MK Kembali Digugat, Guru Besar ULM: Akan Berimbas Ke H Sahbirin Noor

0
7 kepala daerah, diantaranya Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak dan Walikota Bogor Bima Arya, mengajukan gugatan terkait Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada ke MK, beberapa waktu yang lalu.

PARA pemohon yang merasa dirugikan, karena masa jabatannya akan terpotong, yaitu berakhir pada Tahun 2023, padahal pemohon belum genap 5 tahun menjabat sejak dilantik. Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim) Emil Dardak dan kawan-kawan soal masa jabatan yang terpotong, sehingga kepala daerah dapat mengakhiri tugasnya selama 5 tahun, termasuk Bupati Kabupaten Tabalong Anang Syakhfiani.

Gugatan serupa kembali muncul, yang diajukan oleh beberapa kepala daerah.

Mengutip dari CNN Indonesia, Walikota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto bersama 10 kepala daerah lainnya mengajukan uji materi judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 ayat (7), (8) dan (9) Undang-undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.

BACA: Banyak Masyarakat Kalsel Menghendaki Jabatan Paman Birin Tak Hanya 3,5 Tahun

Selain Walikota Makassar, ada 10 kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon di MK, yakni Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu dan Walikota Bontang.

Kesebelas kepala daerah tersebut menggandeng Visi Law Office sebagai kuasa hukum. Berdasar keterangan tertulis dari Visi Law disebut bahwa pengujian pasal tersebut berkaitan dengan desain keserentakan Pilkada 2024 yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.

Desain keserentakan itu disebut telah merugikan sebanyak 270 Kepala Daerah, utamanya terkait terpangkasnya masa jabatan para kepala daerah secara signifikan.

Secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia atau 49,5 persen dari 546 kepala daerah.

“Para Kepala Daerah tersebut mewakili kepentingan dari 270 Kepala Daerah yang terdampak dan mengungkapkan setidaknya terdapat 7 persoalan dari desain keserentakan Pilkada 2024 yang diatur dalam pasal-pasal yang diuji oleh para pemohon,” dikutip dari keterangan tertulis.

BACA JUGA: Pangkas Masa Jabatan Kepala Daerah, Walikota Ibnu Sina Ungkap Apeksi Bakal Gugat UU Pilkada

Menurut Visi Law, meski pasal yang diuji tersebut telah pernah diuji sebelumnya ke MK, para pemohon kali ini memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.

Dalam pandangan pemohon bersama Visi Law, pembentuk undang-undang dinilai tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan pilkada serentak nasional 2024 sehingga berpotensi menghambat Pilkada yang berkualitas.

Atas seluruh argumentasi yang dijelaskan secara detail dalam permohonan, para pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada Nasional pada 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang.

Pelaksanaan gelombang pertama pada bulan November 2024 sebanyak 276 daerah, dan selanjutnya gelombang kedua sebanyak 270 daerah dilaksanakan pada bulan Desember 2025.

“Desain demikian menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang, persoalan keamanan hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke MK tersebut,” tulis Visi Law.

BACA LAGI: Analisa Guru Besar ULM: Jabatan Paman Birin Berpeluang Diperpanjang

Terkait hal ini, Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Ichsan Anwary mengatakan, dengan adanya perbedaan sikap MK atas putusan pengujian pasal 201 Undang-Undang Pilkada, dari putusan MK Nomor 62/PUU-XXI/2023 dan putusan MK Nomor 143/PUU-XXI/2023, maka terbuka kemungkinan gugatan atas masa jabatan kepala daerah yang terpangkas akibat keinginan untuk menyamaratakan masa jabatan kepala daerah dapat dikabulkan oleh MK.

“Pengaturan pelaksanaan serentak pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan pada November Tahun 2024 sudah barang tentu memangkas hak konstitusional masa jabatan kepala daerah tersebut,” ujarnya kepada jejakrekam.com, Selasa (30/1/2024).

Memang sekali lagi problemanya adalah keinginan untuk menyamaratakan pelaksanaan serentak pemilihan kepala daerah yang membawa konsekuensi terpangkasnya masa jabatan sebagai hak konstitusional seorang kepala daerah.

“Kita tunggu saja putusan MK atas judicial review yang diajukan oleh para kepala daerah yang memperjuangkan hak konstitusionalnya, dan kalau itu gugatan mereka di kabulkan oleh MK, maka Gubernur Kalsel H Sahbirin Noor akan dapat imbasnya seperti Bupati Kabupaten Tabalong,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.