Oligarki dan Pesta Demokrasi Pilkada

1

Oleh : Rosihan Anwar

TAMBANG Kalimantan Selatan, bukan hanya sebagai wahana aktivitas bisnis ekonomi tetapi lebih jauh sebagai instrumen persekongkolan korupsi kolusi nepotisme (KKN) para aktor.

AKTOR bisnis dan politik saling kerja sama. Mereka saling memanfaatkan satu sama lain. Bagi aktor bisnis, utamanya bisnis tambang, tentu memerlukan instrumen politik agar basis materialnya di bidang tambang dan bisnis lainnya bisa terpayungi. Mereka memerlukan political umbrella.

Political umbrella itu ada pada kepala daerah, DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), dan stakeholder politik lainnya. Dalam perspektif seperti itu maka pilkada (pemilihan umum kepala daerah) merupakan momen yang strategis bagi aktor atau bisnis tambang. Yang sekarang banyak dikenal sebagai oligarki.

BACA : Demokrasi Indonesia Dibajak Oligarki, Ketum Partai Ummat : Kita Lawan dan Basmi!

Dalam perspektif di atas, yaitu pilkada menjadi jalan masuk bagi oligarki untuk mentransformasikan ekonomi politiknya.  Maka di balik peristiwa pilkada sebenarnya adalah pertarungan para oligarki untuk menancapkan kekuasaannya.

Perang pengusaha tambang (oligarki tambang batubara) di Kalimantan Selatan memainkan pengaruh dalam mengatur irama permainan politik lokal. Penguasaan terhadap sumber daya kekuasaan politik lokal, saya pikir berhubungan erat dengan penguasaan sumber daya ekonomi lokal. Terutama dalam hal penguasaan sumber daya alam seperti bidang industri tambang dan perkebunan kelapa sawit.

BACA JUGA : Hanya Simbol Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Indonesia Kini ‘Dibajak’ Oligarki

Akibatnya, penguasa yang terpilih dalam pilkada sekedar menjadi ‘kacung; oligarki atau para cukong yang membandari calon kepala daerah selama proses pilkada. Posisi kepala daerah sebagai klien, sementara pemilik modal atau cukong sebagai patron.

Oligarkis Predator

Dalam konteks pilkada di Kalimantan Selatan, relasi bisnis dan politik sebagai pola persengkongkolan kekuasaan politik dan bisnis yang tidak terpisahkan. Para mafia tambang atau para oligarki lokal mendikte kekuasaan dan kebijakan penguasa dengan modus menempatkan orang-orang yang dapat dikendalikan para oligarki. Mereka masuk dalam struktur jaringan kekuasaan.

BACA JUGA : Pertegas Wilayah Kelola Rakyat, Robohkan Oligarki Kapitalistik

Birokrasi dan kekuasaan dibajak oleh para oligarki atau bos tambang dan memposisikan diri sebagai ‘pemerintahan bayangan’ atau ‘negara bayangan”. Di era demokrasi, oligarki semua ini bisa terjadi sebagai dampak dari sistem kekuasaan oligarkis-predatoris dan partai politik bericarak kartel.

Pilkada berbiaya tinggi membuka struktur kesempatan dan pintu terbuka bagi penguasa terpilih dalam pilkada akan merentalkan kekuasaan atau memperdagangkan pengaruh (trading influence) serta abuse of power untuk terjadinya perburuan rente ekonomi.

BACA JUGA : Oligarki Kian Kuat Picu Konflik Sosial, Para Pakar di Dunia Suarakan Keprihatinan Bersama

Di sinilah kekacauan praktek demokrasi liberal kapitalistik saat ini pasca pemerintahan Orde Baru. Tampaknya warisan oligarkis-predatoris pemerintahan Orde Baru masih tetap lestari. Bahkan ada indikasi semakin menyebar ke berbagai bidang kehidupan.

Di wilayah Kalimantan Selatan, justru fenomena semacam itu telah terdesentralisasi ke level lokal mengiringi isu-isu demokratisasi. Isu-isu demokratisasi menjadi arena terbuka bagi perkembangannya oligarki lokal bagaikan amuba di musim hujan.

Oligarki lokal berkembang biak bagi daerah yang memiliki sember daya alam (SDA) dan SDA menjadi instrumen membangun patronase politik dan bisnis bagi oligarki dalam kontestasi politik; pilkada.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Pos Komando Perjuangan Rakyat (Pospera) Hulu Sungai Utara

Editor Didi G Sanusi
1 Komentar
  1. Imi berkata

    Mantap membuka wawasan khalayak

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.