Kasus Kekerasan Seksual dan Unsur Kondisi Psikis dalam Pertanggungjawaban Pidana

0

Oleh : Daddy Fahmanadie SH. LL.M

MEMBAHAS soal pelaku kekerasan seksual dan tindakan kekerasan seksual merupakan hal menarik saat ini. Apalagi, dalam sebuah ruang dan waktu serta kajian dari perspektif hukum pidana dan kajian gender.

ACAPKALI masalah ini memang mengundang perdebatan baik pihak pro maun kontra di tengah publik. Bahkan, kalangan akademisi maupun aktivis pun terbelah dalam mencermati persoalan itu.

Menarik jika diulas dari sudut pandang pelaku dan perbuatannya. Utamanya, unsur keadaan atau kondisi pelaku berkelindan dengan fenomena kasus kekerasan seksual, terutama pertanggungjawaban pidana. Sebab, hal itu menjadi unsur syarat untuk dihadapkannya sang pelaku dalam bentuk tanggung jawab hukum atas konsekuensi dari suatu tindakan pelaku, terutama tindak pidana.

Saat ini, kerapkali pelaku kekerasan seksual lepas bisa dari jeratan hukum. Hal ini dikarenakan aspek unsur materiil yang dinilai lemah. Sedangkan, aspek formil terutama alat bukti yang cenderung juga lemah atau tidak dapat menjadi penguat untuk mendukung jeratan hukum bagi pelaku.

BACA : Tangani Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, ULM Segera Bentuk Satgas PPKS

Nah, jika kita cermati bagaimana kasus korban kekerasan seksual NW yang berujung dengan kematian. Dia kemudian memilih bunuh diri  karena tidak tahan dengan beban mental yang dihadapinya.

Kemudian teranyar adalah kasus VDPS di Kalimantan Selatan  yang menjadi trending di medsos. Ini adalah pukulan telak terhadap masalah tindak pidana kekerasan seksual.

Ironisnya, dari kasus per kasus jelas membuat gambaran bahwa begitu peliknya kasus yang menimpa korban. Sebab, dimensi kasus kekerasan seksual yang betul-betul menjadi hal privat. Bahkan, kerap dikaitkan dengan malasah pribadi atau bertalian dengan soal kehormatan.

Pertanggungjawaban Pidana dan Unsur Keadaan Psikis

Jika mengacu pendapat ahli hukum Prof Simons mengatakan bahwa tanggung jawab pidana a adalah suatu keadaan psikis, sehingga dalam penerapannya dalam ketentuan pidana bisa dari sudut pandang umum atau pribadi yang dianggap patut.

Prof Simons mengatakan lagi dasar tanggung jawab hukum pidana adalah keadaan psikis tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Kemudian, adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa. Maka pelaku dapat dicela karena perbuatannya. Bahwa kemudian inti pertanggungjawaban pidana adalah keadaan psikis atau jiwa seseorang,  kemudian adalah hubungan  antara keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakukan.

BACA JUGA : Menanya Ulang Keberpihakan Penegak Hukum kepada Korban Kekerasan Seksual

Nah, jika kita cermati sebab substansi itu bisa meminta pertanggungjawaban dari pelaku untuk dibawa ke meja hijau (pengadilan). Problema kasuistis terkadang menjadi hambatan yang mendasar bagaimana pelaku bisa diminta pertanggungjawaban pidana, ketika dihadapkan pada unsur keadaan psikis seseorang. Sebab, tidak semua kejadian memiliki unsur keadaan psikis yang nyata. Misalkan, seseorang atau pelaku kejahatan ini mampu  memahami secara sungguh sungguh  akibat dari perbuatannya.

Hal ini diungkap oleh Van Hamel sebagai elemen dari pertanggungjawaban pidana atas pelaku. Yakni, ketika pelaku atau oknum berdalih misalnya memiliki kekuasaan dengan memanfaatkan korban melalui abuse of power.  Hal ini tentu rasio bahwa sungguh pun korban terjebak dalam keadaan relasi kuasa itu. Ambol contoh, kasus oknum Dekan Universitas Riau (Unri) yang justru diputus bebas dari jeratan hukum oleh pengadilan.

BACA JUGA : Kalangan Jurnalis Butuh Pelatihan soal Gender dan Kekerasan Seksual

Sementara di sisi lain, aspek diri pelaku justru keadaan psikisnya sadar kalau dia melakukan tindakan atau mampu memahami sungguh-sungguh akan akibat perbuatannya sebagai kemampuan untuk bertanggungjawab. Elemen keadaan psikis pelaku sangat bertalian dengan bagaimana seseorang dinilai corak perbuatannya. Apalagi, ketika seseorang melakukan pengulangan dalam kekerasan seksual cenderung dikatakan terganggu keadaan psikisnya.

Tentu saja, hal itu butuh penilaian ahli kejiwaan, Jika perbuatan pidana sebagai sesuatu gangguan mental atau penyakit mental pada diri pelaku. Hal ini demikian apakah bisa menjadi pertanggungjawaban atau tidak atau harus dilakukan tindakan penyembuhan? Menariknya lagi, adanya usulan hukuman kebiri atas pelaku kekerasan seksual saat ini masih dalam taraf perdebatan.

Pada suatu keadaan psikis yang memang tidak bisa dipertanggungjawabkan, tentu atas hal itu kita memahami bahwa pelaku tidak bisa dipidana atau dihukum misalnya karena yang bersangkutan dalam keadaan gila. Tentu saja, berlaku penerapan hukum pidana Pasal 44 KUHP, tetapi tentu berbeda jika unsur keadaan psikis terpenuhi, maka seseorang pelaku harus dipertanggungjawabkan secara hukum.

BACA JUGA : Cegah Kekerasan Seksual di Kampus, Aktivis Perempuan Dorong ULM Segera Bentuk Satgas

Apalagi, terkadang pelaku dengan dimensi kasusnya memiliki memiliki modus-modus atau motif tertentu untuk memenuhi perbuatannya. Jadi, memang dimensi pertanggungjawaban harus dianalisis bagaimana konteks peristiwa atau bagaimana rentetan tindakan pelaku melakukan perbuatan tersebut. Apalagi, dalam keadaan yang membuat perbuatan terjadi atau pada keadaan psikis di mana pelaku memang menghendaki tujuaan perbuatan dilakukannya. Walau pun, misalkan samar-samar tetapi keadaan psikis sangat bisa atau patut diduga kepada seseorang pelaku.

BACA JUGA : Mahasiswi ULM Korban Pemerkosaan Dijanjikan Kuliah hingga S3, Apa Kata Kuasa Hukum?

Sebab ada tiga kemampuan yang menjadi tolak ukurnya. Yakni, pertama mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya. Kedua, mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat. Ketiga, mampu untuk menentukan kehendak berbuat. Nah, ketiga kemampuan ini bersifat kumulatif  artinya salah satu kemampuan bertanggungjawab tidak terpenuhi maka seseorang dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kelemahan Jerat Hukum

Antisipasi ini penting untuk dipahami bahwa pelaku memanfaatkan kecenderungan alibi untuk membuat pelaku lolos dari jerat hukum baik materiil maupun formil. Apalagi, masih banyak persoalan pelaku kejahatan seksual yang lolos dari jerat hukum.

Hal ini akiabt minimnya barang bukti kemudian saksi-saksi yang mengetahui bahwa telah terjadi kekerasan seksual. Terkadang pelaku juga menyamarkan modus bujuk rayu kepada korban. Padahal, pelaku memahami bahwa korban akan cenderung dikuasai atau berada dalam titik lemah penguasaan pelaku.

BACA JUGA : Biaya Kuliah Hingga S3 Dijamin I Wayan Sudirta, Rektor ULM : Saat Ini Korban Tengah Skripsi

Dari berbagai kasus justru menunjukkan bahwa cenderung ada rekayasa peristiwa dan rekayasa oknum penegak hukum untuk memediasi ke arah yang tidak seimbang. Hasilnya, korban kasus kekerasan seksesual mengalami posisi yang tersudut.

Ini belum lagi kondisi penegakan hukum yang belum berkeadilan, dimana putusan hakim terhadap pelaku kekerasan seksual sangat variatif. Tentu saja, hal ini dirasakan belum memenuhi keadilan bagi korban kekerasan seksual.

BACA JUGA : Atensi Kasus Perkosaan Mahasiswi ULM, Komisi III DPR Segera Laporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung

Lewat tulisan ini, setidaknya kita bisa mencermati bahwa kejahatan kekerasan seksual merupakan perilaku immoral. Hal ini telah kita sepakati bahkan menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku yang telah menista korban kekerasan seksual.

Dengan kerumitan peristiwa dan kasus, maka seluruh elemen tentu harus bisa mengawal kasus kekerasan seksual. Memang butuh energi untuk bisa mengungkap suatu peristiwa pidana menjadi terang benderang. Terutama, menjerat para pelaku agar dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum pidana.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM)

Pendiri Klinik DF Banjarbaru

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.