Prospek Seni Rupa dalam Ekonomi Kreatif

0

Oleh: Noorhalis Majid

BANYAK bakat pegiat seni rupa yang belum terwadahi, terutama ketika hasil karya tidak terhubung dengan selera pasar. Tidak dapat dipungkiri, gairah dan geliat tersebut ditentukan oleh respon pasar yang menghargainya.

UPAYA seperti apa semestinya dilakukan dalam membentuk pasar seni rupa? Kalau seni rupa bagian dari ekonomi kreatif, bagaimana prospeknya ke depan? 

Sejak tahun 2000-an, ketika saya bertugas sebagai wartawan, sering diminta meliput kegiatan pameran lukis di Kota Banjarmasin dan umumnya di wilayah Kalimantan Selatan. Saya mendapati bahwa lukisan yang dipamerkan sangat diminati oleh pengunjung pameran, orang banyak datang dan bahkan sangat antusias. Sayangnya sedikit yang berminat membeli.

Pembeli lukisan sepertinya belum terbentuk. Boleh jadi karena harganya yang tidak murah, dan sangat mungkin pula pengunjung yang hadir daya belinya rendah. Maka sebagai evaluasi, jangan-jangan panitia pameran tidak tepat dalam memilih sasaran pengunjung. Atau, literasi terkait seni rupa, masih rendah. Begitu pernyataan Sandi Firly, seorang pegiat seni rupa, memulai dialog terkait prospek seni rupa dalam ekonomi kreatif, di Palidangan Noorhalis, Kamis (16/3/2023).

BACA : Perjalanan Seni Rupa Kalsel Cukup Panjang Walau Tak Semaju Daerah Lain

Saya lebih curiga pada soal masih rendahnya literasi seni rupa. Kalau sudah banyak yang paham, pasti akan terbentuk atmosfir terkait penghargaan terhadap karya seni.

Apalagi kalau yang dikuatkan literasinya itu, adalah kelompok menengah ke atas, yang memiliki daya beli. Sebab, walau memiliki cukup dana, bila tidak paham tentang seni rupa dan khususnya lukisan, tidak akan mau mengeluarkan dana untuk membelinya. Demikian dikatakan Sandi Firly.

Kesalahan pelaku seni rupa selama ini, lupa membangun literasi, terutama pada pangsa pasar potensial yang memiliki kemampuan membeli. Bila digarap, akan menghidupi pelaku seni rupa itu sendiri. Pelaku seni terus asyik berpoduksi membuat lukisan, namun pasarnya sendiri tidak dibentuk. Pun tidak ada kelompok atau pemerintah yang bekerja membentuk pasar tersebut.

BACA JUGA : Romantisme Kelam Orba, Kisah Maestro Seni Rupa Banua dalam Kerangkeng Peristiwa 65

Akhirnya sulit sekali menjual lukisan, padahal para pelaku seni, hidup dari karyanya. Ketika karya yang dibuat tidak laku, bisa saja kemudian memudarkan semangat, bahkan bisa jadi mematikan keinginan untuk terus berkarya, sebab pelaku seni sudah kehilangan harapan dan karya tidak direspon pasar. Begitu paparan Sandi Firly lagi

Bagaimana cara membangun literasi terkait seni rupa tersebut? Apakah harus sesering mungkin menyelenggarakan diskusi seni rupa, dengan menghadirkan banyak pihak, terutama kelompok potensial yang dimaksudkan tadi? Atau frekuensi pameran harus diperbanyak? Atau dengan menyelenggarkan pasar seni, yang buka setiap pekan atau satu bulan sekali? tanya saya (Noorhalis Majid) selaku pemandu dialog.

BACA JUGA : Melirik Ruang Maya Seni Rupa

Benar, diskusi terkait seni rupa, dapat membuka wawasan soal seni rupa. Semakin sering diskusi diselenggarakan, maka pemahaman kesenirupaan akan terbangun. Terutama kelompok menengah ke atas.

Termasuk pemerintah dan pengambil kebijakan. Karya seni itu unik, tidak ada bandrolnya, kalau orang mengerti, dia dapat menjadi bagian dari status sosial. Ini bukan barang pabrikan yang harganya sama. Tiap lukisan itu berbeda, walau dilukis oleh orang yang sama dan pada obyek yang sama pula, goresan yang dibuat pasti berbeda.

Di sejumlah tempat, dimana seni rupa sudah cukup maju, hasil lukisan bahkan dapat menjadi agunan. Orang dapat membeli lukisan mahal yang diimpikannya dengan cara mencicil dan bank bersedia memfasilitasi. Untuk sampai kesana, kita mungkin memerlukan waktu yang masih cukup lama. Sebab para pihak yang memungkinkan itu terjadi, belum memiliki literasi yang cukup terkait ini.

BACA JUGA : Setara Yogyakarta dan Jakarta, Bagaimana Nasib Seni Rupa Kalsel Kini dan Nanti

Belum terbentuk atmosfir bahwa karya seni rupa dapat menjadi investasi. Bahwa semakin tua sebuah karya seni, harganya akan semakin tinggi. Apalagi pelaku seninya memiliki prospek untuk menjadi pelukis besar. Dan prospek tersebut harus dirancang, tidak datang dengan sendirinya.

Apalagi dibiarkan terbentuk secara alami. Harus ada rekayasa membentuk pelaku seni menjadi terkenal dan dikenal luas. Mesti melibatkan banyak pihak dan itulah yang disebut dengan atmosfir, begitu penjelasan Sandi Firly.

BACA JUGA : Gaet Seniman Sanggar Sholihin, Kambuk Siap Cetak Generasi Perupa Banjarmasin

Para kolektor karya seni, tidak semua awalnya memiliki modal yang banyak. Bahkan sejumlah kolektor, mengawalinya dari membeli lukisan-lukisa repro – lukisan yang dibuat ulang sesuai aslinya, sehingga harganya lebih murah. Bahkan ada yang hanya mampu membeli poster yang diproduksi masal terkait lukisan yang dipamerkan. Namun karena ketekuni dan upaya serius, akhirnya benar-benar menjadi kolektor.

Demikian juga dengan pasar seni, kata Sandi, dapat digagas sebagai bagian dari membentuk atmosfir. Mungkin bisa dibuat setiap akhir pekan atau setiap bulan. Cari satu tempat yang cocok, maka melalui pihak ketiga, dapat difasilitasi adanya pasar seni tersebut.

BACA JUGA : Apresiasi Seni yang Minim di Tengah Karya Terbaik Maestro Banua

Suatu waktu pasar tersebut akan terbentuk dengan sendirinya. Bila perlu, batasi harganya yang terjangkau untuk banyak orang, lalu perlahan-lahan harganya disesuaikan, pada saat atmosfirnya terbentuk, maka lukisan yang mahal akan ada peminatnya.

Banyak daerah-daerah yang terkenal justru karena karya seni rupanya. Selain Jakarta sebagai pusat kebudayaan, juga ada Yogyakarta, Bandung dan Bali, yang dikenal menghasilkan karya dan pegiat seni rupa, memberikan kontribusi bagi terkenalnya daerah tersebut. Selain itu, karya seni rupa, dapat memperkenalkan keindahan suatu daerah secara luas.

BACA JUGA : Mengimpikan Pasar Seni, Pelukis Banua Seakan Dianaktirikan

Saya ingat, dulu Kotabaru dengan Pulau Lautnya, banyak dilukis di atas moncong pari yang berbentuk seperti gergaji, lukisan tersebut menjadi buah tangan bagi wisatawan yang berkunjung, akhirnya lukisan tersebut terkenal kemana-mana.  Dan memang, daerah-daerah yang dikenal elok – indah seperti Bali, sangat menarik menjadi obyek lukisan.

Kalau sekiranya seni rupa turut memperkenalkan sudut kota Banjarmasin, maka sangat mungkin Banjarmasin terkenal melalui karya seni rupa, demikian analisis saya Noorhalis mengakhiri dialog di Palidangan. (jejakrekam)

Penulis adalah Pembina Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin

Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel

Pegiat Demokrasi dan HAM

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.