Penutur Bahasa Banjar Dialek Hulu Lebih Murni, Benarkah? Ini Pendapat Pakar Bahasa Banjar ULM

0

PENUTUR bahasa Banjar yang membumi dan menjadikannya sebagai lingua franca di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur hingga sebagian daerah di Riau dan Jambi, Sumatera dan Malaysia.

BERDASAR data Etnonlogue, Indonesia memiliki 726 bahasa daerah dari berbagai etnis. Ada 10 bahasa daerah yang memiliki penutur terbanyak di Indonesia. Sementara, penutur bahasa Banjar terdata pada 2017 silam sebanyak 3,5 juta orang, sehingga berada di urutan ke-7 dari 10 besar bahasa daerah yang dituturkan warga negara Indonesia.

Urutan pertama adalah bahasa Jawa, disusul bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Minangkabau, bahasa Musi, bahasa Bugis, kemudian bahasa Aceh, bahasa Bali, dan terakhir bahasa Betawi.

Pakar sastra dan bahasa Banjar FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Rustam Effendi mengakui dari pendapat sejumlah ahli membagi dua hingga tiga kelompok atau dialek penutur bahasa Banjar secara umum, yakni dialek Banjar Hulu, Banjar Kuala dan Banjar Batang Banyu.

BACA : Sebelum Bikin Lirik Lagu Berbahasa Banjar, Khairiadi Asa Lakukan Riset Dulu

Dialek Banjar Hulu yakni dituturkan di daerah Hulu Sungai atau Banua, mencakup Kandangan (Hulu Sungai Selatan), Barabai, Tabalong, Amuntai hingga Balangan. Sementara, dialek Banjar Kuala, dituturkan di Banjarmasin, seperti subdialek Kuin, Alalak, Sungai Jingah, Martapura (Kabupaten Banjar), Pelaihari (Tanah Laut), hingga Tanah Bumbu dan Kotabaru.

Sementara, masuk dalam dialek ketiga adalah Banjar Batang Banyu terdiri dari Negara (Hulu Sungai Selatan), Margasari (Tapin) serta para pemukim di sepanjang Sungai Barito dan anak sungainya, seperti Sungai Nagara dan lainnya.

BACA JUGA : Bahasa Banjar Kaya Sinonim Kata, Tapi Banyak yang Hilang

Sebelumnya, budayawan dan sastrawan Kalsel, YS Agus Suseno menghipotesiskan bahwa penutur yang masih murni dan terjaga ‘keasliannya’ justru dialek dengan berbagai macam subdialek bahasa Banjar Hulu, seperti dialek Kandangan, Barabai, Tapin, Amuntai, Alabio, Kelua dan lainnya. Hal ini jika dibandingkan penutur bahasa Banjar Kuala yang terpengaruh atau berinteraksi dengan bahasa lainnya, seperti Bakumpai, Berangas hingga Kahayan atau Dayak Ngaju.

Pakar bahasa dan sastra Banjar FKIP ULM, Prof Rustam Effendi. (Foto FKIP ULM)

“Benar saja, sebab orang Banjar Kuala itu masyarakatnya lebih leluasa berinteraksi dengan berbagai suku Melayu yang lain. Mereka berdagang, berlayar dan merupakan masyarakat sungai. Bandingkan dengan orang Banjar Hulu yang tinggal di lereng-lereng gunung serta bertani atau berladang. Sementara, Banjar Batang Banyu adalah bagian dari Banjar Hulu, jadi hampir sama dengan Banjar Hulu,” tutur Prof Rustam Effendi, guru besar FKIP ULM kepada jejakrekam.com, Kamis (14/9/2023).

BACA JUGA : Mengukur Eksistensi Bahasa Banjar Dari Karya Sastra Hingga Karya Akademik

Profesor yang melakukan penelitian peribahasa Banjar, makna budaya dalam istilah tertentu dalam kebudayaan Banjar, legenda dan mitos Banjar hingga disematkan sebagai guru besar pada 22 Oktober 2014 mengakui meski terdapat perbedaan dialek, toh masing-masing penutur bahasa Banjar masih bisa mengerti dan memahami, terutama ketika terlibat dalam percakapan.

“Ya, saling memahami. Karena hanya perbedaan dialek. Artinya perbedaan itu hanya karena beda logat, ucapan, intonasi, dan sedikit kosa kata yang berbeda. Misalkan, duyu, kuyuk, kutang. kodok, kurat, juruk, dapur, dan sebagainya,” kata mantan Dekan FKIP ULM ini.

Menurut Rustam, pengaruh atau malah saling pengaruh-memengaruhi antara bahasa Banjar dengan bahasa lainnya seperti Dayak, Bakumpai, Melayu atau Jawa justru terjadi, sehingga tidak bisa dibilang bahasa Banjar tak berdiri sendiri atau mandiri.

BACA JUGA : Bahasa Banjar Zaman Dulu dan Rumah Lanting Diusulkan ke Kemendikbud

“Ya, memang terjadi tapi agak sedikit, terkecuali ada penutur bahasa Banjar khas adalah Banjar Bukit,” kata doktor lulusan Universiti Utara Malaysia (UUM) Kedah Darul Aman pada 2010 ini.

Rustam menegaskan kesamaan kota kata dengan bahasa Jawa, belum tentu jika bahasa Banjar itu meminjam bahasa Jawa.

“Perlu diingat bahasa-bahasa di Nusantara berasal dari bahasa tua, yakni bahasa Austronesia. Jadi, bahasa Jawa, Banjar, Dayak dan sebagainya itu berasal dari induk yang sama. Jadi wajar ada kosa kata yang sama. Bukan saling pinjam. Misalkan, talu dan lawang adalah kosa kata Austronesia,” beber Rustam.

BACA JUGA : Bukan Buku Pertama, YS Agus Suseno Pesan Urang Banjar Jangan Sampai Tercerabut Akar Budayanya

Guru besar yang dikukuhkan mengangkat orasi ilmiah berjudul Perspektif Linguistik Antropologi dan Hermeneutika Undang-Undang Sultan Adam pada Oktober 2014 ini menegaskan bahwa bisa saja supaya kelihatan kosa kata yang baru.

“Sebab, kosa kata biasanya kosa kata pinjaman dari bahasa Melayu modern, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia,” pungkas Rustam.(jejakrekam)

Penulis Ipik Gandamana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.