KY Nilai Putusan PN Jakpus Kontroversi, Yusril Sebut Tak Berwenang Tunda Pemilu 2024

0

PUTUSAN Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) mengundang kontroversi dengan perintah menunda tahapan Pemilu 2024, usai mengabulkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima), memantik reaksi.

JURU Bicara Komisi Yudisial (KY) RI, Miko Ginting menilai putusan PN Jakpus lewat majelis hakim diketuai T Oyong dan dua hakim anggota; H Bakri dan Dominggus Silaban, menimbulkan tanda tanya dan kontroversi di tengah publik.

“Putusan pengadilan tidak bekerja di ruang hampa, karena ada aspirasi yang hidup di masyarakat secara sosiologis. Ada aspek yuridis di mana kepatuhan terhadap UUD 1945 dan undang-undang sangat penting, serta pertimbangan-pertimbangan lain, seperti nilai-nilai demokrasi. Kesemua itu menjadi bagian dari yang mesti digali oleh hakim dalam membuat putusan,” beber Miko Ginting dalam keterangannya, Jumat (3/3/2023).

Untuk itu, KY akan melakukan pendalaman terhadap putusan itu, terutama untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran perilaku yang terjadi.

BACA : PN Jakpus Putuskan Tahapan Pemilu 2024 Ditunda, KPU Kalsel Tunggu Sikap KPU RI

“Salah satu bagian dari pendalaman itu bisa jadi dengan memanggil hakim untuk dimintakan klarifikasi. Apabila ada dugaan yang kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, maka KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan,” beber akademisi STIH Indonesia Jantera.

Menurut Miko, perlu digarisbawahi terkait dengan substansi putusan, forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan ini adalah melalui upaya hukum. “Domain KY berfokus pada aspek dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim,” kata Miko.

BACA JUGA : Indikasi Pemilu 2024 Bakal Ditunda, Prof Hadin : Tanda-Tandanya Belum Ada Proyek Logistik

Miko menyebut bahwa KY akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat majelis hakim telah keliru dalam membuat putusan dalam perkara Prima.

“Sejatinya gugatan yang dilayangkan Partai Prima adalah gugatan perdata, yakni gugatan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara,” ucap Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) ini.

BACA JUGA : Kalsel Terbanyak Kedua Kursi DPR Di Kalimantan, Ini Alokasi Kursi Dan Pembagian Dapil Di Pemilu 2024

Yusril melanjutkan dalam gugatan perdata biasa seperti itu, maka sengketa yang terjadi  adalah antara penggugat (Prima) dan tergugat (KPU RI) dan tidak menyangkut pihak lain.

“Selain daripada tergugat atau para tergugat dan turut tergugat saja, sekiranya ada. Oleh karena itu, putusan mengabulkan dalam sengketa perdata biasa hanya mengikat penggugat dan tergugat saja, tidak dapat mengikat pihak lain,” ucap mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan ini.

Advokat senior ini menegaskan bahwa putusan itu tidak tidak berlaku umum dan mengikat siapa saja atau “erga omnes”. Beda, kata Yusril, dengan putusan di bidang hukum tata negara dan administrasi negara seperti pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atau peraturan lainnya oleh Mahkamah Agung (MA) Sifat putusannya berlaku bagi semua orang (erga omnes).

BACA JUGA : Anggaran KPU-Bawaslu Naik 3 Kali Lipat, Honor Penyelenggara Pemilu 2024 Gede

“Dalam kasus gugatan perbuatan melawan hukum oleh Prima, jika gugatan ingin dikabulkan majelis hakim, maka putusan itu hanya mengikat Prima sebagai penggugat dan KPU sebagai tergugat, tidak mengikat parpol-parpol lain baik calon maupun sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024,” ucap mantan Menteri Hukum dan HAM ini.

Yusril berpendapat jika majelis berpendapat bahwa gugatan Prima beralasan hukum, maka KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Prima, tanpa harus “mengganggu” parpol-parpol lain dan mengganggu tahapan Pemilu 2024.

BACA JUGA : Politik ‘Membanjur’ Upaya Tunda Pemilu

“Inipun sebenarnya bukan materi gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) tetapi gugatan sengketa administrasi pemilu yang prosedurnya harus dilakukan di Bawaslu dan Pengadilan TUN. Pada hemat saya majelis harusnya menolak gugatan Prima, atau menyatakan N.O atau gugatan tidak dapat diterima karena Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara tersebut,” imbuh mantan Menteri Sekretaris Negara Indonesia ini.(jejakrekam)

Penulis Ipik Gandamana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.