Mengulik Kasus Longsornya Jalan Nasional Km 171 Satui dan Megaproyek Jembatan Pulau Laut

0

Oleh : Dr H Subhan Syarief, MT

DALAM membangun infrastruktur layanan publik seperti ruas jalan, jembatan dan lainnya, tentu pemerintah selalu menekankan skala urgenitas atau prioritas dan dampak kemanfaatannya.

UTAMANYA lagi adalah sisi multiplier effeck atau dampak ganda, terkhusus lagi dalam jangka panjang sehingga bisa menaikkan daya tarik atau nilai sebuah kawasan. Umumnya adalah proyek mercusuara atau monumental.

Lantas jika mengukur asas kemanfaatan antara pembangunan Jembatan Pulau Laut yang akan menghubungkan daratan Pulau Kalimantan (Kalimantan Selatan) dengan Kotabaru dan perbaikan jalan nasional di ruas Jalan A Yani Km 171 Desa Satui Barat, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu tentu bisa digali dari segi kemanfaatannya.

Secara umum, terbangunnya akses jalan dan jembatan sebagai bagian dari proyek infrastruktur, tentu akan memudahkan dan melancarkan arus atau aktivitas angkutan barang dan manusia.

BACA : Pakai Data Citra Satelit, Polda Kalsel Bisa Ungkap Unsur Pidana Kasus Longsornya Jalan Km 171 Satui

Nah, kalau diukur dari segi multiplier effect dalam jangka panjang, tentu saja, pengaruh pembangunan Jembatan Pulau Laut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rencana perbaikan jalan nasional yang longsor di Km 171 Satui,

Sementara, jika ditakar dari segi urgenitas maka perbaikan jalan nasional Km 171 semestinya akan menjadi prioritas utama yang kudu atau wajib ditangani segera. Namun, faktanya, justru kasus jalan nasional Km 171 dalam perlakuan penanganan sangat berbeda jauh.

Dalam hal ini, ada tiga pendekatan dalam penyelesaian kasus longsornya Km 171 Satui. Yakni, penyelesaian secara teknis, penyelesaian secara hukum dan penyelesaian secara politik kebijakan atau politis.

BACA JUGA : Bukan Bencana Alam, Anggaran Perbaikan Amblesnya Jalan Km 171 Satui Tak Dibantu Pusat

Dalam kajian teknis, kasus kerusakan atau longsornya jalan nasional Km 171 Satui masuk kategori kegagalan bangunan. Terkhusus dari segi keruntuhan bangunan yang disebabkan adanya perubahan eksisting kawasan di sekitar jalan. Perubahan eksisting yang ekstrim di kawasan tersebut menyebabkan kondisi jalan menjadi tak stabil yang ujungnya terjadi kelongsoran jalan.

Hal ini yang menyebabkan perubahan eksisting kawasan adalah karena diduga ada aktivitas pertambangan, jadi sepatutnya masalah ini yang jadi fokus utama dicermati. Problema Ini bisa ditinjau melalui salah satu piranti aturan terkait produk konstruksi, dalam hal ini salah satunya adalah jalan.

BACA JUGA : Nasib Jalan Nasional di Desa Satui KM 171 Tunggu Hasil DED Kementerian PUPR

Di regulasi UU Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, terkait kegagalan bangunan/keruntuhan bangunan hakikatnya tetap bisa di cari siapa yang bertanggung jawab atau menjadi penyebab terjadinya keruntuhan atau tak berfungsinya bangunan/jalan tersebut.

Dalam aturan UU Nomor 2 Tahun 2017 tersebut diatur juga hal wujud pertanggungjawaban ketika terjadi keruntuhan bangunan/jalan adalah dalam bentuk melakukan perbaikan atau menganti jalan tersebut agar bisa kembali digunakan sesuai fungsi yang direncanakan terdahulu. 

Jadi langkah awal ini semestinya segera dijalankan melalui pendekatan secara teknis. Yakni, identifikasi dan analisis terhadap beberapa hal, seperti membentuk tim penilai ahli independen, memetakan penyebab terjadi keruntuhan/kerusakan, menentukan pola model penanganan terhadap kerusakan tersebut, menentukan alternatif terbaik solusi yang dilakukan serta biaya perbaikannya. Tak kalah penting adalah menentukan siapa yang bertanggung jawab atas keruntuhan tersebut dan model bentuk tanggung jawabnya.

BACA JUGA : Tak Pertahankan Ruas Km 171 Satui yang Longsor, Pengaspalan Jalan Alternatif Dianggarkan Rp 5 Miliar

Kemudian pendekatan secara politis dengan melakukan koordinasi bersama antara pihak yang bertanggung jawab (menyebabkan terjadinya keruntuhan). Dalam hal ini pemerintah daerah dan pusat; khususnya Pemprov Kalsel dan Pemkab Tanah Bumbu, terutama lagi lembaga terkait langsung (PUPR, Pertambangan, Lingkungan Hidup dan yang terkait lainnya).

Guna mengatasi atau menjalankan hal tersebut langkah awal dan mendesak adalah diperlukan keaktifan dan keseriusan Pemprov Kalsel selaku ‘pemilik daerah’ bersama dengan DPRD Kalsel dalam fungsinya sebagai lembaga pengawasan.

BACA JUGA : Segera Tata Ulang, Ahli Geoteknik ULM Beber Jalan Longsor A Yani Km 171 Satui Tak Layak Lagi

Langkah berikutnya adalah pendekatan secara hukum guna memperkuat kebijakan juga perlu dilakukan atau diambil oleh pengampu kekuasaan. Hal ini bisa dimulai dari penelusuran penyebab utama kerusakan/keruntuhan.

Bila memang penyebabnya adalah terkait hal adanya kegiatan pertambangan seperti informasi yang beredar selama ini, maka tentu pihak yang memberikan izin terhadap lahan pertambangan mesti turut wajib bertanggung jawab. Sebab bagaimana mungkin area sekitar jalan yang mestinya zonasi bebas dan aman bisa diberikan izin kegiatan atau aktivitas pertambangan. Tentu saja, fakta ini akan terus menjadi pertanyaan besar bagi publik.

BACA JUGA : Gali Unsur Pidana, Polda Kalsel Ungkap Kasus Jalan A Yani Km 171 Satui Longsor Bisa Seret Korporasi

Jadi, dalam hal pemberi izin dan penerima izin sepatutnya diberikan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Minimal, mereka bertanggung jawab untuk memperbaiki jalan yagn longsor atau menganti dengan membuat jalur jalan baru.

Sedangkan dari segi takaran rencana pembangunan Jembatan Pula Laut, tentu untuk mengoalkan megaproyek ini diperlukan kemampuan lobi dari pemerintah daerah, plus dukungan kuat dari semua anggota DPR-RI dan DPD asal Kalsel.  Fakta dan data kemudian disertai adanya bukti keseriusan bahwa proyek itu akan direalisasikan dengan kucuran dana APBD Pemprov Kalsel, Pemkab Kotabaru dan Pemkab Tanah Bumbu sebagai pemancingnya.

BACA JUGA : Soal Longsor Jalan A Yani Km 171 Desa Satui Barat, PT MJAB Klaim Bukan di Wilayah IUP Perusahaannya

Dulu infonya memang ada sudah dicanangkan dana sebesar 1 triliun. Tapi sayangnya, rencana ini tak kunjung direalisasikan dalam bentuk pembangunan fisik. Nah, agar bisa dibantu dukungan APBN yang menjadi domain pemerintah pusat, maka diperlukan langkah nyata untuk mengawali dengan kegiatan fisik pembangunan.

Sambil melakukan lobi kepusat baik secara halus ataupun secara ‘keras’. Dalam hal ini, keras bisa diartikan dalam bentuk ancaman argumen bahwa Kalsel sudah banyak menyumbang devisa bagi negara. Masya, untuk membangun jembatan yang penting dengan minta dukungan dana sisanya saja tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah pusat.

BACA JUGA : Jalan A Yani Km 171 Satui Kembali Longsor, LBH Borneo Nusantara Siap Gugat Pemerintah

Jadi, secara mendasar agar proyek tersebut bisa segera diluncurkan adalah sangat tergantung pada kemampuan lobi dari pemerintah daerah dan wakil rakyat yang ada di DPR RI asal Kalsel.

Bila menengok dan mengulik dari dua hal itu, baik proyek Jembatan Pulau Laut maupun kasus jalan longsor Km 171, maka kita bisa katakan tergantung pada kemampuan dalam lobbi dan perundingan. Pada dasarnya pemerintah daerah, khususnya Pemprov Kalsel disokong DPRD Kalsel, berikutnya adalah para wakil rakyat yang duduk di DPR RI dan DPD yang menjadi perwakilan suara Kalsel di parlemen. Nah, jika kedua elemen ini masih lemah dari segi strategi maupun kemampuan memainkan bargaingnya, maka apa yang didapat Banua jelas tidak akan optimal dan maksimal.(jejakrekam)

Penulis adalah Doktor Hukum Konstruksi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang

Mantan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Provinsi Kalsel

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/06/22/mengulik-kasus-longsornya-jalan-nasional-km-171-satui-dan-megaproyek-jembatan-pulau-laut/
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.