Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Bidang Lingkungan dan SDA dalam Perspektif Hukum Administrasi

0

Oleh : Muhammad Hadin Muhjad

KEKAYAAN sumber daya alam (SDA) bagi kita sebenarnya bermakna dua. Yakni, untuk kesejahteraan rakyat dan paradoksnya justru menjadi wadah korupsi.

FAKTA di daerah yang memiliki kekayaan SDA justru tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, malah menjadi ‘resource-curse’ atau kekayaan alam menjadi kutukan. Kekayaan SDA ini belum mampu memberikan nilai tambah bagi pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan di Indonesia. Ironis sekali,  pada eksploitasi pertambangan justru masyarakat di wilayah penghasil tambang kehidupannya jauh dari kata sejahtera.

Faktanya lagi, provinsi penghasil SDA terbesar di Indonesia justru memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah. Selain itu, integritas kepala daerah di daerah pertambangan juga rendah. Banyak kepala daerah di daerah tambang dan perkebunan tersangkut kasus korupsi, terutama suap perizinan.

BACA : Kran Sumber Pendanaan, Pengelolaan SDA Rentan Terjadi Korupsi

Hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama Auriga pada Agustus 2022 menunjukkan fakta bahwa penguasaan lahan dan SDA seperti tambang, kebun sawit, dan hutan oleh korporasi di Indonesia mencapai 94,8 persen atau sekitar 53 juta hektare. Sementara rakyat hanya menguasai sekitar 2,7 hektare saja.

Dari fakta itu memperlihatkan banyak izin usaha diberikan kepada pihak swasta dengan kondisi lahan yang sangat produktif. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (3) PP Nomor 34 Tahun 2002  tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, yang menentukan usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang, dan atau semak belukar di hutan produksi.

BACA JUGA : Ajukan RUU Sistem Pengelolaan SDA, Aktivis Masyarakat Sipil Kalsel Soroti Peran Senator DPD

Modus operandi korupsi SDA. Yakni, korupsi dilakukan  saat pengurusan perizinan, caranya pemberian suap, gratifikasi, atau benturan kepentingan. Selain itu selama beroperasi melakukan penggelapan, money laundry (tindak pidana pencucian uang), pajak, dan paling banyak terkait ketidakpatuhan atas izin. Setiap izin ada persyaratan-persyaratan perizinan, setelah beroperasi tidak patuh. Contoh dana reboisasi,  Lalu sektor tambang dana-dana yang berhubungan dengan jaminan reklamasi.

Cara lain biasa dilakukan ialah pemalsuan dokumen, mencari legalitas di pengadilan, penduduk ilegal/tanpa hak, rekayasa perkara, kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah serta hilangnya warkah tanah. Peluang yang digunakan ketika ketidakpastian hukum dan perizinan, kurang memadainya sistem akuntabilitas, lemahnya pengawasan, dan kelemahan sistem pengendalian manajemen.

Pelaku Korupsi SDA dan Hubungan dengan Politik

Korupsi sumber SDA  dilakukan oleh mulai dari tataran terendah pada aparat pelindung lingkungan di level daerah hingga level tertingg.  Big natural resources corruption selalu melibatkan aktor-aktor sampai di luar negeri sehingga lebih sulit ditindak pada pembuatan kebijakan di level nasional.

Korupsi SDA dikumpulkan untuk dana politik jumlahnya cukup besar. Selain itu, para oligarki bisa bersembunyi untuk menutupi kejahatannya. Mereka kerap memanfaatkan calon kepala daerah ataupun calon presiden untuk memuluskan jalannya.

Nilai Korupsi SDA dan Bahayanya

Berdasar laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester pertama 2020 menyebutkan bahwa kerugian negara akibat korupsi kekayaan alam hampir Rp 30,5 miliar. Dana berasal itu dari dua sumber yakni sektor tambang dan energi dan sektor kehutanan. Begitu pula, riset dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlihatkan pelaku suap mulai dari Rp 600 juta hingga Rp 22 miliar guna mendapatkan izin usaha.

Sementara, bahaya korupsi SDA bagi lingkungan; pertama, lubang tambang banyak yang tidak direklamasi karena perjanjian illegal dengan pihak berwenang. Kedua, menyebabkan banyak kecelakaan dan kematian terutama pada anak-anak karena ilegal keselamatan kerja.  Ketiga, banjir besar dan bencana lain diakibatkan kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.

Sedangkan, bahaya korupsi SDA bagi negara dan rakyat mencakup; pertama, lubang tambang banyak yang tidak direklamasi karena perjanjian illegal dengan pihak berwenang. Kedua, menyebabkan banyak kecelakaan dan kematian terutama pada anak-anak karena ilegal keselamatan kerja. Ketiga, banjir besar dan bencana lain diakibatkan kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.

BACA JUGA : Catatan Denny Indrayana Usai Ribuan Izin SDA Dicabut Jokowi: Jangan Sampai Ditunggangi

Korupsi SDA juga membahayakan bagi penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Yakni, korupsi di sektor sumber daya alam amat merugikan kepentingan bangsa sebab bertalian dengan korupsi politik dan praktik oligarki. Konsekuensinya adalah kekayaan alam didominasi penguasaannya oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Persentase penguasaan sumber daya alam  luar biasa timpang, rakyat hanya mendapat secuil saja.

Korupsi  juga membuktikan gagalnya negara mengelola SDA. Akibatnya, bisa dilihat dalam penelitian Indeks Kelestarian Lingkungan (ESI) 2001 (masih relevan) yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, ditemukan korelasi yang sangat erat antara tingkat korupsi dengan kesehatan lingkungan. Semakin tinggi tingkat korupsi di sebuah negara, maka semakin rendah tingkat kelestarian lingkungan hidupnya.

BACA JUGA : Gurita Korupsi Politik dan Menjemput Ajal Anak Bangsa

ESI merekomendasikan bahwa salah satu cara memastikan keberlangsungan lingkungan hidup adalah dengan mengurangi tingkat korupsi. Korupsi SDA, tidak hanya merugikan negara, tetapi  bukti gagalnya negara dalam mengelola SDA untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam pencegahan korupsi memerlukan kerja sama internasional dan masyarakat. Hal ini karena modus operandi korupsi begitu canggih. Maka kerja sama pemerintah nasional dan internasional perlu ditingkatkan. Pentingnya peran masyarakat sipil untuk membantu pemerintah memberikan informasi lapangan, apalagi saat ini perizinan  SDA wewenangnya ada di pemerintah pusat, tentu pemerintah pusat tidak punya cukup staf di daerah.

Di sinilah, pentingnya kerja sama dalam menyelamatkan kekayaan SDA agar tak dikorupsi. Sebab, SDA hanya akan selamat apabila pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sipil bekerja bahu membahu menyelamatkan Indonesia.

BACA JUGA : Pemberantasan Korupsi yang Masih Setengah Hati

Meski begitu, ada kendala dalam pencegahan. Sebab, korupsi SDA masuk dalam kategori korupsi besar (grand corruption) karena besarnya kerugian yang ditimbulkan, tetapi pelakunya kerap terbebas dari jerat hukum. Otoritas penegak hukum domestik pun kerap terganjal untuk mengusut kejahatan. Sebab, kejahatan disembunyikan dengan rapi. Aset-aset disembunyikan di luar negeri sehingga terganjal yurisdiksi negara lain. Selain itu, korupsi SDA aktor oligarki dalam negeri, juga luar negeri. Mereka seolah tak tersentuh hukum.

Di Indonesia, upaya untuk mengusut korupsi besar SDA ini semakin terjal karena justru dipermudah melalui regulasi yang ada. Ada praktik korupsi yang dilindungi dengan legislasi. Mengapa penting menyusun dan menerapkan strategi pencegahan korupsi? Yakni, ketika pemerintah selalu berkomitmen untuk memprioritaskan upaya pencegahan daripada pemberantasan korupsi dari hulu hingga hilir.

BACA JUGA : Bagaimana Nasib Pemberantasan Korupsi Pasca Revisi UU KPK?

Upaya ini meliputi penataan kebijakan dan regulasi, baik berupa instruksi/arahan maupun peraturan perundang-undangan, perbaikan tata kelola pemerintahan, pembenahan proses pelayanan publik yang transparansi dan akuntabel di bidang pengelolaan keuangan negara, termasuk penyelamatan keuangan/aset negara.

Maka pencegahan korupsi bisa melalui pendekatan preventif dan penggunaan hukum administrasi sangat penting bagi kebijakan anti korupsi (P. Hadjon). Norma penting hukum administrasi pencegahan korupsi melalui UU Kepegawaian.

BACA JUGA : KPK : Pengelolaan SDA Kalsel Salah Satu yang Terburuk

Bagaimana dengan peran hukum administrasi? Dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jelas peran hukum administrasi penting karena korupsi terkait penggunaan wewenang publik. Di Indonesia, UU ASN tidak ada satu pasal pun yang terkait dengan upaya pencegahan korupsi. Sementara, dalam UU Administrasi Pemerintahan (UU AP) terdapat pasal pencegahan korupsi seperti konflik kepentingan, diskresi dan penyalahgunaan kewenangan.

Dari segi regulasi, upaya pencegahan melalui UU  Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption Tahun 2003, Perpres 55/2012 tentang Strategi Nasional Pemberantasan, dan Perpres Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).

BACA JUGA : Masuk Zona Kuning Layanan Publik, 21 SKPD Pemprov Kalsel Gandeng Kerja Sama Ombudsman

Stranas PK adalah strategi yang sangat penting, dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi.Tujuan utamanya adalah bagaimana kolaborasi dan sinergi ini dapat mempercepat terciptanya “the enabling environment” atau pra-kondisi demi terwujudnya Indonesia yang bersih dan bebas dari praktik-praktik korupsi.

Dalam laporan pelaksanaan Stranas PK Triwulan I Tahun 2023-2024 menyebutkan koordinasi baik internal maupun antar lembaga pelaksana aksi, seringkali tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Padahal Perpres Nomor 54  Tahun 2018 tentang Stranas PK memberi mandat agar upaya pencegahan korupsi menjadi lebih optimal maka dibutuhkan kolaborasi dan sinergi bersama antara Kementerian, Lembaga, Pemda, KPK dan pemangku kepentingan lainnya.

Kebijakan pencegahan korupsi di bidang SDA melalui  Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) di lingkup tata ruang. Dulu masing-masing instansi  menggunakan peta yang berbeda-beda sehingga menimbulkan sengketa tanah, dan pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang.

BACA JUGA : Oligarki dan Pesta Demokrasi Pilkada

Kebijakan Satu Peta mengacu pada satu referensi geospasial, menggunakan satu standar, satu basis data, dan satu geoportal pada tingkat ketelitian yang sama di peta dengan skala 1:50.000. Kebijakan ini membantu penyelesaian konflik tumpang tindih penguasaan lahan, termasuk izin-izin di atasnya.

Dari hasil pemantauan di dua provinsi yakni Riau dan Kalimantan Timur berdasar hasil pelaksanaan Triwulan I 2003 menunjukkan fakta bahwa adanya tumpang tindih aturan izin, komunikasi berjalan kurang  harmonis dengan BIG hingga akses publik terhadap dokumen  peta tidak transparan.

Untuk itu, dalam menutup celah korupsi di bidang SDA sering secara institusional dan jaringan, maka diperlukan transparansi dalam proses perizinan.Pengelolaan SDA dipersyarati adanya kearifan lokal jangan terlalu sentralistik dan kapitalis.(jejakrekam)

Penulis adalah Guru Besar Hukum Administrasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin

Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.