Melirik Ruang Maya Seni Rupa

0

Oleh : Rizky A Setiawan

PAMERAN merupakan momen sakral yang bisa diibaratkan seperti hari raya bagi para Perupa—di mana pada momen itu terjalin silaturahmi fisik juga gagasan antar Perupa, dan spektator.

SEPERTI halnya hari raya, aktivitas  jamu-menjamu juga terjadi pada pameran—Perupa sebagai tuan rumah menyuguhkan gagasan yang tersaji pada panel-panel lukisan untuk tamunya (spektator). Dan, di kala perspisahan, beberapa sepktator yang terpuaskan dahaga estetiknya, dapat membalas jamuan dengan sekadar jabat tangan apresiasi, atau tak jarang juga spektator memberi THR (Tunjangan Honoris Rupa) kepada Perupa, dan spektator tersebut pulang dengan gelar Kolektor.

Semua aktivitas kekhidmatan berpameran itu terus terjadi seperti biasa, sampai suatu ketika, dunia dibuat geger atas pandemi Covid-19—di mana segala keberlangsungan aktivitas tatap muka diberhentikan dan/atau dibatasi atas nama kepedulian untuk saling menjaga sesama.

Hal ini cukup menggemparkan, bagaimana tidak? Covid-19 berhasil memecundangi manusia yang sedang berproses di era 4.0—di mana pengetahuan terkesan tak terbatas, dan kecanggihan teknologi makin digdaya masih dibuat linglung, atas kedatangan tamu yang tak terduga itu.

BACA : Bekas Luka Korban Kekerasan Perempuan dalam Lukisan Kelinci Karya Dhea

Dalam semua kegegeran pandemi Covid-19 ini, manusia, sebagai makhluk yang pandai berevolusi, dan “maha eskapis” dalam hal keluar untuk berjuang mengatasi masalah—Perupa Kalimantan Selatan dalam perkara ini, harusnya mulai berkolaborasi dengan digital artist 3D modeling, untuk bersama mengelaborasikan ruang maya, sebagai respon keterbatasan kapabilitas ruang temu yang riil, agar dapat meneruskan keberlangsungan berpameran.

Konsep pameran yang tercitrakan melalui augmentasi realitas berbasis virtual ini, sudah banyak diadopsi oleh banyak Perupa, galeri, dan museum di Indonesia—sebagai sarana, dan upaya melaksanakan pameran di masa pandemi—dan menurut saya, Perupa Kalimantan Selatan belum siap, dan belum bermurah hati untuk menerima gagasan tersebut—karena dianggap menghilangkan jalinan intimasi kenikmatan spektator dalam melihat karya Si Perupa.

BACAJUGA : Usai 13 Tahun, Tak Hanya di Atas Kanvas, Perupa Hajriansyah Ekspresikan Lukisan di Perabot Dapur

Sampai pada pendapat itu, saya sangat sepakat. Tapi, di sisi lain, keengganan atas gagasan tersebut—bagi saya terkesan seperti memperlihatkan lemahnya daya adaptasi Perupa Kalimantan Selatan terhadap sesuatu yang baru.

Saya tak sepenuhnya mengamini gagasan berpameran di medium virtual—tapi juga—di sisi lain, tawaran fitur yang diberikan gagasan tersebut—sepenglihatan saya cukup menarik. Mengingat, ruang pameran yang representatif masih sangat minim di Kalimantan Selatan—dan dengan adanya opsi ruang virtual ini—saya pikir, bisa dimanfaatkan oleh Perupa—setidaknya untuk sementara bisa menjadi obat penawar kesakithatian Perupa atas minimnya ruang pameran.

BACA JUGA :  Pelukis Kalsel Suarakan Meratus ke Nasional Lewat Lukisan Tarian Leluhur

Tapi, jika suatu saat pameran virtual ini akan terealisasi, jangan sampai mendistraksi konsentrasi juang kita, untuk mengupayakan adanya galeri seni rupa yang selama ini kita (Perupa Kalimantan Selatan) idam-idamkan.

Adapun beberapa fitur—yang saya lirik cukup menarik dalam gagasan pameran virtual adalah, Pertama, penciptaan ruang yang ekonomis—walau terkesan semu, tapi bisa dimanfaatkan untuk memanifestasikan khayali Perupa Kalimantan Selatan, terhadap galeri ideal yang selama ini hanya berkutat pada dunia idea.

Dalam hal penciptaan ruang virtual ini, Perupa tak memiliki batasan untuk berkonsepria, berestetikaria, dan bermegahria dalam mengkosntruksikannya. Akan tetapi, hal yang perlu dingat adalah—walau lebih ekonomis dibanding pembangunan galeri nyata, estimasi bujet untuk mewujudkan ruang virtual tak bisa dianggap remeh.

BACA JUGA : Potret Lukisan Hitam Putih di Tengah Minimnya Apresiasi Seni Warga Banjarmasin

Kedua, meniadakan batasan jarak dan waktu. Fitur ini saya anggap sebagai center of interest dari gagasan pameran virtual. Mengapa demikian, karena cukup berdampak, setidaknya bagi saya. Sedikit berbagi pengalaman—saya, sebagai seorang Perupa yang berproses dan belum sejahtera, sangat perlu  kelayapan melihat lukisan di luar Kalimantan Selatan, untuk memperkaya khazanah referensi dan wawasan kosa rupa.

Dan dengan adanya pameran virtual ini, saya bisa mengaksesnya kapan pun, dan di mana pun, dengan hanya bermodalkan smartphone dan kuota internet.

Saya telah banyak berkelayapan secara online ke galeri, dan museum yang ada di Indonesia, bahkan manca negara. Contohnya, akhir-akhir ini saya mampir ke Galeri Nasional Indonesia (GNI), untuk melihat pameran bertajuk RESTART—yang kebetulan diikuti oleh dua anggota Ikatan Pelukis Kalimantan Selatan (IPKS), yakni: Pak Muslim Anang Abdullah, dan Mas Setyo Widayanto. Juga, saya telah ke Museum Basoeki Abdullah untuk melihat karya Pak Misbach Tamrin, dan Bang Hajriansyah.

BACA JUGA : Kala Pelukis Muda Unjuk Diri, Bicara Alam dari Goresan Cat di Atas Kanvas

Selain galeri, dan museum virtual yang ada di Indonesia, saya juga telah bervakansi secara maya ke Museum Van Gogh, MoCo (Modern Collection) of Amsterdam, MoMA (Museum of Modern Art) yang ada di California, Amerika Serikat, dan banyak galeri lainnya

Memang asyik dapat melihat banyak pameran yang ada di belahan dunia lain, apalagi dengan cara yang murah-meriah. Tapi, sayangnya terdapat banyak sekali kekurangan, yakni: pertama, mobilisasi point of view yang terasa berat, dan kurang responsif. Kedua, parahnya konversi resolusi visual, sehingga mengaburkan detail dari lukisan.

Ketiga, keterbatasan dimensi layar smartphone atau laptop yang tidak bisa sepenuhnya mewakili mata. Keempat, besarnya muatan diorama virtual, sehingga membuat kuota internet mengucur dengan deras. Kelima, suasannya hening, tidak ada keramaian seperti pameran konvensional, membuat spektator virtual merasa sedang berada di lorong-lorong galeri tak berpenghuni.

BACA JUGA : Sindir Lewat Gambar Empat Lalat Mencibir Enggang, Seni Mural Bukan Vandalisme

Beberapa catatan kemunduran ekperiensial impresi yang telah ditorehkan oleh kemajuan teknologi (dalam hal pameran virtual), sebagai rekan akrab Perupa di era digitalisasi saat ini, jangan sampai dijadikan daftar hitam, atau diabaikan begitu saja. 

Teknologi, sebagai rekan Perupa juga perlu waktu untuk beradaptasi, butuh masukan, dan panduan dari Perupa, agar bisa berfungsi secara optimal. Perupa Kalimantan Selatan dalam perkara ini, saya pikir perlu menunjukkan maturitas ketahanan imunnya terhadap tawaran ruang yang baru ini—buktikan, bahwa Kalimantan Selatan juga tak kalah adaptif seperti daerah-daerah lain di Indonesia, semisal Sulawesi dengan pameran virtualnya yang bertajuk Arus Timur.

Menyeberang ke pulau Sumatera—seperti Lampung juga tak kalah untuk bervirtualria. Contohnya, melalui Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung, mereka telah menyelenggarakan pameran bertajuk Sumatera Art Show #1. Kalimantan Selatan? Ahh! Sehat terus seni rupa Kalimantan Selatan! (jejakrekam)

Penulis adalah Perupa Muda Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Pegiat Literasi Kampung Buku Banjarmasin

Pencarian populer:ruang seni konvensional
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.