Akreditasi Asosiasi Jasa Konstruksi Berdasar UU Jaskon Nomor 2 Tahun 2017, Wewenang Siapa?

0

Oleh : Subhan Syarief

BEBERAPA pekan lalu, Kementerian PUPR mengeluarkan pemberitahuan mengenai asosiasi jasa konstruksi (jaskon) yang memenuhi syarat proses akreditasi. Akibat banyak asosiasi yang gagal memenuhi syarat akreditasi, keberatan pun mulai mengemuka.

ADANYA persepsi bahwa asosiasi jasa konstruksi yang gagal terakreditasi maka produk sertifikasi dari asosiasi tersebut dianggap tidak memiliki legalitas dalam memenuhi syarat regulasi, ketika memberikan layanan jasa konstruksi semakin membuat resah.

Puncaknya ketika diinformasikan terjadi penolakan dari beberapa pokja/panitia lelang terhadap produk sertifikat dari asosiasi yang tidak terakreditasi tersebut. Ini membuat Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) selaku lembaga yang diberi wewenang oleh UU Nomor 18 Tahun 1999 dan UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Jaskon) untuk mengeluarkan izin akreditasi pada semua asosiasi jasa konstruksi.

Hal ini, membuat LPJK melayangkan surat kepada Menteri PUPR minta penegasan bahwa produk sertifikasi asosiasi yang dulu telah diakreditasi LPJK tetap berlaku dan sah digunakan. Tentu kemunculan masalah ini bisa saja berawal dari Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2020 tentang Akreditasi Asosiasi Jasa Konstruksi dan Rantai Pasok Konstruksi.

Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2020 dan Permen PUPR Nomor 09 Tahun 2020 adalah regulasi yang dikeluarkan mendahului PP yang semestinya menjadi turunan pertama dari UU Jaskon Nomor 2 Tahun 2017.

Berbekal aturan ini, maka Menteri PUPR menjalankan tugas akreditasi melalui pembentukan tim akreditasi asosiasi yang dulunya  dilakukan oleh LPJK. Potong kompas melalui langkah ‘akselerasi hukum’ dalam regulasi turunan UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi ini menjadi menarik, ketika misalnya saja dicoba dikaitkan dengan aspek hal aturan proses Akreditasi Asosiasi Jasa Konstruksi menurut versi induknya.

BACA : Membahas Legalitas Penyetaraan SKA UU Jasa Konstruksi dan Sertifikat Kompetensi SKI UU Keinsinyiuran

Sebab, menurut versi regulasi tertinggi pada pengaturan jasa konstruksi UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,  terutama dari segi hal siapa pihak yang berwenang untuk melakukan proses akreditasi asosiasi jasa konstruksi.

Bicara hal akreditasi pada UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, tentu tidak sederhana dengan ditafsirkan semua akan diatur mutlak melalui otoritas menteri saja. Ada beberapa pasal yang saling terkait dan tidak bisa ditinggalkan sehingga perlu untuk lebih dicermati.

Regulasi berbagai hal terkait akreditasi dapat dicoba meruntutkan melalui berbagai pasal pada UU Nomor 2 Tahun 2017. Dari penelusuran pasal dipastikan akan lebih mudah ditemukan siapa sebenarnya yang berwenang melakukan akreditasi.

Pengaturan hal akreditasi asosiasi jasa kontruksi muaranya tidak bisa lepas dari Pasal 3c yang mengungkapkan Tujuan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi adalah untuk ‘Mewujudkan Peningkatan Partisipasi Masyarakat di Bidang Jasa Konstruksi’. Dari pasal ini, kemudian dilanjutkan oleh pasal 5 ayat (1) dan ayat (4).g yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Pusat terkait hal menyelenggarakan Akreditasi bagi Asosiasi Perusahaan Jasa Konstruksi, Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi dan Asosiasi Rantai Pasok Konstruksi.

BACA JUGA : Jika Ibukota Pindah ke Kalimantan Bisa Gairahkan Industri Jasa Konstruksi

Pasal ini kemudian terhubung ke pasal 9 yang menyatakan bahwa ‘Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 sampai dengan pasal 8 pemerintah pusat dan/ dan atau pemerintah daerah dapat melibatkan masyarakat jasa konstruksi’.

Kata ‘melibatkan masyarakat jasa konstruksi’ kemudian diperkuat dengan pasal 84 ayat (1) yang menyatakan ‘penyelenggaraan sebagian kewenangan pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 mengikutsertakan masyarakat jasa konstruksi’ ; dan dalam penjelasan pasal 84 ayat (1) ini dengan tegas dan sangat jelas mengungkapkan salah satu wewenang yang dilimpahkan kepada masyarakat jasa konstruksi tersebut adalah terkait dengan wewenang melakukan akreditasi.

Keterlibatan masyarakat jasa konstruksi ini kemudian diwakilkan kepada LPJK sebagai lembaga seperti yang diungkapkan Pasal 84 ayat  (2) bahwa ‘Keikutsertaan masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh Menteri’.

Dan pada penjelasan pasal ayat (2) diungkapkan lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi. Memang terkait hal akreditasi dan juga hal pembentukan lembaga adalah tidak terlepas dari wewenang menteri, tapi tentu ada hal lain yang harus diperhatikan dan tidak bisa diabaikan. Ini bisa diselami pada UU Nomor 2 tahun 2017, terkhusus pada Pasal 104. Di mana, Pasal 104 ini menyatakan bahwa PP turunan dari UU Nomor 18 Tahun 1999 masih tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2017. Sdangkan, mengenai tugas lembaga telah diatur pada PP Nomor 28 Tahun 2000 yang menyatakan hal wewenang akreditasi adalah dilakukan oleh lembaga LPJK. Artinya, hal ini tidak bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2017 pada Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2).

Jadi, pada dasarnya tetap sejalan, sehingga semestinya dengan berpatokan pada pasal ini maka bisa diartikan sepanjang lembaga baru belum terbentuk, maka lembaga LPJK lama (produk PP Nomor 28 Tahun 2000) tetap bisa menjalankan tugasnya. Termasuk, salah satunya mendapat wewenang untuk melaksanakan proses akreditasi terhadap asosiasi jasa konstruksi.

BACA JUGA : Padukan Aspek Jasa Konstruksi Melalui Aplikasi Gomaskon

Lalu muncul pertanyaan apakah dengan kondisi saat ini, ketika Lembaga LPJK produk UU Nomor 18 Tahun 1999 /PP Nomor 28 Tahun 2000 masih ada dan bertugas, mengapa menteri berhak untuk langsung melakukan akreditasi, dengan persepsi karena Lembaga LPJK berdasar UU Nomor 2 Tahun 2017, belum terbentuk? Tentu saja sebelum menyatakan bisa tidaknya alangkah elok bila dicoba kuak pasal yang terkait dengan wewenang menteri.

Wewenang utama menteri terkait akreditasi utamanya bisa dilihat pada Pasal 30 ayat (7) dan Pasal 71 ayat (6) UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Inti kedua pasal ini jelas menyatakan bahwa yang mengatur ketentuan terkait proses sertifikasi, registrasi dan akreditasi asosiasi badan usaha ataupun asosiasi profesi akan diatur dalam peraturan menteri.

Berpatokan pada pasal ini, Menteri PUPR kemudian mengeluarkan Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2020 tentang Akreditasi. Yang menarik  Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2020 ini bersama dengan Permen PUPR Nomor 9 Tahun 2020 telah hadir mendahului PP sebagai turunan pertama dari UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, jelas produk permen ini tidak salah, karena atas perintah dari UU.

Hanya saja, bila dicermati lebih mendalam ada hal penting yang bisa saja terlupakan ketika melakukan penyusunan Permen tersebut. Utamanya, masalah falsafah isi dari permen yang hakikatnya tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya.

BACA JUGA : Menyandingkan UU Keinsinyuran, PP 25/2019 dan UU Jasa Konstruksi

Aturan dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa konstruksi terkait hal akreditasi terutama dalam hal pelimpahan sebagian wewenang atau tugas pemerintah kepada masyarakat jasa konstruksi sangat jelas dan tegas. Pelimpahan sebagian wewenang tersebut adalah kepada Lembaga LPJK seperti yang diatur pada Pasal 84 ayat (1) dan pasal 84 ayat (2) berikut penjelasannya.

Dalam hal ini, tugas Lembaga LPJK sebagai representatif masyarakat jasa konstruksi adalah antara lain hal registrasi, akreditasi, lisensi dan menetapkan penilai ahli, penyetaraan tenaga kerja asing , membentuk LSP untuk melaksanakan tugas sertifikasi yang belum dapat dilakukan oleh LSP yang dibentuk oleh asosiasi profesi/lembaga diklat.

BACA JUGA : Sebuah Paradoks UU Jasa Konstruksi dan Peran Masyarakat Konstruksi (2-Habis)

Penafsiran dari Kementerian PUPR ketika mengeluarkan Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2020 ini terasa kental dengan anggapan bahwa cukup mengacu kepada Pasal 30 ayat (7)  dan Pasal 71 ayat (6), maka semua bisa dilakukan termasuk mengabaikan keberadaan LPJK sebagai produk PP 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, yang merupakan turunan dari UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Sepertinya Kementerian PUPR melupakan hal pasal kunci yakni Pasal 104 huruf a. Yang menyatakan dengan tegas “Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.

Pada bunyi pasal ini yang sangat menarik adalah adanya pernyataan yang jelas dan tegas dan bisa dimaknai bahwa semua PP sebagai produk UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi MASIH TETAP BERLAKU SEPANJANG TIDAK BERTENTANGAN dengan ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Walaupun, UU Nomor 18 Tahun 1999 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi (Pasal 104 huruf b).

Namun, pada PP Nomor 28 Tahun 2000 di Pasal 29 yang mengatur tentang kewenangan dan tanggung jawab lembaga telah ditegaskan akreditasi adalah bagian dari kewenangan dan tanggung jawab Lembaga LPJK.

BACA JUGA : Sebuah Paradoks UU Jasa Konstruksi dan Peran Masyarakat Konstruksi (1)

Tentu saja, hal ini tidak bertentangan dengan UU Nomor  2 Tahun 2017, terutama pada Pasal 84 ayat (1) dan Pasal 84 ayat (2). Sehingga dengan berpatokan kepada hal ini, maka sangat jelas yang berwenang secara aturan perundang undangan untuk melakukan proses Akreditasi Asosiasi Jasa Konstruksi hanyalah Lembaga LPJK bukan lembaga ataupun tim yang dibentuk oleh Menteri (dalam hal ini Menteri PUPR). 

Lalu bagaimana bila ini kita kelindankan dengan Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2020 terkait akreditasi yang juga dibuat atas perintah Pasal 30 ayat (7) dan Pasal 71 ayat (6), apakah bisa dijadikan patokan? Tentu saja jawabnya adalah bisa! Yakni, sepanjang tidak bertentangan dengan perintah UU dan PP yang posisinya lebih tinggi dibandingkan Permen PUPR tersebut.

Memang diperlukan kejelian dan cermat dalam mendudukkan hirarki hukum, wabilkhusus ketika menentukan siapa yang berwenang melakukan akreditasi asosiasi jasa konstruksi menurut UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa konstruksi.

Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) berkorelasi dengan Pasal 104 sejatinya dapat membantu memberikan jawaban siapa yang berwenang. Dalam hal ini, sangat jelas adalah wewenang lembaga LPJK yang ada saat ini, jadi bukan tim akreditasi yang dibentuk oleh Menteri berdasar Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (5) Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2020.

BACA JUGA : Sertifikasi untuk Pemenuhan Tenaga Kerja Jasa Konstruksi yang Legal

Bila taat, maka pembentukan tim akreditasi melalui Permen PUPR bisa dipastikan bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi berikut PP Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

Konsekensinya bisa saja semua produk hukum yang berdasar Permen PUPR Nomor 10 Tahun 2020 berpotensi akan cacat hukum dan gugur demi hukum terkhusus masalah pembentukan tim akreditasi dan keputusan yang dikeluarkannya. Dampaknya bisa saja proses penentuan asosiasi yang memenuhi syarat akreditasi atau tidak akan dilakukan pengulangan, bila memang terbukti proses yang lalu tidak sejalan dengan perintah UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Walaupun aturan sudah jelas dan tegas, tapi tentu saja semuanya kembali kepada kita, apakah masih mau konsisten pada aturan regulasi tertinggi yang telah disepakati untuk diterapkan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi ataukah ternyata sebaliknya. Yakni, tetap ngotot menggunakan tafsiran yang berlandaskan kekuasaan, merasa paling benar ataupun untuk mengamankan tujuan dan kepentingan tertentu, walau sebenarnya tidak mengacu konsisten pada UU Nomor 2 Tahun 2017.

Bila hal tersebut yang terjadi, kemudian tetap dilakoni, maka bukan sebuah keniscayaan bahwa jasa kontruksi negeri tidak akan bisa maju dan berkembang baik, meski berbagai perangkat aturan telah dibuat untuk menunjang harapan tersebut.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua LPJK Provinsi Kalimantan Selatan

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.