Omnibus Law Cipta Kerja dan Pelecehan Seksual terhadap Karyawan Perempuan

0

Oleh : Untung Aslianur

BAGAIMANA perasaan Anda ketika mendengar berita tentang seorang karyawan wanita diajak tidur bersama (staycation) oleh sang bos, sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja? Marah, sedih, prihatin, tentu saja akan memenuhi ruang hati kita.

SULIT membayangkan kalau sampai hal itu terjadi pada keluarga kita. Peristiwa tersebut baru-baru ini terjadi di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Meskipun bos perusahaan yang mengajak karyawan wanitanya untuk staycation itu sudah dihukum, tapi jika tidak diantisipasi dengan baik, bukan tidak mungkin hal serupa akan terulang kembali.

Celakanya keberadaan Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak melindungi para buruh, dengan membebaskan perusahaan menggunakan tenaga kerja kontrak tanpa batas, bisa saja kalau kejadian seperti itu akan muncul kembali dengan segala variannya.

Pada awalnya, UU Cipta Kerja dibuat agar mempermudah sistem perizinan dunia usaha, tapi faktanya sekarang justru dimanfaatkan sebagai alat untuk mengebiri hak para pekerja sehingga tidak punya posisi tawar dengan pengusaha yang telah dimanjakan dengan berbagai regulasi.

BACA : Nasib Buruh Di Bawah Bayang-Bayang UU Cipta Kerja, SPSI Banjarmasin Harapkan Perbaikan Regulasi

Salah satu aturan dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan buruh adalah dihapusnya kewajiban perusahaan mengangkat pekerjanya sebagai karyawan tetap. Dimana perusahaan dibolehkan mengikat buruh lewat kontrak berdurasi pendek, yakni setahun. Kalau sudah begitu, jika ada buruh yang menolak aturan yang merugikan dirinya, bisa saja dia akan kehilangan kontrak di tahun berikutnya.

Melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 dan telah disahkan DPR pada 21 Maret 2023, Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memperkuat posisi pekerja dalam UU sebelumnya, dihapus.

Padahal, pasal ini memberi jaminan keberlangsungan kerja bagi buruh yang sedang terikat pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Karena pasal ini mewajibkan perusahaan mengangkat pekerja yang telah bekerja selama maksimal 2 tahun. Jika belum maka perusahaan cuma bisa memperpanjang kontrak 1 tahun.

BACA JUGA : May Day Tak Turun ke Jalan, Buruh Tabalong Tetap Tuntut Batalkan UU Cipta Kerja

Dengan dihapusnya pasal tersebut dari Omnibus Law Cipta Kerja, otomatis perusahaan tidak lagi punya kewajiban untuk mengangkat pekerja kontrak menjadi karyawan tetap. Perusahaan bisa memberlakukan kontrak kerja seumur hidup. Dengan begitu buruh tidak punya kepastian apakah tahun depan masih akan bekerja atau tidak.

Sistem ini memberi tekanan kepada para pekerja sehingga tidak berani menyuarakan hak-haknya sebab kuatir jika kontrakan kerjanya tidak akan diperpanjang. Padahal buruh sekalipun juga memberikan kontribusi bagi para pengusaha. Meski tetap dalam posisi yang lebih rendah.

Konsekuensi lain adalah hilangnya kesempatan buruh menikmati kenaikan upah secara berkala, sebab tiap tahun statusnya tetap sebagai karyawan baru. Begitu pula tunjangan lain yang didasarkan pada masa kerja seperti THR.

BACA JUGA : Kasus Kekerasan Seksual dan Unsur Kondisi Psikis dalam Pertanggungjawaban Pidana

Bahkan yang lebih memprihatinkannya lagi, jika dalam UU sebelumnya, pekerja kontrak hanya untuk jenis pekerjaan musiman, dengan adanya Omnibus Law Cipta Kerja maka semua jenis pekerjaan, termasuk pekerjaan inti, bisa diberikan kepada tenaga kerja kontrak.  

Posisi yang tidak menguntungkan seperti ini, yang bisa dimanfaatkan oleh oknum atasan mesum untuk melecehkan karyawan perempuan, karena sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja.

Padahal persoalan ini sudah lama disuarakan dan menjadi salah satu materi judicial review ke Mahkamah Konsituti (MK). Dalam putusannya, MK menyebut Omnibus Law Cipta Kerja berstatus inkonstituional bersyarat.

BACA JUGA : Menanya Ulang Keberpihakan Penegak Hukum kepada Korban Kekerasan Seksual

Pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU diminta untuk memperbaikinya. Jika dalam waktu 2 tahun tidak dilakukan perbaikan, maka statusnya menjadi tidak berlaku.

Bukannya memperbaiki bersama DPR, Presiden justru lebih memilih menerbitkan Perppu dengan alasan perang di Ukraina, yang kemudian dalam waktu cepat segera disahkan oleh DPR. Akhirnya, Omnibus Law Cipta Kerja tetap sah dan berlaku bagi seluruh perusahaan yang beroperasi di Indonesia.

Maka jangan heran jika nantinya akan semakin banyak buruh perempuan yang menjadi korban praktik staycation dengan bos pabrik sebagai syarat perpanjangan kontrak tahunan.(jejakrekam)

Pemerhati Politik dan Sosial Kalsel dan Kalteng

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/05/31/omnibus-law-cipta-kerja-dan-pelecehan-seksual-terhadap-karyawan-perempuan/
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.