Bukan Metal Detector, Tapi Mental Detektor

0

Oleh : Nasrullah

PASCA aksi penusukan antar siswa sekolah favorit di Kota Banjarmasin, muncul gagasan dari pejabat daerah untuk menggunakan metal detector yakni alat pendeteksi bahan logam yang objek materialnya tentu pada senjata tajam.

NAMUN wacana ini mengundang tanda tanya besar apakah tidak tergesa-gesa dilaksanakan, padahal Kalimantan Selatan sedang tidak darurat penyalahgunaan senjata tajam (sajam).

Bukan Metal Detector

Tulisan ini menyepakati bahwa penyalahgunaan sajam, apalagi di sekolah harus diantisipasi dan dihentikan. Meskipun demikian, yang menjadi pembahasan adalah jangan sampai metal detector justru menjauhkan siswa dari pengetahuan dan kearifan berbagai jenis senjata tajam.

Di sisi lain, ide metal detector ini justru mengingatkan pengalaman saya sebagai lulusan dari sekolah dasar yang jauh dari kurikulum yang canggih, kehadiran pengawas sekolah, dan sejenisnya. Bagaimana tidak, menjelang waktu tertentu, saya bersama murid-murid lain diminta membawa parang untuk membersihkan halaman sekolah yang ditumbuhi rumput.

Terus terang ada kalanya saya malas dan berniat untuk absen pada saat kerja bakti siswa di sekolah dengan alasan yang dibuat-buat. Menyadari hal tersebut, almarhum nenek saya menasihati, halaman yang telah dibersihkan akan nyaman menginjaknya.

BACA : Metal Detector Tak Efektif, Antropolog ULM Sebut Sepatutnya Potensi Negatif Siswa Direduksi

“Bagaimana mungkin kamu tega menikmati kenyamanan itu sementara kamu berdiam diri saja pada saat orang lain mengerjakannya” kata Beliau menasihati. Ternyata membawa parang dan membersihkan rumput di halaman sekolah, bukan sekadar aktivitas fisik yang terus diulang sebagai habitus siswa tetapi menumbuhkan kecintaan siswa pada sekolahnya.

Membawa parang ke sekolah ini terus berlanjut hingga saya duduk di bangku SMP di kecamatan. Kami siswa baru diminta oleh guru untuk membawa parang di awal masuk sekolah untuk membersihkan halaman tempat upacara bendera dikibarkan. Sayangnya ketika masuk Madrasyah Aliyah, saya tidak mendapati permintaan sekolah untuk membawa parang seperti tingkat SD dan SMP.

Persoalan Mental

Oleh karena itu, alih-alih berorientasi pada objek material dengan metal detector tersebut, saya cenderung melihat pada manusianya, seperti pepatah man behind the gun (manusia yang berada di balik senjata).

BACA JUGA : Sesalkan Insiden Berdarah di SMAN 7 Banjarmasin, Kadisdikbud Kalsel Instruksikan Beli Metal Detector

Maka dari pada persoalan metal detector, terlebih dahulu mengutamakan mental detector yakni upaya mendeteksi mentalitas siswa. Kita perlu mengidentifikasi siswa dari sekolah manapun yang bermental unggul, kompetitif, mentalitas kolaboratif, serta sejumlah mentalitas berorientasi masa depan.

Perkara mental ini sendiri tidak hanya di dunia pendidikan, atau kalangan siswa belaka. Presiden Jokowi sempat memberikan perhatian serius dengan sering diucapkan “revolusi mental” oleh Presiden, tetapi kemudian gaungnya semakin lemah dalam kebijakan pemerintahan Jokowi.

Jauh sebelumnya, Koentjaraningrat, Bapak Antropologi Indonesia telah menyampaikan bahwa untuk mencapai tingkat kemakmuran tertentu bangsa Indonesia tidak bisa tidak harus merubah beberapa sifat dari mentalitet yang ada dalam diri mereka (Koentjaraningrat, 1974:40).  Salah satu perkara mentalitas yang mesti dirubah itu adalah mentalitas suka menerabas, yakni menggunakan jalan pintas tanpa mengikuti proses.

BACA JUGA : DPRD dan Disdikbud Kalsel Sepakat Terapkan Budaya Beretika Khas Banjar di Seluruh Sekolah

Mentalitas itu sendiri adalah pandangan-pandangan, pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma setara aturan-aturan yang dimiliki individu, yang dijadikan kerangka acuan atau pedoman untuk memahami atau mewujudkan perilaku atau Tindakan tertentu terhadap lingkungan yang dihadapi (Ahimsa-Putra, 2015:14).

Dari definisi mentalitas jika kita lihat keterkaitan rencana penempatan metal detector di sekolah yang tentu saja objek tangkapannya adalah pada senjata tajam maka yang terbaca adalah upaya menjauhkan senjata tajam dari siswa di sekolah demi menghindari tindakan melawan hukum.

Dengan demikian, pandangan, pengetahuan dan seterusnya hingga sampai pada tindakan juga terlihat dari berbagai pemberitaan tentang penggunaan sajam. Jika kita mencari “sajam (senjata) tajam di sekolah” maka yang muncul adalah berita aksi penusukan, siswa mengamuk membawa sajam, bahkan siswa mengancam guru dengan sajam. Itulah sebabnya, pola pikir kita telah terbentuk bahwa sajam identik dengan aksi yang menjurus pada upaya melawan hukum.

BACA JUGA : Baru Sepekan Masuk Sekolah, Siswa SMAN 7 Banjarmasin Bersimbah Darah Ditusuk Rekan Sendiri

Pola pikir demikian hanya melihat pada sudut pandang tertentu saja, akibatnya sudut pandang lain tertutup karena mental detector tidak diaktifkan. Kita tidak melihat penggunaan sajam seperti parang adalah untuk membersihkan halaman sekolah, jika diabstraksikan adalah manifestasi kepedulian pada lingkungan pendidikan.  Pada tataran konseptual, kita melihat metal pada mentalitas berorientasi masa depan yakni mentalitas anti kebodohan dan pembodohan (Ahimsa-Putra, 2015).

Maka cara memandang metal atau sajam ketika masuk sekolah adalah dengan memberikan pengetahuan pada siswa. Misalnya pada sebuah senjata tingkat ketajaman yang dimiliki, daya kekerasan material senjata, model senjata, ukuran, penggunaan, unsur kimia di dalamnya.  Dari segi kegunaan, jenis senjata tertentu ada yang memiliki manfaat dari mengupas bawang, buah-buahan, membersihkan ikan, membersihkan rumput, atau menjadi senjata survival di hutan hingga bagi yang ingin mendalami kedokteran digunakan sebagai pisau bedah.

BACA JUGA : Bantah Anaknya Pembully, Orangtua Korban Penusukan Resmi Lapor ke Polresta Banjarmasin

Melalui senjata tajam, siswa dapat terus dibawa dalam perjalanan memasuki dunia pengetahuan dari berbagai bidang aspek sejarah misalnya penggunaan senjata peperangan atau untuk keperluan pertanian. Museum Wasaka dapat menjadi tempat bagi siswa mempelajarinya, bahkan di sana digelar festival parang yang menampilkan berbagai jenis senjata tradisional Kalimantan Selatan.

Dari aspek antropologis, bagaimana penggunaan senjata baik untuk koleksi (ganggaman) hingga aksesoris belaka. Beberapa tahun ini, Muchlison dkk, dari Asosiasi Antropologi Indonesia Kalimantan Selatan melakukan penelitian tentang berbagai jenis parang di Kalimantan Selatan. Dari sudut pandang arkeologis, kita bisa mengetahui peleburan besi kuno yang disebut buren justru terdapat di Kalimantan Tengah (Hartati dan Otavianus, 2018)

BACA JUGA : Insiden Penusukan Siswa SMAN 7 Banjarmasin Diatensi, DPRD Kalsel Akui Coreng Dunia Pendidikan

Bagian akhir, kita tentu sepakat agar menjauhkan siswa dari sajam agar tidak terjadi tindak kriminalitas atau upaya melawan hukum. Bersamaan dengan itu, siswa harus didekatkan dengan metal sebagai bahan dan senjata tajam itu sendiri sebagai pengetahuan. Maka inilah mental berorientasi keilmuan dan masa depan.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM)

Sedang Menempuh Pendidikan S3 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.