Aliran Fee Mengalir ke Maliki dan Bupati HSU Abdul Wahid, Dua Penyuap Didakwa Pasal Berlapis

1

DUA terdakwa penyuap Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPRP) Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Maliki dan Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid didakwa pasal berlapis.

DALAM sidang perdana di PN Tipikor Banjarmasin, Jalan Pramuka Banjarmasin, dua terdakwa dihadirkan lewat sidang virtual dengan majelis hakim diketuai Jamser Simanjuntak, Rabu (1/12/2021).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tito Jaelani membaca surat dakwaan di depan majelis hakim, penasihat hukum serta para terdakwa.

Pada sidang tindak pidana korupsi, perkara dua terdakwa; Direktur CV Kalpataru Fachriadi dan Direktur CV Hanamas, Marhaini, displit atau diadili secara terpisah.

Namun, berkas perkara kedua terdakwa ini sama. Jaksa KPK Tito Jaelani membacakan surat dakwaan mengungkap kronologi perkara penyuapan terhadap Plt Kepala Dinas PUPRP HSU Maliki yang juga mengalir ke Bupati HSU nonaktif, Abdul Wahid.

BACA : Tuntut 2 Terdakwa Kasus Korupsi HSU, Berbundel-Bundel Barbuk Diboyong Tim Jaksa KPK Ke Banjarmasin

Kronologinya, pada Juli-September 2021 bertempat di kediaman Maliki, Jalan Negara Dipa Kelurahan Sungai Malang Kecamatan Amuntai Tengah, HSU telah terjalin persengkongloan jahat untuk memberi atau menjanjikan sesuatu berupa komitmen fee secara bertahap. Nilainnya Rp 240 juta dari proyek yang digarap para kontraktor ini.

Atas janji itu, dengan persetujuan Bupati HSU Abdul Wahid menunjuk Maliki selaku pemegang kuasa anggaran sebagai Plt Kepala Dinas PUPRP HSU.

Akhirnya, proyek pekerjaan bidang sumber daya air di Dinas PUPRP HSU, Maliki selaku pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen (PPK) menyerahkan dua proyek irigasi kepada kedua terdakwa; Marhaini dan Fachriadi.

Terhitung, sejak 2021, kedua terdakwa ini mendapat proyek pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi di Dinas PUPRP HSU, dengan sepengetahuan Abdul Wahid selaku pemegang kuasa anggaran.

BACA JUGA : 1 Desember, Sidang Perdana 2 Terdakwa Kasus Korupsi HSU Digelar di PN Tipikor Banjarmasin

Sebelum lelang diumumkan di LPSE, para terdakwa; Marhaini dan Fachriadi bertemu Maliki di Kantor Dinas PUPRP HSU di Amuntai. Dalam pertemuan itu, Maliki mengungkap adanya perintah dari Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid mengenai plotting pekerjaan kepada para calon pemenang proyek. Proyek itu adalah rehabilitask jaringan irigasi daerah irigasi rawa (DIR) Kayakah Desa Kayakah Kecamtan Amuntai Selatan berpagu anggaran Rp 2 miliar. Satu lagi, proyek serupa di Banjang yang nilainya hampir sama.

Ada syarat yang diberikan Maliki kepada para kontraktor sebelum menang lelang. Yakni, menyerahkan komitmen fee sebesar 15 persen dari nilai pagu pekerjaan sebesar Rp 300 juta. Uang itu diserahkan kepada atasannya, Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid.

BACA JUGA : Dua Kali Diperiksa KPK, Bupati HSU Abdul Wahid Dicecar soal Atur Lelang Proyek dan Komitmen Fee

Walhasil, kedua kontraktor ini menyanggungi memberi ‘suap’ itu kepada Maliki yang mengalir ke Abdul Wahid. Cara pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai termin pembayaran kontrak kerja.

Dengan ‘stempel’ Abdul Wahid, akhirnya Fachriadi dan Marhaini dengan bendera perusahana memenangkan proyek irigasi di Dinas PUPRP HSU.

Khusus untuk Fachriadi selaku Direktur CV Kalpataru memenangkan proyek irigasi bernilai Rp 1.555.503.400 atau Rp 1,5 miliar lebih. Sementara, Direktur CV Hanamas Marhaini mendapat proyek irigasi senilai Rp 1.971.579.000 atau Rp 1,9 miliar lebih.

BACA JUGA : Kediaman Bupati HSU Wahid Turut Digeledah, KPK Bawa Beberapa Koper Barbuk

Begitu pencairan uang muka, komitmen fee yang dijanjikan dicairkan. Untuk Fachriadi menyerahkan Rp 346.453.030 atau Rp 346 juta lebih melalui Mujib Rianto, berikutya fee diberikan Rp 70 juta kepada Abdul Wahid melalui Maliki.

Saat pencairan termin pertama sebesar Rp1.006.017.752 terdakwa Fachriadi melalui M.Mujib Rianto kembali menyerahkan komitmen fee sebesar Rp 170 juta kepada Abdul Wahid melalui Maliki.

Hal serupa juga dilakoni Direktur CV Hanamas, Marhaini. Dia juga memberi jatah uang secara bertahap senilai Rp 300 juta kepada Maliki untuk selanjutnya diterima Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid.

Karena menang proyek irigasi senilai Rp 1,9 miliar lebih, Marhaini sepakat saat pencairan termin pertama Rp 526.949.297 dipotong. Dia juga menyerahkan fee itu melalui M Mujib Rianto dengan besaran Rp 125 juta kepada Abdul Wahid melalui Maliki pada 1 Juli 2021 di kediaman Maliki.

BACA JUGA : Jadi Tersangka KPK, Bupati HSU Ditengarai Terima Fee Belasan Miliar Sejak 2019

Berikutnya, setelah pencairan termin berikutnya sebesar Rp 676.071.352, lagi-lagi melalui M Mujib Risnto diserahkan uang fee sebesar Rp175 juta kepada Abdul Wahid pada 15 September 2021.

Atas perbuataan kedua terdakwa; Marhaini dan Fachriadi, jaksa KPK menilai hal itu bertentangan dengan kewajiban Abdul Wahid sebagai Bupati HSU sebagai penyelenggara negara.

BACA JUGA : Ternyata Mobil Honda CRV Disita KPK Milik Pejabat RSUD Pambalah Batung Amuntai

Jaksa KPK menjerat kedua terdakwa dengan pasal berlapis. Yakni, Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikior  jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dalam dakwaan pertama.

Dalam dakwaan kedua (subsider), jaksa KPK memasang Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.(jejakrekam)

Penulis Sirajuddin/Iman Satria
Editor Didi G Sanusi
1 Komentar
  1. adi77 berkata

    Penyuapan terjadi karna ada syarat dari Plt PUPR dan bupati yg minta fee 15%. Klo ga ada syarat tsb, dan pelelangan proyek dilakukan terbuka n jujur oleh pejabat. tentu tidak ada kasus ini.
    Jadi yg paling bersalah adalah pejabat yg memberikan syarat Fee tsb. Pihak swasta yg mberikn fee harusnya bisa dibebaskan atau hanya divonis jauh lebih ringan daripada terdakwa pejabat kpl dinas atau bupati.

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.