Dari Puisi dan Mantra Mengungkap Kesejarahan Peradaban Kerajaan Nansarunai

0

KESEJARAHAN Kerajaan Nansarunai berupa tulisan puisi (manuskrip), prosa dan mantra jadi rujukan dalam melacak ketuaan kerajaan berbasis suku (etnic state) Dayak Maanyan di Kalimantan Selatan.

SEBAB, pada 4000 SM diyakini kebudayaan Barito sudah muncul di sepanjang pesisir (Teluk) Nansarunai purba di Kalimantan Selatan. Hingga pada 243 SM peradaban Nansarunai terdapat di Amuntai (kini ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara) yang didirikan oleh suku Dayak Maanyan.

Bahkan, pada abad ke-1 dan abad ke-13, diawali peradaban Kutai yang mengemuka di Kalimantan Timur pada 350 M. Hampir sezaman, pada 524 Nansarunai dan Tanjungpuri juga berkembang menjadi kerajaan berkat bantuan para bangsawan perantau dari kerajaan Koying (Kerinci) dan Kandali (Kuntala) di Sumatera. Hingga pada 600 M, Nansarunai memperluas wilayah ke sepanjang pesisir tenggara Kalimantan, dari Tanjung Silat hingga Paser. Sebagai symbol dibangun Candi Laras di di Nansarunai dan berdasar bunyi dari Prasasti Batung Tulis dengan angka tahun 684 M.

Di masa itu, Imperium (Kedatuan) Sriwijaya dari Sumatera diperkirakan mendirikan kerajaan Tanjungpura dan Wijayapura sebagai koloninya di Pulau Kalimantan. Hingga, Nansarunai dan Sriwijaya menjalin hubungan persahabatan, hingga komuitas Melayu Sriwijaya diperkirkan bermigrasi ke Madagaskar, membaur dengan masyarakat Dayak Maanyan yang telah menetap di sana tiga abad sebelumnya pada durasi tahun 700-800 M. Berdasar tutur atau mantra, masyarakat Dayak Maanyan konon pada  saat itu dipimpin Dato Sapuluh dan Dara Sapuluh.

BACA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan Yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Kerajaan Sriwijaya kemudian ditaklukkan oleh Kerajaan Dharmasraya yang menjadi pengendali Tanah Melayu pada 1088. Eksistensi Dharmasraya di Sumatera ini pun membangkitkan misi militer yang dijalankan oleh Kertanegara, Raja Singhasari lewat ekspeidisi Pamalayu, termasuk mengirim pasukan ke koloni Sriwijaya yang ada di Kalimantan.

Demi menjaga kedaulatan di Asia Tenggara, Kerajaan Singhasari juga membangun pangkalan militer dengan sekutunya di Indochina, Kerajaan Champa. Di masa itu pula, di Kalimantan Selatan muncul kerajaan baru bernama Kerajaan Kuripan atau Kahuripan dengan ibukota di Danau Panggang, di sebelah hilir dari Candi Agung Amuntai.

BACA JUGA : Tradisi Maanyan dari Kerajaan Nansarunai, Panglima GMTPS Berpesan Jaga Nilai Leluhur

Memasuki abad ke-12 hingga abad ke-14, situs purbakala Candi Laras diperkirakan dibangun oleh Jimutawahana yang merupakan keturunan dari Dapunta Hyang dari Kerajaan Sriwijaya. Hal ini diperkuat dengan penemuan arca Buddha berbunyi Siddha bertuliskan askara Palawa.

Perjalanan sejarah Borneo (Kalimantan) menggambarkan adanya Teluk Nansarunai yang membatasi wilayah kekuasaan Kerajaan Nansarunai dengan Kerajaan Tanjungpura, dari tangkapan layar video milik Lazuardi Wong Jogja.

————–

Syair dan mantra berjudul Nansarunai Usak Jawa juga menceritakan adanya ekspedisi militer yang dilancarkan Kerajaan Majapahit sebagai pengganti dari Kerajaan Singhasari dan Kediri di Pulau Jawa ke Kalimantan.

BACA JUGA : Nansarunai Ditaklukkan dengan Tiga Misi Militer Majapahit

Saat itu, diyakini pada 1309 berpusat di Amuntai, Raden Japutra Layar naik takhta memimpin Kerajaan Nansarunai. Lokasi pusat kerajaan ini dipercaya berada di pertigaan atau pertemuan Sungai Nagara, Sungai Tabalong dan Sungai Balangan, persis di Kota Amuntai sekarang.

Kongsi politik dibangun Kerajaan Nansarunai dengan kerajaan lainnya; Kerajaan Kuripan dan Kerajaan Tanjungpuri berhasil melawan ekspedisi militer dari Kerajaan Majapahit.

Dari rekaman sejarah itu, Kerajaan Tanjungpuri merupakan kerajaan yang didirikan oleh orang Melayu Sumatera khususnya dari Palembang yang merupakan pelarian dari Kerajaan Sriwijaya dan menganut agama Buddha.

BACA JUGA : Cerita Prof MP Lambut; Persaudaran Dayak Kristen dan Masyarakat Banjar Islam

Sementara, masyarakat Kerajaan Nansarunai memeluk kepercayaan leluhur yang kini disebut sebagai Animisme dan Dinamisme. Hal ini terekam dalam wadian atau syair Tumet Leut.

Upaya penaklukan Kerajaan Nansarunai yang dilakoni Kerajaan Majapahit ini lewat tiga invasi militer. Di masa Ratu Tribuwana dengan patihnya; Gajah Mada pada 1329-1349 mengirim telik sandi (mata-mata) ke Kerajaan Nansarunai yang saat itu dipimpin Raja Neno, putra Raden Japutra Layar.

Ketika itu, pasukan Majapahit dipimpin Laksamana Nala memasuki wilayah kekuasaan Kerajaan Nansarunai dengan menyamar sebagai nakhoda kapal bernama Tuan Penayar.

BACA JUGA : Himpun Tutus Rama Andin, Dimotori dr Meldy Muzada Elfa Dibentuk Yayasan Kerakatan

Dalam penyamarannya, Laksamana Nala berhasil menemui Raden Anyan, hingga melaporkan banyaknya benda-benda berharga dan mewah di Kerajaan Nansarunai kepada Patih Gajah Mada di Trowulan, Majapahit.

Dilaporkan pula, dalam misi Laksamana Nala ini ikut Mpu Jatmika sebagai seorang saudagar dan tukang pembuat patung kayu guna menyelidiki titik kelemahan Kerajaan Nansarunai. Sebab, Mpu Jatmika dikabarkan pernah tinggal di wilayah Kerajaan Nansarunai.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa menggantikan Kerajaan Nansarunai, Kerajaan Tanjungpuri dan Kerajaan Kuripan. (Foto Tangkapan Layar Youtube Lazardi Wong Jogja)

———-

Pada 1349-1358, Raden Anyan naik takhta bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas atau Amah Jarang memimpin Kerajaan Nansarunai didampingi permaisuri; Dara Gangsa Tulen. Nah, di masa kepemimpinan Raden Anyan selama 9 tahun ini terjadi lagi serangan serdadu Kerajaan Majapahit terekam dalam syair elegi berjudul Nansarunai Usak Jawa.  

BACA JUGA : Ramuan Nenek Moyang, Aneka Minyak Dayak Maanyan Dipercaya Berkhasiat

Baru di masa Raja Hayam Wuruk pada 1356 dalam invasi atau eksepedisi militer II Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa, Patih Gajah Mada mengirim 5.000 tentara dipimpin Senapati Arya Manggala menyerang Kerajaan Nansarunai.

Demi menanggulangi serangan dari Jawa, Kerajaan Nansarunai meminta bantuan Kerajaan Tanjungpuri dengan mengirim 1.000 tentara di bawah komando 5 panglima bersaudara atau dikenal dengan sebutan Datu Lima.

Pertempuran sengit pun tak terelakkan selama dua hari dengan kemenangan diraih Kerajaan Nansarunai bersama sekutunya; Kerajaan Tanjungpuri. Saat itu, Arya Manggala dilaporkan tewas usai ditebas dan dipenggal oleh mandau Panglima Angin, salah satu pemimpin pasukan Kerajaan Nansarunai. Akibatnya, pasukan Kerajaan Majapahit terpaksa ditarik mundur dari medan laga.

BACA JUGA : Sarat Nilai Filosofi, Nasi Astakona Sajian Perpaduan Budaya Banjar, Dayak, Melayu dan Islam

Gagal di invasi II, Kerajaan Majapahit kembali menyerang Kerajaan Nansarunai pada 1358 dengan jumlah armada yang mengangkut pasukan jauh lebih besar lagi. Dilaporkan ada 10.000 prajurit Majapahit dibawa untuk menyerang Amuntai yang menjadi pusat Kerajaan Nansarunai dipimpin Laksamana Mpu Nala. Konon, dengan cara muslihat, karena istri Mpu Nala tinggal di Kerajaan Nansarunai justru dinikahi oleh Raden Anyan.

Dari berbagai versi, dalam pertempuran ini Mpu Nala dilaporkan memenangkannya. Sementara, berdasar penuturan masyarakat Maanyan, Nansarunai tak pernah kalah, meski dilaporkan Raden Anyan gugur dalam pertempuran melawan pasukan Kerajaan Majapahit.

BACA JUGA : ‘Urang’ Banjar Sebenarnya Dayak, Ini Teori yang Dikemukan Antropolog ULM

Sisa-sisa tentara Kerajaan Nansarunai pun pergi hingga ke pedalaman Kalimantan dan membentuk suku-suku Dayak yang baru, serta menyebar di pedalaman Sungai Barito seperti di Buntok, Purukcahu, dan Tamiyang Layang di Kalimantan Tengah.

Eksodus anak keturuan Raden Anyan dan Dara Gangga Tulen bersama Uria dan Patis tercatat ada 7 Uria dan 40 Patis mengikutinya, baik melalui perjalanan darat maupun sungai ke pedalaman Kalsel dan Kalteng pada 1358.

Kondisi reruntuhan Candi Laras di Kabupatren Tapin, Kalimantan Selatan. (Foto Indonesia-tourism.com)

————

Usai menghancurkan Kerajaan Nansarunai, pada 1387, aneksasi Jawa kembali merambah Kerajaan Tanjungpuri dan Kuripan, meski ekspedisi militer ini dilaporkan gagal. Hingga kedua belah sepakat damai dan membentuk kerajaan baru bernama Kerajaan Negara Dipa atau disebut Sakai.

BACA JUGA : Tari Kehidupan Sungai dan Batatenga Bawa Pesan dari Festival Budaya Kongres Borneo Raya

Saat itu, Kerajaan Majapahit mengirim kembali Mpu Jatmika hingga mengubah budaya Dayak dan Melayu yang berkembang di wilayah bekas Kerajaan Nansarunai, Kerajaan Tanjungpuri dan Kuripan dengan budaya Hindu Kerajaan Majapahit.

Akibat tak ada kendali, akhirnya Teluk Nansarunai dilaporkan lenyap akibat pendangkalan pada 1400, hingga rute perdagangan yang membelah Kalsel dan Kalteng hanya dilewati dengan peairan Sungai Barito.

Pusat perdagangan pindah ke hilir Sungai Barito, tepatnya di Kayutangi, Kuin Utara, Banjarmasin serta Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Kehadiran bandar ini memperkuat asimilasi atau percampuran budaya dan darah dari Dayak Ngaju/Biaju atau Dayak lainnya, hingga di bekas wilayah Kerajaan Nansarunai muncul subetnis baru seperti Bakumpai di sepanjang Sungai Barito dan Dayak Alalak Berangas di sepanjang Sungai Alalak.

Bedah buku Antologi Nansarunai Memanggil di Ambin Batang Banjarmasin. (Foto Istimewa untuk JR)

————

BACA JUGA : Desa Barikin dan Lakon Wayang Banjar, Warisan dari Kerajaan Negara Dipa

Dari trah Mpu Jatmika ini kemudian menurunkan raja-raja di Kerajaan Negara Dipa berlanjut ke Kerajaan Negara Daha hingga ke Kesultanan Banjar. Petikan sejarah ini termuat dalam buku berjudul Antologi Nansarunai Memanggil dengan 180 halaman ini dibedah Ambin Batang Banjarmasin, Sabtu (1/7/2022).

Hadir sebagai pembicara; penulis dan dosen M Suriani Shiddiq serta editor buku, Sri Naida dalam diskusi yang dihibur musik panting Nansarunai UIN Antasari Banjarmasin. “Buku Antologi Nansarunai Memanggil sangat penting dalam mendalami kesejarahan serta bait-bait sastra baik dalam puisi, prosa dan mantra,” komentar Suriani Shiddiq.

BACA JUGA : Anyaman Margasari dan Puak Kerajaan Negara Dipa

Sementara itu, Sri Naida yang juga peneliti sejarah Kerajaan Nansarunai serta penulis novel The Last Nansarunai-Gumi Ngamang Talam menegaskan bahwa dari perjalanan sejarah kerajaan kuno yang ada di Kalimantan Selatan, tentu masyarakat Banjar bisa mengetahui siapa sebenarnya leluhur mereka.

“Dari kumpulan antologi bisa menggali kisah, legenda dan fabel dari Nansarunai. Tanpa mengenal kesejarahanan kita, tentu kita tidak bisa mengukuhkan peradaban kita sendiri,” pungkas Naida. (jejakrekam)

Penulis Didi GS/Ferry Oktavian
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.