Sarat Nilai Filosofi, Nasi Astakona Sajian Perpaduan Budaya Banjar, Dayak, Melayu dan Islam

0

HIDANGAN nasi astakona yang identik bagi para raja atau tokoh di era Kesultanan Banjar penerus budaya kerajaan terdahulu; Kerajaan Negara Daha, Negara Dipa dan Nansarunai, terus dilestarikan.

BERBEDA dengan nasi tumpeng, ada nilai filasofi kuat di balik penyajian nasi astakona. Inovasi nasi astakona ditawarkan RUNe, yang bisa dinikmati semua kalangan tanpa lagi memandang strata sosial.

Berbasis di Café Tradisi Kopi, Jalan A Yani Km 5,5, Komplek Ruko Waringin, Pemurus Dalam atau dekat gerbang Komplek Banjar Indah, Banjarmasin, kini orderan untuk membuat nasi astakona mulai berdatangan dari berbagai pihak.

“Nasi astakona merupakan hidangan pangan lengkap dari ragam hayati Kalimantan dan ditata pada talam bulat kuningan tumpang tiga atau lima. Keunikannya ada dua jenis sajian pangan dan talam berbahan kuningan,” tutur sang juru racik bumbu dan masak RUNe, Sri Naida kepada jejakrekam.com, Minggu (26/2/2023).

BACA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Sebelum menggeluti bisnis kuliner, Sri Naida mengaku telah lama belajar memasak dari pakarnya nasi Astona; Hj Aisyah serta ibunya.

Dalam bisnis kuliner, Sri Naida juga membangun Depot Nansarunai berbasis di Komplek Halim, Jalan Veteran, Kelurahan Kuripan, Banjarmasin ini mengungkapkan dalam tradisi Banjar-Dayak, talam bulat melingkar berdiameter 50 centimeter atau lebih, jumlahnya ganjil dan kaki talam tunggal.

“Hal ini menunjukkan keesaan Allah yang tunggal dan ganjil. Sajian lengkap ini untuk menghadirkan rasa syukur atas keberkatan rezeki dari Allah SWT,” beber mantan anggota DPRD Banjarbaru dari Fraksi PDIP ini.

BACA JUGA : Ingin Nikmati Menu Masakan Khas Banjar dan Dayak, Silakan Pesan ke Depot Nansarunai

Menurut Sri Naida, secara filosofis sajian nasi astakona ini mendekatkan kita untuk manyanggar Banua untuk turun hayan naik hayam, artinya menjaga alam sehingga memiliki kemampuan untuk bekerja dengan gigih sepanjang hari mencari rezeki.

“Tradisi sajian nasi astakona ini adalah khas budaya Banjar yang dipengaruhi budaya lokal Dayak dan Melayu, dalam penyajiannya dipengaruhi budaya Islam,” beber sarjana biologi lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

BACA JUGA : Potong Nasi Astakona, Puncak Harjad Banjarmasin Ke-496, Walikota Ibnu Sina Beber Sejumlah Keberhasilan

Masih menurut Sri Naida, dari beberapa catatan sejarah, nasi astakona disajikan pada acara resmi dan perayaan di Kasultanan Banjar, kemudian ketika sejak abad ke-20 diperkenalkan ke seluruh warga untuk mensyukuri alam raya yang terjaga, hingga sekarang menjadi sajian istimewa setiap perayaan.

“Sedangkan sumbangsih adat istiadat orang Dayak yang ahli bertani dan berkebun alami/organik untuk sesaji menjaga alam dengan tudung barangkap. Sementara, pengaruh budaya Melayu menyandingkan dengan syair dan mantera saat acara penyendokan nasi astakona,” beber penulis novel The Last Nansarunai-Gumi Ngamang Talam ini.

BACA JUGA : Suku Bakumpai, Penyambung Kesultanan Banjar dengan Masyarakat Dayak

Dia menjelaskan budaya Islam yang memengaruhi nasi astakona adalah nasinya tidak dipotong, tapi disendokkan dengan kayu kayu oleh orang tuha babinian, atau seorang sesepuh ibu atau simbolisasi mother earth.

“Ini mewujudkan implementasi dari ibu pertiwi yang akan menyuapkan makan-minum untuk para sultan/sultanah atau raja/ratu, pejabat, keluarga besar, para tetamu tetamu atau anak-cucu-cicit agar makan-minum yang halal dan menjaga tubuh jasadi,” beber Sri Naida.

Dengan keyakinan kenyang dan sehat itu karena Allah SWT, maka  adab menyendok makanan mulai kanan ke kiri, seperti membaca aksara pengetahuan kehidupan dan tersedianya pangan itu karena masih menjaga alam raya.

BACA JUGA : Ini Bukti Warisan Kesultanan Banjar Itu Kaya Raya, Sayang Rakyat (Belum) Sejahtera?

“Apalagi puncak sajian adalah memakan udang galah. Udang ini disebut juga satuha atau makhluk yang berumur tua, bandingkan bila beratnya 500 gram lebih per ekor, maka umurnya dua hingga tiga tahun dan udang adalah pertanda anti-pencemaran,” beber Sri Naida.

Aktivis pemberdayaan masyarakat dan lingkungan ini mengungkapkan bahwa udang atau undang dalam bahasa Banjar hidup pada sungai atau estuary bebas polutan.

Sri Naida mengatakan nasi astakona terdiri dari tiga komponen pokok dari elemen tanah yaitu beras dan sayur mayur. Sementara, elemen air berupa lauk pauk dari ikan yang hidup di air, “Adapun elemen udara berupa buah-buahan dan biji-bijian yang tumbuh dari pohon yang menjulang tinggi di udara,” ungkap Sri Naida.

“Semua elemen ini menggambarkan kesatuan dan keterikatan hidup manusia dengan tanah, air, dan udara,” katanya lagi.

BACA JUGA : Lamang Kandangan nan Gurih, Penganan Khas HSS yang Wajib Dibeli Jadi Oleh-Oleh

Secara umum, Sri Naida mengatakan penyajian nasi astakona terlihat pada: talam pertama atau dasar talamnya berisi pangan beras yang dimasak nasi (bukan lontong) umumnya berasal dari beras gunung dan beras rawa/gambut.

Hal ini menjadi simbolisasi bahwa gunung dan rawa bersatu dalam satu dasar talam sebagai kebutuhan dasar atau pondasi.

“Ibaratnya makan nasi dengan kuah buhaya saja sudah cukup. Kuah buhaya sebutan orang pahuluan (Banjar Hulu) pada kuah yang terbuat dari air teh manis. Umumnya, beras gunung di masak bersantan seperti nasi kuning, atau nasi lemak, nasi lemang (dimasak di bambu),” tutur Sri Naida.

BACA JUGA : Jejak Kepala (Tengkorak) Demang Lehman, Mencari Silsilah hingga Pembuktian Historis

Apalagi, beber dia, beras gunung bijiannya lebih keras dan wangi. Sedangkan beras rawa tanpa bumbu atau nasi putih rahai. Berikutnya, ditambahkan aneka sayur mayur dihiasi dengan sayur-mayur seperti kalakai, urab bayam raja, urap kasisap, atau pucuk daun dan masakan lainnya berkuah.

“Sementara, pada talam kedua berisi lauk pauk lengkap yaitu udang galah atau si raja biru, aneka ikan sungai-laut atau daging sapi, ayam, bebek, dan lainnya. Talam kedua bisa juga ini juga ditambahkan aneka sambal goreng udang/rempelo hati /daging/ikan kecil yang ditambahkan aneka sayur,” imbuhnya.

Sajian nasi astakona yang diperkenalkan RUNe dalam acara selamatan di Cafe Tradisi Kopi, Banjarmasin. (Foto FB Sunarti Suwarno)

Masih kata Sri Naida, pada talam ketiga berisi tanaman yang tumbuh menggantung di pohon atau disebut tanaman hidup di udara seperti buah-buahan atau biji-bijian seperti biji buah mente, buah kasturi, buah manggis, nenas kasongan, dan lainnya.

BACA JUGA : Lambat Basi dan Lebih Diminati, Simak Keunggulan Beras Banjar

“Boleh pula ditambahkan seperti bubur gunting dari sagu, es buah kolang kaling dan lain sebagainya. Sajian buah bisa dipotong utuh atau dihias seperti kambang sarai. Sebagai tambahan minuman juga ada kopi, teh atau aneka jus seperti jus ampulur gadang pisang, jus mangga Kasturi, jus buah manggis dan lainnya,” kata dia.

Dari tiga aneka pangan yang disajikan, yang berubah hanya pada talam ketiga. Saat ini, diakui Sri Naida, karena sudah ada impor buah-buahan dari berbagai negara juga bisa pula disajikan buah kurma, buah pir Rusia, apel Amerika, buah jeruk siam bahkan buah persik dari China.

“Sedangkan yang lain wajib dijaga keasliannya. Nasi astakona tidak sama dengan nasi tumpeng dari Jawa, baik dari hajat/tujuaannya dan penampilannya,” tegas Sri Naida.

Dia membandingkan bahwa nasi tumpeng disajikan dalam satu hamparan yang diletakkan di atas anyaman bambu, lalu ditaruh penganan dengan khusus nasi kuning ditata bentuk gunungan segitiga dan ditutup dengan daun pisang.

BACA JUGA : Masyarakat Banjar Lebih Suka Beras ‘Karau’, Harga Terus Naik, Stok Kian Menipis

“Itu merupakan simbolisasi gunung di Pulau Jawa. Adapun tujuannya untuk selamatan dan semua kegiatan bisa dengan nasi tumpeng misalkan, ulang tahun, naik jabatan, perayaan pengangkatan raja dan sebagainya,” beber Naida.

Dalam kebiasaannya, pada puncak acara, nasi tumpeng dipotong dan diberikan pada seorang tokoh kemudian mereka makan sendiri.

“Berbeda dengan sajian nasi astakona pada talam kuningan berangkap tiga atau lima. Tujuannya untuk perayaan dan mencari keberkahan atau ada hajat tertentu. Sehingga penyajian juga dibersamai dengan piduduk atau sajen tradisi dengan doa khusus,” kata Sri Naida lagi.

Nasi astakona kerap disajikan pada perayaan panen raya, kedatangan tamu, naik jabatan atau pengangkatan sultan/ sultanah (zaman dulu) atau perayaan hari kelahiran atau hajat yang lainnya. “Namun bila ingin selamatan sederhana dapat melakukan sajian nasi sapiring, tidak usah pakai talam astakona dan pangan lebih sedikit,” ucap dia.

BACA JUGA : Eksis Digempur Kosmetik Modern! Pupur Dingin dan Pupur Bangkal Masih Digemari Masyarakat Banjar

Masih kata Sri Naida, pada puncak acara, nasi astakona disendokkan dengan kayu oleh seorang ibu yang dituakan dan disuapkan pada tokoh yang memiliki hajat sambil diberikan doa.

“Khusus saat memakan, pamali makan sambil berdiri, wajib duduk dan saat mengunyah dengan pelan untuk menikmati sambil syukur dan menghentikan percakapan sejenak,” pungkas perempuan peraih gelar S2 Magister Administrasi Publik UGM dan Manajemen Pembangunan Sosial Universitas Indonesia ini.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/02/26/sarat-nilai-filosofi-nasi-astakona-sajian-perpaduan-budaya-banjar-dayak-melayu-dan-islam/
Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.