Cerita Prof MP Lambut; Persaudaran Dayak Kristen dan Masyarakat Banjar Islam

0

BUDAYAWAN, sejarawan dan agamawan Kristen, Prof Malkianus Paul (MP) Lambut adalah sosok yang tak asing bagi masyarakat Kalsel dan Kalteng, baik suku Banjar maupun Dayak.

DIANGKAT Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Indonesia terhitung sejak 1 April 1964, Prof MP Lambut pun menjadi dosen tetap atau pendidik di Program Studi Bahasa Inggris FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Saat kampus itu masih bernama Unlam, lulusan sarjana sastra Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengabdikan diri.

Pria yang lahir pada  5 Desember 1931 di Desa Dahirang, Kecamatan Kapuas Hilir, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah ini menjadi dosen terlama di kampus Unlam. Saat ini, MP Lambut tengah menginjak usia 93 tahun merupakan seorang akademisi, budayawan sekaligus pelaku sejarah di Kalsel dan Kalteng.

Tak mengherankan, Lambut yang meraih pendidikan khusus bidang humaniora di East-West Center Honolulu, Hawai, Amerika Serikat pada 1970-1971 meraih titel guru besar dari Unlam pada 1994. Bahkan, Prof MP Lambut merupakan satu-satunya profesor di jurusan Bahasa Inggris FKIP ULM.

Sebagai pendidik, Prof MP Lambut punya ciri khas dengan topi pet ala pelukis atau budayawan saat berada di kampus. Pengabdian di kampus Unlam terbilang paling lama sebagai dosen mencapai 57 tahun.

BACA : Misi Pekabaran Injil dan Kampung Kristen Banjarmasin

Tak hanya mengajar di FKIP ULM, Prof MP Lambut juga aktif sebagai dosen di STIE Indonesia dan Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT GKE) serta banyak kampus lainnya.

Wajar jika Prof MP Lambut ini memiliki banyak murid atau mahasiswa tersebar di berbagai tempat, karena sudah lama malang melintang di dunia akademisi khususnya sastra Inggris yang dikuasainya.

“Kalau misal saya tidak punya beras di rumah, saya tinggal jalan kaki, tidak lama pasti ada murid yang menegur, kalau saya katakan bahwa perlu beras, rasanya mereka pasti membantu,” beber Prof MP Lambut bercerita saat ditemui pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalsel di kediaman, Jalan Cendrawasih, Banjarmasin yang merupakan komplek hunian para dosen Unlam, Rabu (14/6/2023).

BACA JUGA : Potret Pasar Lama, Episentrum Peradaban Warga Banjarmasin yang Majemuk

Lambut bercerita sebenarnya Banjar adalah masyarakat sungai bukan masyarakat darat. Putra Dayak Ngaju ini pun meraih penghargaan Datuk Cendekia Hikmadiraja oleh Kesultanan Banjar ini menekankan bahwa masyarakat Banjar dengan karakteristik masyarakat sungai.

“Sungai itu menerima apa dan siapapun yang datang. Tidak pernah menolak. Berbeda dengan orang darat yang bisa dan mudah menolak orang lain. Dada dan tangan masyarakat sungai, selalu terbuka untuk semua orang yang datang,” papar Lambut dengan nada filosofis.

Terbukti, menurut Lambut, masyarakat Banjar tidak pernah menolak suku atau agama apapun yang datang. Semua suku dan agama ada, mulai Dayak Biaju hingga Arab, Tionghoa dan lain sebagainya. Tidak pernah ada konflik atas nama suku atau agama di sini.

BACA JUGA : Punya 5 Tempat Ibadah, Potret SD Yayasan Hippindo Banjarmasin Mengusung Semangat Pancasila

Lambut bercerita pada tahun 1835, ketika J.H. Barnstein, seorang misionaris Jerman tiba di Banjarmasin untuk mengabarkan injil di Kalimantan.

“Barnstein adalah orang Jerman, tentu tidak disukai oleh Belanda, tapi kemudian Sultan Banjar menyambutnya. Kemudian, Sultan Banjar berpesan kepada Barnstien, jangan kamu menyebarkan agama (Kristen) kepada orang yang sudah beragama,” cerita Lambut.

Akademisi, Dosen ULM dan Tokoh Agamawan Kristen dan Budayawan Banjar-Dayak, Prof MP Lambut. (Foto Warior.id)

——–

Setelah itu, Sultan Banjar mengutus orang untuk mengantarnya ke pedalaman Kapuas, hingga ke Gohong (Kahayan Hilir). Dari sana, Kekristenan dimulai di tanah Borneo.

BACA JUGA : Ketika Keluarga Belanda Mencari Makam Leluhurnya di Eks Pekuburan Kamboja

“Kalau waktu itu orang Banjar ingin membunuh Barnstein, tentu sangat mudah. Tapi tidak dilakukan. Justru dilindungi dan dibantu dalam melaksanakan misinya. Jadi, Kekristenan pada orang Dayak, terjadi karena bantuan Sultan Banjar,” beber tokoh Gereja Eppata Banjarmasin ini.

Masih menurut Lambut, coba dilihat bagaimana mungkin kantor Gereja Dayak yang kemudian menjadi GKE, bisa berada di tengah kota? Hal itu terjadi, karena orang Banjar menganggap orang Dayak sebagai dingsanak.

“Sering dulu terungkap oleh orang Banjar, bahwa Karistin (Kristen) Biaju itu dingsanak kami, karena itu saya tidak ada rasa khawatir, was-was atau merasa tidak aman berada di tengah-tengah orang Banjar,” kata Lambut.

BACA JUGA : Dari Militaire Weg ke Jalan Kalimantan hingga Jalan S Parman

Apa itu Biaju? Tanya MP Lambut pada pengurus FKUB Kalsel yang mendengarkannya. Menurut Lambut, Biaju adalah orang pedalaman di hulu Kapuas yang tidak memiliki pendidikan dan pengetahuan apapun, seorang yang bodoh lagi buta huruf dan itulah saya. 

“Kalau dulu saya tidak pergi ke sini untuk merantau dan sekolah, entah jadi apa saya di hulu Kapuas sana,” kata MP Lambut, mengenang waktu awal kedatangannya ke Banjarmasin.

Dia melanjutkan kisahnya ketika STT GKE berdiri di Jalan Kampung Jawa (kini Jalan DI Panjaitan) yang mencetak para pendeta, bisa berada di tengah Kota Banjarmasin.

“Bandingkan dengan IAIN (kini UIN Antasari) di pinggir kota? Semua itu karena kecintaan dan rasa persaudaraan orang Banjar kepada orang Dayak,” ucap Lambut.

Dia juga menceritakan peristiwa yang lebih lampau lagi, ketika masa kanak-kanak, orang Belanda tahun 1946, di Teluk Dalam, membuat satu kawasan pemandian bagi Belanda.

BACA JUGA : Prof Lambut Sangsi Ikon Kota Sungai Terindah Terwujud

“Pada kawasan tersebut ditulis “verboden voor honden en Dayaks”, anjing dan Dayak dilarang masuk. Tahukah Anda, siapa Dayak itu, Dayak itu adalah saya, kata MP Lambut dengan nada lirih. Tapi kemudian orang Banjar mengangkat kami dan sangat menghormati,” cerita Lambut lagi.

Begitu juga ketika dirinya ingin beribadah ke salah satu gereja di tengah kota (saat ini Gereja Maranatha), karena adalah seorang Dayak, ternyata ditolak oleh Belanda.

“Kemudian orang Banjar, bukan hanya mengizinkan, tapi juga turut andil mendirikan gereja dan kantor dari gereja tersebut. Akhirnya berdiri pula gereja Dayak (kini Gereja Eben Ezer) di Jalan S Parman yang dulu bernama kampung Karistin, dan kantor GKE itu sendiri. 

Lambut mengungkapkan rasanya  tidak akan ditemui di tempat lain, dimana kampung Karistin bersebelahan dengan Kampung Arab (Jalan Antasan Kecil Barat), bahkan tidak pernah ada konflik sedikit pun.

BACA JUGA : Sarat Nilai Filosofi, Nasi Astakona Sajian Perpaduan Budaya Banjar, Dayak, Melayu dan Islam

“Justru yang terjadi kampung Arab berkelahi dengan Kampung Bugis (Jalan Sulawesi Pasar Lama). Hal ini menggambarkan bahwa konflik agama tidak pernah terjadi, semua saling menghormati, hal itu disebabkan karena orang Banjar menganggap orang Kristen sebagai saudaranya,” tutur Lambut.

Dia menceritakan sejumlah peristiwa yang masih segar dalam ingatannya, mulai dari peran orang Banjar dalam konflik Sampit, lalu konflik 23 Mei 1997 yang berbau politik, tapi orang Banjar menahan sedemikian rupa agar tidak menjadi konflik agama.

“Bahkan dari kedua konflik tersebut, pemerintah daerah meminta saya menjadi bagian yang turut mendamaikan,” kenang Lambut.

BACA JUGA : ‘Urang’ Banjar Sebenarnya Dayak, Ini Teori yang Dikemukan Antropolog ULM

Termasuk, satu peristiwa bersejarah, dikenal dengan konflik Saloh tahun 1969, waktu itu ada pendeta bernama Saloh, mungkin lengkapnya Pdt Benyamin Saloh, mengutarakan satu pernyataan di depan umum yang dianggap menyinggung umat Islam.

Akhirnya muncul ketegangan antara tokoh Islam yang waktu itu diwakili KH Rafi’i Hamdie (Imam Besar Masjid Raya Sabilal Muhtadin) dengan Pendeta Saloh tersebut.

Kemudian, dilakukan perdamaian, caranya sederhana sekali, bertemu di rumah makan di Pasar Lama, makan gulai kambing dan dimediasi oleh MP Lambut. 

“Konflik dengan mudah diselesaikan, karena ternyata keduanya sama-sama orang Magantis – Dayak Maanyan,” kata Lambut.

BACA JUGA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Dari deretan cerita yang diuraikan Prof Lambut, mengandung pembelajaran yang sangat berharga dalam membangun kerukunan beragama. Berulang kali, Lambut mengingatkan jangan sampai cerita-cerita tersebut hilang karena tidak diketahui oleh generasi selanjutnya.

“Sebab cerita itu memberikan gambaran bahwa persaudaraan antara Dayak, Kristen, Banjar dan Islam, sangat kuat di daerah ini. Tidak mungkin diganggu atau diprovokasi oleh siapapun, sebab kita badingsanak,” pungkas Lambut.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/06/16/cerita-prof-mp-lambut-persaudaran-dayak-kristen-dan-masyarakat-banjar-islam/
Penulis Noorhalis Majid/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.