Pancasila Sudah Final, Wajar Jika Umat Islam Bereaksi Ketika Diutak-atik Lewat RUU HIP

0

PENGORBANAN umat Islam dengan lahirnya Pancasila dengan dicoretnya 7 kata terutama pada sila pertama, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya lewat konsensus Panitia Sembilan di Jakarta, pada 22 Juni 1945, sangat besar.

PAKAR hukum Islam dari UIN Antasari Banjarmasin Prof Dr Ahmadi Hasan menilai wajar jika umat Islam langsung bereaksi dengan dibahasnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di DPR RI.

Menurut dia, penolakan umat Islam yang dimotori Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta ormas Islam lainnya. Meski di parlemen Senayan Jakarta, hanya mencuat hanya beberapa fraksi kecil seperti FPKS yang menolak pembahasan RUU HIP.

Bagi Ahmadi, jadi pertanyaan adalah kenapa RUU HIP ini justru dibahas di tengah pandemi virus Corona (Covid-19)? Ada apa dengan RUU HIP ini? Padahal, Pancasila itu merupakan konsensus nasional, bukan hanya satu pandangan dari seorang Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan di Jakarta.

BACA : Minggu Pagi, Jejakrekam.Com-AMB Gelar Diskusi Virtual Bedah Pancasila Dari Persepsi Umat Islam

“Untuk bernegara dan berbangsa ini tidak cukup hanya satu pandangan Soekarno. Padahal, faktanya pengorbanan umat Islam dengan rela dan ikhlas menghapus 7 kata dari Piagam Jakarta. Makanya, umat Islam itu menerima Pancasila sebagai konsensus nasional yang telah melewati perdebatan intens dan sudah final,” tegas guru besar UIN Antasari ini dalam diskusi virtual gelaran jejakrekam.com bersama Aliansi Muslim Banua (AMB) bertajuk Pancasila dalam Persepsi Umat Islam, Masihkah Menjanjikan? Minggu (12/7/2020).

Ketua Program Studi S3 Ilmu Syariah UIN Antasari Banjarmasin ini menegaskan bahwa Pancasila merupakan grand mom dan konstitusi tertinggi. Sebab, nilai-nilai Pancasila itu juga sejalan dengan ajaran Islam yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.

BACA JUGA : Pemuda Muhammadiyah Kalsel Desak Cabut RUU HIP, Meldy : Pancasila adalah Darul Ahdi wa Syahadah

Ahmadi pun mengatakan jika RUU HIP itu digeser sebagai payung hukum keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), juga tidak tepat. Sebab, Pancasila merupakan sumber hukum tertinggi (UUD 1945) di Indonesia, tidak boleh didegradasi dalam bentuk undang-undang.

Ia mengakui di kalangan umat Islam dalam kajian fiqih siyasah dipengaruhi banyak tokoh seperti Al Mawardi yang condong moderat, Ibnu Taimiyah, Abdul Wahhab Khallaf.

“Namun, tipologi umat Islam juga berbeda-beda. Ada yang seperti pohon bambu, laut, dan batu karang yang tidak kenal kompromi, tapi banyak tumbuh di atasnya,” tutur Ahmadi.

BACA JUGA : Massa Ultimatum DPR RI, Suripno Sumas : DPRD Kalsel Tegas Menolak RUU HIP!

Dari sini, Ahmadi menilai jika wajar umat Islam akhirnya bersatu untuk menolak dan menuntut pencabutan RUU HIP, hingga sampai tuntutan secara hukum inisiator rencana produk hukum nasional, tidak cukup hanya minta maaf.

“Padahal, Islam dan Pancasila itu tidak ada perbedaan dan pertentangan. Jangan sampai seperti awal Orde Baru yang menghadap-hadapkan Islam dengan Pancasila. Apalagi, sampai menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal,” tegas Ahmadi.

Senada itu, Ketua PWNU Kalsel Abdul Haris Makkie menegaskan Pancasila itu sudah final, ketika ada pihak yang berani mengutak-atik tentu akan berhadapan dengan umat Islam.

BACA JUGA : Polemik RUU HIP: PDIP Sebut Tak Akan Ladeni Ideologi yang Bertentangan dengan Pancasila

“Makanya, jangan menyentuh masalah sensitif, karena Pancasila itu sudah final. Bagaimana umat Islam telah memberi sumbangan besar bagi bangsa dan negara Indonesia, dengan dihilangkan 7 kata dalam Piagam Jakarta,” tegas Haris Makkie.

Menurut dia, umat Islam juga sudah mengenal toleransi sebelum lahirnya Pancasila dalam ajarannya seperti ibadah kurban, sedekah, zakat dan lainnya yang peduli dengan wong cilik atau kalangan tak mampu.

“Makanya, jika mengutak-atik Pancasila yang sudah final sama saja dengan memecah belah NKRI. Bagaimana kiai-kiai NU juga telah berkorban banyak bagi negara dan bangsa ini. Jika ada kepentingan besar, kenapa tidak bermusyawarah dan jangan memaksakan kehendak,” cetus Haris Makkie yang juga Sekdaprov Kalsel.(jejakrekam)

Penulis M Syaiful Riki
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.