Penerapan Restorative Justice pada Anak Berhadapan dengan Hukum di Mata Praktisi dan Pakar Hukum

0

MENCARI gambaran yang jelas mengenai penerapan keadilan restorasi (Restorative Justice) khususnya pada anak berhadapan dengan hukum di Kalsel dibedah dalam diskusi publik.

DISKUSI publik digelar Forum Kota (Forkot) Banjarmasin dengan menghadirkan guru besar Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Dr H Muhammad Hadin Muhjad bersama Sekretaris Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Banjarmasin, Dr Dian Korona Riadi di Excelso Coffee, Banjarmasin, Rabu (23/8/2023) malam.

Mengusung tema Peran Masyarakat dalam Penerapan Keadilan Restorative Justice untuk melestarikan perdamaian, diskusi publik dipandu Ketua Forkot Banjarmasin Syarifuddin Nisfuady. Diskusi publik dihadiri aparat penegak hukum seperti dari Satreskrim Polresta Banjarmasin, Kejari Banjarmasin, hingga perwakilan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Banjarmasin dan lainnya.

BACA : Korban Sepakat Berdamai, Kasus Curi Pakaian Di Saka Permai Diselesaikan Secara Restorative Justice

“Diskusi publik ini dilatar belakangi adanya anak melakukan kejahatan, tentu tidak sama dengan orang dewasa melakukan kejahatan. Mencari latar belakang atau sebab anak melakukan kejahatan sebagai lingkup dari kriminologi akan sangat rnembantu dalam memberi masukan tentang apa yang sebaiknya diberikan terhadap anak yang telah melakukan kejahatan,” ucap Nisfuady.

Menurut alumni Fakultas Hukum Unissula Semarang ini, berbicara tentang kejahatan anak tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong dan motivasi. Hal ini mendorong seorang anak melakukan kejahatan, dan pada akhirnya dapat menentukan kebutuhan apa yang diperlukan seorang anak dalam memberi reaksi atas kenakalannya.

BACA JUGA : Bentuk Rumah Restorasi Justice, Kejati Kalsel Raih 3 Penghargaan dari Kejagung

Berdasarkan data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Kalimantan Selatan di bawah Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Kalsel mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tiap tahun terus mengalami peningkatan.

Pada 2020, ada 14 kasus perempuan dan 24  kasus anak. Kemudian, pada 2021 justru meningkat, kasus perempuan 14, kasus anak 37. Tren kembali naik pada 2022, kasus perempuan ada 30, kasus anak 29 dan tahun 2023 periode Januari hingga Agustus sudah tercatat ada 13 kasus perempuan dan 20 kasus anak.

Merespons hal itu, Prof Hadin Muhjad yang juga Ketua STIH Sultan Adam ini mengatakan keadilan restorative justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau keluarga korban dan pihak terkait.

BACA JUGA : Bahas Isu Kriminalisasi Ulama dan Keadilan Restorasi, MUI Kalsel Gelar Bimtek dan Diskusi Hukum

“Mereka bersama-sama mencari penyelesaian yang adil, mengembalikan keadaan seperti semula sebelum terjadinya tindak pidana, dengan menekankan pemulihan terbaik pada keadilan semua, bukan pembalasan,” kata guru besar hukum administrasi ini.

“Kenapa pidana anak masuk dalam kerangka restorative justice? Karena anak masih punya harapan masa depan dan bangsa ini akan ditentukan oleh anak-anak, sehingga bentuk pemulihan tadi ingin mengembalikan anak tadi menjadi lebih baik lagi,” ucap Ketua Senat ULM Banjarmasin ini.

BACA JUGA : Kejahatan Anak dan Pendekatan Keadilan Restorative, Mereka adalah Generasi Masa Depan Kita!

Hadin menjelaskan bahwa dalam restorative justice, perlu peran para tokoh masyarakat yang memberikan masukan tentang tabiat anak, kelakuan mereka seperti apa, agar menjadi catatan untuk dilakukan perubahan.

“Saya menyarankan pada saat dilakukan kesepakatan ada tokoh politik, tokoh agama dan lainnya, untuk memberikan masukan mengarahkan anak tadi, karena ini masa depan dan mereka masih bisa diharapkan agar bangsa kita ini tidak hancur,” ujar Hadin.

BACA JUGA: Baru Sepekan Masuk Sekolah, Siswa SMAN 7 Banjarmasin Bersimbah Darah Ditusuk Rekan Sendiri

Restorative Justice di mata praktisi hukum, Dr Dian Korona Riadi sebenarnya sudah ada sejak dulu pada adat budaya Kalsel, khususnya adat badamai dalam tradisi masyarakat Banjar. Hanya saja, istilah atau diksi restorative justice populer pada era 2000-an.

“Kita lihat di kampung-kampung dulu, apabila ada persoalan hukum pasti disarankan para tokoh untuk berdamai saja, ‘kita kula-kula jua‘, itu sebenarnya restorative justice,” kata dosen dan praktisi hukum ini.(jejakrekam)

Penulis Iman Satria
Editor Siti Nurdianti

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.