Metamorfosa LPJK, Dari Lembaga Pengembangan Menjadi Lembaga Pengawasan; Mungkinkah Dilakukan ?

0

Oleh : Dr Ir H Subhan Syarief, MT

KEHADIRAN UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi awalnya diharap bisa memberikan harapan baru dalam aspek pengembangan jasa konstruksi. Terutama, terkait hal peningkatan partisipasi masyarakat, wabil khusus masyarakat jasa konstruksi yang berada di daerah atau provinsi.

TERNYATA, harapan besar tersebut sirna akibat ketidak konsistenan dalam menafsirkan hal apa yang terkandung dalam makna hukum yang ada di aturan UU Nomor 2 tahun 2017, berikut aturan turunannya.

Ini bisa terlihat khusus terapan makna bunyi pada pasal 3. Huruf C , yang terkait dengan tujuan dari kehadiran UU baru tersebut yang akan ‘mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi’. Dan bila disimak, klausul ‘Pertimbangan’ kehadiran UU No. 2 tahun 2017 di huruf D menyatakan ‘Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola yang baik dan dinamika perkembangan penyelenggaraan jasa konstruksi’.

BACA : Tahun 2021, LPJK Kalsel Dibubarkan, Subhan : Urusan Pesangon Harus Dibereskan

Artinya, bila kedua makna norma diatas dikorelasikan dan kemudian digali mendalam, maka semestinya spirit yang termunculkan dari UU No. 2 tahun 2017 akan bisa ‘lebih baik , lebih bermutu , lebih meningkat’ dalam memicu keterlibatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dibandingkan dengan UU Nomor 18 tahun 1999.

Fakta yang tersaji, misal saja, ketika adanya pembubaran terhadap keberadaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP). Padahal, LPJKP adalah ujung tombak dalam pengembangan jasa konstruksi di daerah yang di laksanakan oleh masyarakat jasa konstruksi daerah / provinsi.

Begitu juga kemudian hal Lembaga LPJK baru bentukan menteri yang konon katanya sebagai bentuk partisipasi masyarakat jasa konstruksi, tapi ternyata hanya ada di tingkat nasional dengan tugas atau wewenang terbatas dan tidak terkait langsung dengan kegiatan pengembangan jasa konstruksi.

Tentu saja kondisi ini kontradiktif dengan apa yang diungkap ketika UU Nomor 2 tahun 2017 dihadirkan mengantikan UU Nomor 18 tahun 1999. Dalam hal ini, bagi yang memahami kondisi yang ada, maka tentu bila mau melakukan perbaikan, mestinya potensi yang saat ini dimiliki oleh lembaga LPJKP dijadikan kekuatan utama yang dilibatkan dalam pengembangan jasa konstruksi negeri.

BACA JUGA :  Akreditasi Asosiasi Jasa Konstruksi Berdasar UU Jaskon Nomor 2 Tahun 2017, Wewenang Siapa?

Adapun terkait hal kekurangan atau mungkin kelemahannya akan dilakukan pembenahan dan penyempurnaan. Akan menjadi tindakan kontraproduktif bila ternyata LPJKP yang telah lebih puluhan tahun, bahkan telah 20 tahun  berpengalaman berkecimpung pada sektor pengembangan jasa konstruksi kemudian di bubarkan dan tidak dilibatkan samasekali dalam hal pengembangan jasa konstruksi di daerah.

Sehingga bila saja ternyata piranti regulasi tetap ‘memaksa’ LPJKP sebagai refresentatif masyarakat jasa konstruksi daerah menjadi terhapus perannya dalam keterlibatan mengembangkan jasa konstruksi daerah, maka patutlah berbagai potensi yang sudah dimiliki lembaga LPJKP ini untuk bisa di berdayakan melalui pengalihan perannya ke fungsi lain yang juga terkait dengan aspek jasa konstruksi.

Potensi keberadaan LPJKP yang ada di 34 Provinsi, dengan memiliki infrastruktur dan sumber daya serta jaringan sampai ke tingkat pelosok provinsi yang sudah cukup memadai.

Ditambah dengan pengalaman 20 tahun lebih dalam kegiatan pengembangan jasa konstruksi berbasis mandiri dan independen adalah modal dasar yang memudahkan untuk di lakukan peningkatan untuk memperkuat kinerja dibandingkan dengan menghilangkan atau membentuk lembaga baru.

Sayangnya, potensi ini ternyata di abaikan keberadaannya oleh pemerintah. Akibatnya, usaha yang telah dilakukan selama 20 tahun menjadi terbuang sia sia dan mubazir. Apalagi, bila melihat gestur Lembaga Baru bentukan Menteri yang akan dibiayai oleh anggaran APBN dan dipastikan tidak akan mungkin menjadi lembaga mandiri lagi dan akan menambah beban negara.

BACA LAGI : Penanganan ‘Calap’ Dan Visi Calon Pemimpin Kota Banjarmasin, Masih Adakah Harapan?(4-Habis)

Dengan dibubarkannya LPJKP sebagai lembaga refresentatif, peran aktif masyarakat jasa konstruksi di daerah inilah, maka kemudian diperlukan pencarian celah yang bisa memunculkan gagasan untuk  memanfaatkan potensinya, agar bisa tetap bisa turut serta  dalam kegiatan pengembangan penyelengaraan jasa konstruksi di tiap daerah provinsi di Indonesia.

Tentu bila saja gagasan ini terwujudkan, maka LPJKP yang ada di tiap provinsi akan bisa tetap turut serta dalam kegiatan penyelenggaraan dan pengembangan  jasa konstruksi berbasis pelibatan aktif masyarakat, terkhusus masyarakat jasa konstruksi.

*Pasal 85 ayat (1)* UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, dasarnya memberikan peluang untuk LPJKP tetap dapat turut berpartisipasi dalam sektor jasa konstruksi, terkhusus terlibat dalam segi pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi.

Di pasal ini mengungkapkan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi yang dilakukan dengan cara antara lain membentuk asosiasi profesi dan asosiasi badan usaha dibidang jasa konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dan, bila dicermati, sampai saat ini belum ada sebenarnya asosiasi profesi ataupun asosiasi perusahaan yang khusus terlibat aktif dalam bidang pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi.

BACA : Kisah Dua Sahabat; Subhan-Hilman Yang Raih Doktor Hukum Konstruksi Dengan Cum Laude

Tentu bila kemudian mengaitkan hal peran LPJKP ke pasal ini, maka dasarnya bisa saja di alih fungsikan tugasnya menjadi lebih fokus ke arah tugas pengawasan.

Bisa saja lembaga refresentatif masyarakat jasa konstruksi daerah ini fokus dalam hal pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi. Artinya, LPJKP mesti ber metamorfosa menjadi asosiasi bentukan masyarakat jasa konstruksi, dengan nama misal saja menjadi Lembaga Pengawasan Jasa Konstruksi (LPJK) Provinsi dengan induknya ada di tingkat Nasional.

Tentu saja kemudian dengan tujuan atau  fungsi pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi maka lembaga ini akan  diisi oleh para pelaku konstruksi, mulai dari pakar, dosen, pengamat , ahli konstruksi, dan berbagai pihak yang berminat dalam hal aktivitas jasa konstruksi,  termasuk ahli hukum.

Dan dipastikan, nantinya lembaga ini akan dapat menjadi mitra atau bahkan pengawas terhadap pengembangan jasa konstruksi yang di lakukan oleh Pemerintah atau Lembaga LPJK versi UU Nomor 2 tahun 2017. Lembaga LPJKP versi UU Nomor 18 tahun 1999 yang telah ‘dimatikan’ oleh Pemerintah melalui regulasi Permen PUPR ini bisa didorong dan dioptimalkan perannya kembali, maka ini tentu akan menjadi menarik, mengingat kemandirian lembaga ini juga di pastikan akan lebih kuat karena hasil bentukan masyarakat jasa konstruksi yang di inisiasi oleh LPJKP seluruh Indonesia di masa terakhir pengabdiannya.

Dan, apalagi bila  semua yang pernah duduk jadi pengurus LPJKP ditiap daerah ataupun LPJKN kompak bersatu untuk bisa bergabung dalam pembentukan atau metamorfosa organisasi ini akanlah semakin memperkuat peran serta masyarakat jasa konstruksi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi.

BACA JUGA : Mengapa Banjarmasin Sering Terendam? Ini Analisis Ketua LPJK Kalsel

Peran masyarakat yang telah dihilangkan oleh UU Nomor 2 tahun 2017 akan tetap bisa muncul kepermukaan. Bahkan, akan bisa turut serta mengawasi dan memberi masukan tentang berbagai hal yang dilakukan oleh pemerintah. Termasuk, LPJK bentukan Menteri. Baik ketika dalam proses pembuatan kebijakan, ataupun ketika melakukan implementasi terhadap penyelenggaraan jasa konstruksi negeri.

Dari hal inilah diperlukan kesepahaman dan keberanian dari para pengurus era akhir LPJKP untuk menentukan langkah kedepan. Segenap pengurus semestinya mampu untuk bersama membuat sejarah memanfaatkan potensi yang dimiliki agar tetap  bisa terlibat memberi manfaat bagi perkembangan jasa konstruksi dengan mempertahankan keberadaan LPJKP sebagai simbol perkuatan keterlibatan masyarakat jasa konstruksi.

Memang sangat disayangkan bila hanya diam dan membiarkan lembaga LPJKP yang telah 20 tahun berjuang dalam hal pengembangan jasa konstruksi daerah dibubarkan.

Pembubaran atau penghilangan LPJKP dasarnya bisa juga di artikan sebagai runtuhnya atau hilangnya peran partisipasi aktif masyarakat jasa konstruksi daerah dalam kemajuan pengembangan jasa konstruksi di daerah.

Sejogjanya, LPJKP adalah bagian penting dari otonomi masyarakat jasa konstruksi daerah di sektor jasa konstruksi yang mestinya tetap bisa berlanjut dan diperkuat.

BACA LAGI :  Sistem Drainase Banjarmasin Bermasalah, Ini Saran Ahli dari Intakindo

Tentu paling utama di harapkan peran para pengurus era terakhir LPJKP menjadi inisiator dalam mendorong tetap terjaganya peran masyarakat jasa konstruksi dalam pengembangan jasa konstruksi didaerah yang semakin terpinggirkan dengan munculnya regulasi baru disektor jasa konstruksi tersebut. 

Inisiasi untuk melakukan metamorfosa  LPJKP menjadi organisasi lain dengan fungsi utama sesuai apa yang diberikan oleh UU Nomor 2 tahun 2017, terkhusus di pasal 85 ayat (1) ; yakni turut terlibat dalam Pengawasan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, disamping tentu juga tetap melibatkan diri dalam aspek Pengembangan Jasa Konstruksi sangatlah memungkinkan untuk di lakukan.

Kekuatan dan pengalaman yang dimiliki lembaga LPJKP dengan jaringan di 34 Provinsi merupakan potensi utama yang bisa mempercepat kemampuan akselerasi lembaga ini ketika berubah bentuk, dan tentu potensi ini janganlah sampai hilang percuma, haruslah semakin diperkuat.

Walaupun kedepan pengeraknya hanya dalam bentuk partisipasi mandiri masyarakat jasa konstruksi tanpa ditunjang oleh regulasi seperti yang ada di UU Nomor 18 tahun 1999 berikut aturan turunannya.

Langkah kunci sebenarnya ada di para pengurus eks LPJKP se-Indonesia. Apakah masih mau memanfaatkan kesempatan, terkhusus ‘spirit dan histori panjang’ yang telah kuat mengakar untuk tetap melanjutkan keterlibatan dalam pengembangan jasa konstruksi di negeri ini.

Ataukah kemudian hanya diam, membiarkan potensi jaringan yang telah ada di 34 provinsi ini hilang tertelan waktu. Sejogjanya, langkah bijak mesti dilakukan.  Ini karena apapun alasannya LPJKP sebagai lembaga mandiri dan indefenden hasil bentukan masyarakat jasa konstruksi merupakan aset penting yang telah 20 tahun berkiprah menanam manfaat disektor pengembangan jasa konstruksi, terkhusus di daerah.

Jadi saat ini, dasarnya hanya diperlukan ‘keberanian’ semua LPJKP di Indonesia untuk kompak bersama keluar dari pakem yang ada dan membuat gebrakan baru dalam keterlibatan di sektor jasa konstruksi.

Terkhusus, dalam hal menjadi pemicu agar peran masyarakat jasa konstruksi negeri tetap mendapat tempat di hal pengembangan jasa konstruksi daerah, terutama bermetamorfosa dari Lembaga Pengembangan ,menjadi Lembaga Pengawasan Jasa Konstruksi yang akan bisa sejalan dengan bunyi Pasal 85 ayat (1) UU No 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Bila langkah ini di lakukan, tentu artinya peran aktif masyarakat daerah, terkhusus masyarakat jasa konstruksi dalam hal pengembangan ataupun pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi akan bisa tetap berjalan.

Dan, bahkan akan bisa diperkuat  kemandirian dan independensinya , karena lembaga atau organisasi hasil metamorfosa LPJKP ini tidak berada di bawah kendali pemerintah.

Yaa.., akhirnya, pertanyaan yang memang ditunggu jawabnya adalah ; mau dan mampukah mantan Pengurus LPJKP se-Indonesia kompak bersama,  bersatu untuk memberdayakan kelanjutan peran LPJKP sebagai refresentatif perwakilan masyarakat jasa kontruksi daerah dalam fungsi baru sebagai organisasi atau lembaga dengan fungsi pengawasan penyelenggaraan berbagai aktivitas jasa konstruksi negeri, terkhusus lagi di daerah ?

Penulis adalah Mantan Ketua LPJK Provinsi Kalimantan Selatan Periode 2016-2020

Pengamat perkotaan di Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.