Refleksi Kritis Aktivis asal Kalsel di Tengah Pandemi: Review Buku Desmond J Mahesa

0

Oleh: Rahmat Kamaruddin

TERHITUNG sejak Maret 2020 lalu, kita tengah didera pandemi Covid-19. Dan kini, tahun 2021 baru saja berlalu. Situasi berakhirnya pandemi agaknya belum bisa dipastikan sampai kapan. Akan tetapi, kita akan selalu mengenang betapa banyak masyarakat yang mengalami penderitaan, bahkan kehilangan nyawa.

DALAM situasi berkabung dan penuh waspada tersebut, kita juga akan mengenang betapa penguasa begitu tega berperilaku aji mumpung. Pasalnya, di saat rakyat tengah mengalami kepayahan hidup akibat pandemi, Pemerintah justeru mengambil tindakan yang jauh dari harapan.

Perilaku penguasa tersebut tampaknya begitu mengganggu perasaan Desmond J Mahesa. Aktivis ’98 itu pun menuliskan kegundahannya guna meresponi berbagai hal yang dianggap merugikan masyarakat dan demokrasi di Indonesia.

Desmond mengajak kita melihat secara kritis kejanggalan demi kejanggalan yang Pemerintah lakukan di tengah pandemi. Itulah mengapa dia menerbitkan buku berjudul “Prahara Demokrasi di Tengah Pandemi” (terbit 2020, selanjutnya disingkat PDdTP).

Sepanjang tahun 2021 pun rupanya tetap begitu. Bahkan Penguasa tampak terus meningkatkan dosis ketidakpeduliannya kepada kondisi rakyat. Meningkahi ihwal tersebut, kelanjutan kritik-kritik Desmond pun kembali terbit menjadi sebuah buku berjudul “Kekuasaan Biang Kerok Perusak Demokrasi” (terbit 2021, selanjutnya disingkat KBKPD).

BACA : Seuntai Kenangan tentang H Ahmad Yudhi Wahyuni

Dua buku ini merekam perspektif kritis Desmond terhadap berbagai hal yang merentang mulai dari morat-marit kebijakan PPKM, ketimpangan ekonomi, lemahnya peran masyarakat sipil, hilangnya kekuatan penyeimbang negara dan oposisi, terjadinya praktik korupsi politik, tidak profesionalnya aparat penegak hukum, rendahnya efektivitas pemerintahan, sekaratnya KPK, mundurnya demokrasi, menguatnya ancaman kebebasan berbicara, adanya kekebalan hukum terhadap para pendukung penguasa.

Sudut Pandang

Cara Desmond melihat peristiwa politik-hukum patut kita garis bawahi. Dalam kadar tertentu, ia dapat memberikan dosis ampuh bagi siapapun yang telah terpapar pencitraan Jokowi sebagai sosok jujur, sederhana dan merakyat. Beberapa upaya pengesahan undang-undang kontroversial yang dipaksakan selama masa pandemi ini menjadi titik terjang kritisisme Desmond. Mulai dari RUU Haluan Idelogi Pancasila, RUU Omnibus Law, hingga RUU Minerba. Tidak luput juga tentang sederet kasus hukum yang melibatkan elite politik, wabil khusus kasus dana bansos yang begitu fenomenal.

Apa yang menarik dari pembahasan di buku ini adalah disampaikan dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti. Cara Desmond melihat suatu perkara juga begitu substanstif. Hal itu tergambar, misalnya, ketika dia mengkritik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

BACA JUGA : Desmond bersama Habib Ahmad Alhabsy Gelar Tabligh Akbar dan Syukuran

Seperti yang telah jamak diketahui, sejak awal RUU HIP ini memantik amarah publik karena dinilai mengandung unsur yang kontroversial. Terutama terkait substansinya tentang “Tuhan yang Berkebudayaan”. Alhasil, publik pun turun ke jalan berbondong menolak RUU HIP. Padahal, mereka bisa saja menjadi korban pandemi Covid-19 akibat berdemonstrasi meneriakkan penolakan. Akan tetapi, demi menjaga Pancasila, mereka pun seperti tak lagi mengindahkan bahaya. Upaya mereka membuahkan hasil. Pembahasan RUU HIP dihentikan, dan kemudian berganti nama menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Desmond menengarai adanya upaya segelintir pendukung fanatik Soekarno dalam proses pembuatan RUU HIP tersebut. Dia pun mengingatkan bahayanya jika undang-undang itu disahkan, dapat menciptakan penafsir tunggal Pancasila oleh Penguasa untuk menggebuk lawan politiknya. Seperti pada rezim Orde Lama dan Orde Baru. Sebuah kritik yang antisipatif agar generasi muda ke depan tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.

BACA JUGA : Penghuni Penjara Penuh, Desmond : Pencegahan Narkoba di Kalsel Gagal!

Menurut Desmond, Soekarno sebagai Bapak Bangsa tentu saja patut dihormati. Akan tetapi penghormatan terhadap Soekarno janganlah sampai membuat kita menutup mata terhadap peran dan jasa para Pendiri Bangsa lainnya, yang tak kurang besar pula jasa-jasanya dalam merumuskan dasar negara Indonesia. Soekarno adalah Bapak Bangsa yang tak elok jika sekedar direduksi sebagai representasi golongan tertentu belaka.

Desmond menulis, “Karena sekarang ini ‘jama’ah’ Soekarno terkesan mendewa-dewakan pemikiran tokoh yang dikaguminya dan memasukkannya ke dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila. Padahal pemikiran-pemikiran Bung Karno tentang Pancasila itu sendiri sebenarnya hanya salah satu usulan, sama posisinya dengan usulan tengah (dasar negara) dari banyak tokoh bangsa lain yang memiliki pemikiran terkait dengan Pancasila” (PDdTP, hlm.15-16).

Cara Desmond merespon isu radikalisme juga menarik kita garisbawahi. Kata radikal menjadi kian begitu sakti selama pandemi. Narasi radikal begitu bising memenuhi ruang publik. Ia menjadi ampuh membungkam suara siapa saja yang kritis terhadap Pemerintah. Selain itu, ia juga kerap digunakan untuk menstigmatisasi pengikut agama tertentu karena dianggap tidak toleran.

BACA JUGA : Desmond dari Sudut Pandang Kolega-Kawan Seperjuangan

Di tengah gemuruh stigmatisasi radikalisme, Desmond rupanya tidak mau terjebak ikut latah mengamini. Desmond justeru menyodorkan pengertian radikal yang jauh lebih membahayakan negara. Dengan kata lain, ada jenis aksi radikal lain yang tak kalah penting untuk Penguasa bereskan, ketimbang terus menerus merayakan dokrin toleransi borjuistik dan otoritarianistik. Sebuah proyek stigmatisasi yang menutupi akar persoalan bangsa Indonesia.

Desmond menulis, “Saat ini, yang sangat terasa adalah radikalisme ekonomi, yang melakukan kekerasan pemodal, yang menimbulkan kesenjangan, kemiskinan, dan sebagainya. Belum lagi radikalisme politik, yang kemudian merasa menang, merasa berkuasa seolah-olah bisa berbuat apa saja dalam bentuk otoritarianisme. Radikalisme politik yang menyebabkan kekuasaan disetir oleh kaum pemilik modal seungguhnya, justeru faktor yang paling membahayakan bagi upaya untuk pencapaian tujuan kita berbangsa dan bernegara, tapi justeru didiamkan saja” (PDdTP, hlm.502).

BACA JUGA : Jika RUU HIP Tak Dicabut DPR, Gelombang Massa Menuntut Pencabutan Diyakini akan Semakin Besar

Paparan di atas hanyalah secuil dari kegundahan Desmond yang ia tuangkan pada buku PDdTP. Kita akan menemukan pada karya setebal 880 halaman tersebut, Desmond mendedahkan kepada kita bagaimana demokrasi kita mengalami pembusukan di tengah pandemi.

Rangkaian kegundahan itu dibagi menjadi sebelas bagian, yakni, “Kontroversi Pancasila dan RUU Haluan Ideologi Pancasila” (hlm. 1), “Kontroversi Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja” (hlm. 129), “Wajah Duka Pemilu dan Pilkada” (hlm. 205), “Wajah Duka Dewi Keadilan” (hlm.269), “Kontroversi Kebijakan Penguasa Menangani Pandemi Virus Corona” (hlm. 385), “Gelaran Pesta di Tengah Pandemi Virus Corona” (hlm. 487), “Ironi Penguasa Mempertahankan Kekuasaannya” (hlm. 571), “Nasib Oposisi dan Pembungkaman Aspirasi” (hlm. 639), “Saat Negara Dipertanyakan Kehadirannya” (hlm. 707), “Wajah Penegak Hukum Kita” (hlm.771), dan bagian terakhir “Menatap Wajah DPR di Tengah Pandemi” (hlm. 869).

Rakyat Dibungkam

Kelanjutan kritik Desmond makin menemukan relevansinya pada tahun kedua kita menghadapi situasi pandemi. Melalui buku “Kekuasaan Biang Kerok Perusak Demokrasi” (KBKPD) yang terbit pada Agustus 2021 lalu, Desmond kembali menumpahkan kegalauannya atas cita-cita demokrasi yang tak kunjung tercapai. Demokrasi yang diharapkan dapat melahirkan kesejahteraan bagi rakyat, dimutilasi oleh pemegang kekuasaan. Suara-suara kritis dari berbagai elemen masyarakat berujung pada pembungkaman.

BACA JUGA : Pancasila Sudah Final, Wajar Jika Umat Islam Bereaksi Ketika Diutak-atik Lewat RUU HIP

Pembungkaman atas suara rakyat dipaparkan dengan baik pada tulisannya yang berjudul “Hayo Kritiklah Daku, Kau Kutangkap!” (KBKPD, hlm. 177). Pembungkaman dapat terjadi baik di dunia nyata maupun dunia maya. Desmond juga menyebut sederet kasus para aktivis dan masyarakat biasa yang mengalami peretasan media sosial, diteror, bahkan ditangkap polisi saat menyampaikan aspirasi. Belum lagi serangan dari buzzer Istana. Desmond mencontohkan bagaimana buzzer ini bekerja mengamankan rezim dengan menyebut tokoh Stand Up Comedy, Bintang Emon.

“Salah satu kasus paling menyita perhatian pada pertengahan 2020 lalu yang menimpa seorang anak muda. Saat itu, Komika Bintang Emon mengomentari vonis rendah terhadap penyerang Novel Baswedan penyidik senior KPK. Usai komentar itu viral, Bintang mulai dihujat akun anonim yang sangat banyak jumlahnya. Puncaknya, buzzer memainkan isu bahwa Bintang Emon adalah pecandu narkoba. Serangan-serangan ini telah membuat Bintang Emon kelabakan sampai-sampai ia harus menjawabnya dengan menunjukkan hasil tes urine untuk meyakinkannya,” tulis alumni Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat (KBKPD, hlm.182).

BACA JUGA : Pemuda Muhammadiyah Kalsel Desak Cabut RUU HIP, Meldy : Pancasila adalah Darul Ahdi wa Syahadah

Situasi semacam itu kian menjadi suram karena Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi tumpuan rakyat untuk menyuarakan suara rakyat, tampak tak begitu berminat menjalankan tugas dan fungsinya. Pada titik inilah kita akan turut merasakan kegundahan mendalam Desmond. Jika pada umumnya anggota DPR gemar menuliskan berbagai pencapaiannya untuk ditampilkan ke publik, Desmond malah menuliskan apa yang belum sanggup ia wujudkan. Atau mungkin, ini juga merupakan apa yang belum sanggup bangsa ini lakukan. Sebuah sikap otokritik yang tentu saja tidak mudah kita temukan hari-hari ini pada diri elite politik kita.

Buku karya Desmond J Mahesa berjudul Prahara Demokrasi di Tengah Demokrasi. (Foto Istimewa)

Ada satu tulisan Desmond yang begitu lugas menjelaskan kekecewaannya, yang berjudul “’Perselingkuhan’ itu Membuat Sunyi Gedung Wakil Rakyat”. Sebuah metaforik tentang hubungan terlarang antara legislatif dan eksekutif yang telah melahirkan penderitaan rakyat di masa pandemi. Kepada berbagai elemen di luar sana, Desmond menitipkan harapan agar mereka tidak berdiam diri menyaksikan situasi semacam ini.

BACA JUGA : Kecam Tindakan Aparat, Cak Kiss: Ada Indikasi Pembungkaman Demokrasi

Desmond menulis, “Sangat jelas di tengah kondisi lemahnya Parlemen kita maka kekuatan sipil penyeimbang di luar pemerintahan seperti kalangan mahasiswa, aktivis, LSM serta komponen bangsa lainnya harus tetap ada. Karena kalau tidak maka kondisi berbangsa dan bernegara akan semakin parah karena penguasa bertindak seenaknya. Bukankah Lord Acton jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita semua bahwa orang yang punya kekuasaan itu cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaannya?” (KBKPD, hlm. 317).

Pada tulisan-tulisan lainnya, lembaga yudikatif tak luput dari kritik karena berbagai peristiwa hukum selama pandemi yang kian menguatkan istilah bahwa hukum di Indonesia “tajam ke bawah tumpul ke atas”. Seperti tak ingin ketinggalan, lembaga yudikatif pun juga turut serta ke dalam relasi gelap antara eksekutif dan legislatif begotong royong mengangkangi hukum dan demokrasi.

BACA JUGA : Surat Pertama untuk Indonesia, Dimanakah Keadilan Berada?

Upaya aktivis kelahiran Banjarmasin tersebut dalam melakukan koreksi terhadap situasi semacam ini mendapatkan apresiasi dari Hariman Siregar, Tokoh Pergerakan dan Aktivis Malari. Dalam kata pengantarnya, “Letupan Suara Aktivis yang Menjadi Wakil Rakyat”, Hariman menulis:

“Melalui buku ini, Desmond mengajak kita untuk mereview praktik berdemokrasi di Indonesia dan menyelamatkannya dari kekuasaan yang merusaknya. Sejalan dengan buku ini, saya melihat titik rawan kerusakan demokrasi karena para penyelenggara pemerintahan tidak mengerti demokrasi. Saat ini adalah demokrasi prosedural lima tahunan yang rawan dimanipulasi. Sedangkan demokrasi substansial tidak tumbuh di level elite maupun akar rumput” (KBKPD, hlm. xxviii).

Buku setebal 510 halaman tersebut dibagi menjadi enam bagian dengan masing-masing judul: “Kekuasaan yang Merusak dan Imbasnya Pada Kelembagaan Negara”; “Ironi Kekuasaan dan Pentingnya Kontrol Kekuasaan”; “Belantara Masalah di Tengah Pandemi Virus Corona”; “Cita-Cita Reformasi Tinggal Catatan dan DPR yang Mati Suri”; “Sekaratnya KPK di Tangan Penguasa”; dan bagian terakhir “Wajah Suram Aparat Kepolisian”.

Merawat Kritisisme

Komposisi dua buku di atas, jika kita telisik, maka akan kita temukan aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan, yang kesemuanya tidak tinggal diam membiarkan kekuasaan berbuat semaunya. Meskipun mereka dibungkam. Desmond lalu menghimpun suara-suara itu untuk kemudian dia sampaikan secara sistematis dan argumentatif secara hukum. Dengan kata lain, Desmond seperti sedang menunjukkan posisi moralnya di hadapan konsolidasi elite yang tengah mengancam demokrasi. Posisi moral yang terus ia jaga sejak masih menjadi aktivis ’98: berpihak kepada kepentingan rakyat.

BACA JUGA : Dema FEBI UIN Antasari Nyatakan Sikap atas Peristiwa Kritik King Of Lip Service

Kekuatan kedua buku Desmond juga adalah karena ditulis dari perspektif “orang dalam”, bukan pengamat yang berjarak dari objek amatannya. Pasalnya, Desmond telah menjadi Anggota DPR RI sejak tahun 2009 silam. Melalui partai yang turut ia dirikan, Gerindra, debut pertamanya di Dapil Kalimantan Timur menghantarkannya ke Senayan pada periode 2009-2014. Dua periode selanjutnya, dari Dapil Banten, yakni 2014-2019 dan 2019-2024. Kini sebagai Wakil Pimpinan di Komisi III. Itulah mengapa buku ini amat patut dipertimbangan untuk kita memahami situasi politik hukum di Indonesia.

BACA JUGA : AJI Balikpapan Biro Banjarmasin Resmi Dideklarasikan, Kasus Kekerasan Pers di Kalsel Jadi Atensi

Selama berkiprah di Senayan sebagai Wakil Rakyat, Desmond senantiasa merawat kritisisme dan membasiskan perjuangannya pada keluhuran literasi. Hal itu kiranya begitu gamblang tergambar jika kita menilik beberapa buku karya Desmond sebelumnya, yakni, “Presiden Offside: Kita Diam atau Memakzulkan” (2012), “Menggugat Logika APBN: Politik Anggaran Partai Gerindra di Badan Anggaran DPR RI” (2012), “DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia” (2013), “Menatap Masa Depan Indonesia” (2015), dan “Fungsi-Fungsi DPR: Teks, Sejarah, dan Kritik” (2020).

Kesetiaan Desmond merawat demokrasi mewujud dalam bentuk kritisisme. Kita tentu patut bersyukur rupanya masih ada elite politik kita yang, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, masih konsisten mengingatkan Penguasa agar tidak berbuat onar dan semaunya. Desmond bukan hanya mengkritisi, tapi Desmond adalah kritik itu sendiri.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Gerakan Milenial Indonesia Kalsel

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.