dilibatkan dalam kegiatan partai politik apapun untuk kepentingan politik praktis (Kompas.com, 24/12/21).

Memang arah gerakan NU pasca kembali ke khittah 1926 merupakan organisasi massa Islam terbesar yang sangat unik dan transformatoris. Ini terjadi karena NU hendak mencairkan kebekuan kultural, visi dan orientasi internal NU. Di sisi lain NU juga berupaya membangun kesadaran umat untuk bebas dari intervensi negara sekaligus menolak tirani dari kelompok oligarki, baik bisnis maupun kekuatan politik praktis.

Pada saat yang sama, NU tetap ingin menjaga realitas yang berkembang di masyarakat seperti yang pernah dicontohkan oleh Walisongo yaitu memberikan tempat pada tatanan sosial yang sudah mapan dengan substansi nilai-nilai Islam misalnya sesajian yang diringi dengan membaca Tahlil dan Yasin.

BACA JUGA : Polarisasi Warga Kalsel Kian Runcing, Tokoh NU Serukan Ulama NU Kembali ke Khittah

NU tetap melihat Islam di Indonesia sebagai sebuah perpaduan yang unik dari dua peradaban yang berbeda. Islam lahir di Arab yang kental dengan tribalisme dan sangat berbeda dengan kebudayaan yang berkembang di tanah Jawa. NU yang dikenal sebagai kaum Islam tradisional merasa memiliki “kewajiban” untuk melestarikan kebudayaan yang sudah berkembang di masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Prinsip yang dipegang teguh oleh NU dalam memperjuangan ke-Islam-an dan keindonesiaan adalah: realitas struktur masyarakat Indonesia yang plural dan kesadaran akan misi dakwah Islam yang membawa pesan universal.

Pluarisme Politik

Mengenai pluralisme agama, NU adalah ahlinya. Bahkan ketika istilah Islam Nusantara dimunculkan dan ditentang banyak anti-pluarisme agama, NU dengan gagah berani menampatkan diri depan. Bukan ingin mengatakan NU sebagai aliran baru dalam Islam apalagi sebagai agama baru. NU menjadi lokomotif bagi kampanye egalitarianisme yang meletakkan dasar-dasar kemanusiaan sebagai pengikat keberagaman dalam perbedaan keberagamaan.

Sejak era Gus Dur dengan The Wahid Institute yang ingin membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, multikulturalisme, dan toleransi di kalangan kaum muslim di Indonesia dan seluruh dunia.

Lalu di era KH Ahmad Hasyim Muzadi dengan International Conference of Islamic Scholars (ICIS), yang mengusung gagasan politik Islam yang ramah bukan Islam yang marah untuk menurunkan ketegangan antara Islam dengan Barat sebagai momentum pasca serangan 9 September 2001, dampak dari World Trade Centre runtuh di New York yang semakin memanaskan suhu politik dunia.

BACA JUGA : Di Harlah NU, KH Ma’ruf Amin Puji Kehebatan Ulama Kalsel KH Idham Chalid

Hingga pada era KH Said Aqil Siradj yang mengedepankan gagasan Interfaith Dialogue, yang melihat substansi agama-agama dalam perspektif sosial. Gagasan KH Said Aqil ingin menunjukkan bahwa ada kepentingan bersama antar setiap penganut agama untuk saling menghargai dalam hubungan kemanusiaannya, tapi tidak dalam aspek ketuhanannya.

Pluarisme yang dibangun para tokoh NU di atas, adalah contoh penting bagaimana NU berjuang pantang menyerah untuk meletakkan dasar-dasar Islam sebagai ajaran dan politik yang rahmatan lil ‘alamin, Islam yang membawa kedamaian bagi dunia.

Melawan Oligarki

Menurut catatan (CNN, 24/12/21), Muktamar ke-34 NU lalu, cukup banyak memberi catatan kritis pada sistem demokrasi yang cenderung oligarkis dan hegemonik di Indonesia dewasa ini. Komisi Rekomendasi yang diketuai oleh Alissa Wahid, menilai NU perlu mendorong penguatan masyarakat sipil dan mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok kritis, termasuk di parlemen dan partai politik.

Proses demokrasi prosedural pascareformasi belum memberikan jaminan terbangunnya kesetaraan, keadilan, keadilan, dan partisipasi politik yang inklusif hingga lapisan masyarakat paling bawah dan lemah serta kaum perempuan.

Menurut Alissa Wahid, hal itu disebabkan menguatnya sistem oligarki dalam politik dan ekonomi. Kuatnya partai-partai politik dalam sistem demokrasi tidak menjadi saluran aspirasi yang sehat bagi kepentingan rakyat, melainkan justru akumulasi kekuasaan dan ekonomi yang bersifat oligarkis dan hegemonik.

BACA JUGA : Usulan PWNU Kalsel Diakomodir, 6 Tokoh Banua Masuk Jajaran PBNU Gus Yahya

Kondisinya menjadi semakin parah karena merosotnya moralitas publik, para pejabat dan politisi yang didikte oleh kepentingan para pemilik modal yang dapat membeli suara dan menyingkirkan para pemimpin yang potensial adil dan transparan.

Sebelum Muktamar NU di Lampung, KH Said Aqil Siradj, pada tanggal 22 Desember 2019 meskipun NU tak bisa menyembunyikan dukungannya pada kepemimpinan Joko Widodo, menyatakan kritik tajam dan terus terang. Ketika memberikan ceramah di Cirebon ketika itu, Kyai Aqil menegaskan bahwa ketimpangan yang terjadi saat ini bukanlah semata karena takdir, melainkan karena kekuasaan di negeri ini sudah dipegang oleh para oligark.

Kelompok oligarki, bukanlah kekuatan baru jadi dan terbentuk di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo saja. Kelompok ini sudah ada jauh sejak era orde baru, ketika para pemodal menjadi benalu dalam pemerintahan Soeharto ketika itu.

BACA JUGA : Gus Yahya Nakhoda Baru PBNU, Berry : Perkuat Regenerasi Sekaligus Jaga Tradisi Organisasi

Dan isu perlawanan NU terhadap kelompok oligarki dan hegemonik demokrasi di tanah air bukanlah hal baru pula. Bahkan dalam catatan yang diulas Virdika Rizky Utama dalam tulisannya “Gus Dur Melawan Oligarki yang Tak Pernah Usai” (NUOnline, 30/12/19) dan juga penulis buku “Menjerat Gus Dur (2019)” menyebutkan, bahwa setelah 18 tahun Gus Dur dilengserkan dengan cara seolah-olah konstitusional, aktor dan konfigurasi politik Indonesia hari ini masih sama. Ini membuktikan betapa kuatnya kekuatan oligarki mencengkram.  

Gus Dur membuktikan bahwa politik tanpa kompromi dengan niat yang tulus membersihkan “virus’ oligarki sebenarnya sangat bisa dilakukan. Gus Dur ingin membuat sejarah dan peradaban bahwa politik tanpa transaksi dapat dilakukan.

BACA JUGA : PWNU Kalsel Minta Gus Yahya Jadikan NU Lokomotif Kebangkitan Ekonomi Umat

Prasyaratnya adalah kemauan, kesiapan, dan keberanian. Gus Dur memiliki itu, hanya saja Gus Dur kekurangan salah satu syarat yakni konsolidasi kekuatan baru belum terbentuk dengan kuat. Syarat itu mutak diperlukan dalam politik, tanpa hal itu seberapa besar pun niat baik untuk membersihkan oligarki, akan malah justru terseret dalam lingkaran tersebut. Sebab, oligarki orde baru bukan hanya manusianya, melainkan juga cara pikir dan perilaku yang tidak demokratis. Selamat milad NU ke-96. Tak lama lagi seabad usiamu. Bersama NU, tetap jaya Indonesiaku.(jejakrekam)

Penulis adalah Intelektual Muda NU Progresif

Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.