Saya Memilih Jalan Terjal, Saya Demokrat, Saya Anies

0
oleh: Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.
Sebuah Surat Terbuka Kepada Rakyat Indonesia

Surat ini saya sampaikan kepada seluruh Rakyat Indonesia, agar bisa lebih adil membaca sikap kritis dan perjuangan hukum yang akhir-akhir ini lebih saya tegakkan dan tegaskan. Karena itu, saya meminta kepada rekan media massa, untuk berkenan memuat utuh, keseluruhan penjelasan ini, tanpa dipotong-potong, agar tidak menimbulkan bias pemahaman yang tidak perlu.

Kalau hanya sekedar ingin hidup nyaman dan tenang, saya tidak akan masuk politik yang penuh intrik dan tetap bergelut di dunia akademik, menjadi dosen dan Guru Besar di Fakultas Hukum UGM. Tetapi saya memilih berjuang, bertarung di episentrum kekuasaan, di Istana, menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; lalu Wakil Menteri Hukum dan HAM.

Kalau hanya sekedar ingin hidup tenang dan senang, saya tidak akan maju dalam Pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan, berhadapan dengan incumbent, bertemu dengan kesulitan dan kerumitan mengelola parpol dan relawan, menolak tegas praktik politik uang, sambil melawan kekuatan oligarki para mafia batubara yang telah lama bergelimang harta, hidup nyaman.

Kalau hanya sekedar ingin hidup bahagia, semata dengan ukuran kaya harta, saya tidak akan berpolitik yang sering saling sikut-saling usik. Lebih baik, saya tetap menjadi advokat internasional punya izin praktik di Australia selain Indonesia, berkantor di Melbourne, selain Jakarta. In syaa Allah penghasilan saya selaku profesional international lawyer, jauh lebih memadai ketimbang gaji di DPR. Terutama, karena saya hanya akan menerima gaji saja, tanpa cawe-cawe mencari tambahan sampingan.

Kalau hanya sekedar memikirkan kepentingan diri dan kantor sendiri, saya tidak akan berpolitik praktis. Lebih baik saya menikmati kerja lawyering bolak-balik Jakarta-Melbourne, dan INTEGRITY lebih banyak punya kesempatan mendapatkan klien korporasi, yang kebanyakan tidak mau berhubungan dengan kantor hukum yang bersikap kritis kepada negara (pemerintah). Saat ini sangat sedikit klien yang mau berjuang bersama, 90% perkara kami probono (gratis) membantu buruh dan masyarakat. Namun, kami sangat yakin rezeki ada yang mengatur, tidak akan salah alamat.

Kalau hanya memikirkan keluarga, saya akan memilih tinggal saja sebagai penduduk tetap (permanent residence) di Australia, selain Indonesia, sebagaimana permintaan istri dan anak-anak tercinta. Ibu saya pun sebenarnya berat melepaskan saya kembali ke tengah hiruk-pikuk politik, di tengah status hukum saya yang masih tersangka, sudah lebih 8 tahun disandera.

Bagi keluarga, melepaskan saya berpolitik ke ruang publik, berarti makin sulit bercengkerama bersama, dan makin banyak serangan politik yang tidak jarang membuat luka, karena kami juga manusia biasa. Namun, setelah melalui pemikiran yang panjang, perenungan yang dalam, saya, istri, dan anak-anak berdiskusi beberapa malam, akhirnya mereka memutuskan mengikhlaskan saya, kembali maju berjuang.

Saya sudah ‘berpolitik’ ketika masuk Istana. Saya sudah berpolitik ketika maju pemilihan gubernur
Kalsel. Sekarang hanyalah penegasan lagi sikap politik saya untuk masuk Partai Demokrat. Tidak
masuk partai pun, saya sudah lama dicap stempel Demokrat. Sudah lama dianggap, ‘Orangnya
SBY’.

Banyak partai yang menawarkan saya bergabung. Tiga partai pengusung di Kalsel selain Demokrat adalah Gerindra dan PPP. Ketiga-tiganya menawarkan bergabung, belum lagi partai-partai lainnya. Saya memilih Demokrat, karena sudah lama berjuang bersama.

Kepada Pimpinan Gerindra dan Ketua PPP kala itu, saya katakan, merasa terhormat mendapatkan
tawaran, namun kalau akhirnya memutuskan masuk parpol, tidak etis jika saya menerima tawaran partai lain, dan menolak Demokrat. Bagaimanapun Presiden Keenam SBY adalah orang yang lebih banyak berjasa dalam perjalanan karir politik saya.

Demikian pula pilihan pada Anies Baswedan. Kami sudah lama berjuang bersama. Kami sama-sama di Tim 8 bentukan Presiden SBY, melawan kriminalisasi atas pimpinan KPK. Kami sempat berjuang bersama melawan gugatan hukum para oligarki atas pencabutan izin reklamasi di Jakarta dan masalah lahan pembangunan Jakarta International Stadium.

Pilihan saya untuk Anies lebih mudah, karena kami sudah lama saling kenal. Bahkan, sudah sejak
mahasiswa saya memanggil Anies, ‘Mister President’. Saya tahu pribadi dan gaya kepemimpinan
Anies sejak sama-sama di UGM, sejak dia menjadi Ketua Senat Mahasiswa pada level universitas, dan Ganjar Pranowo menjadi Ketua Mahasiswa Pencinta Alam Majestic 55, pada level Fakultas Hukum UGM.

Saya lebih memilih Anies Baswedan karena chemistry dan nasib yang lebih sama. Ketika maju Pilgub Kalsel, saya pun tidak punya partai, tidak punya dana yang memadai. Saya hanya sedikit lebih beruntung, tidak perlu sampai berutang, sebagaimana Anies di Jakarta.

Berbeda dengan perjuangan Ganjar dan Prabowo yang merupakan kader utama sehingga lebih mudah mendapatkan dukungan partai masing-masing, PDI Perjuangan dan Gerindra; perjalanan Anies Baswedan lebih menantang. Dia menunjukkan kapasitas dan integritas lebih, sehingga punya daya tawar politik di hadapan Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS.

Berbeda dengan pendanaan Ganjar dan Prabowo, yang akan berlimpah pendanaan dari banyak konglomerat, Anies Baswedan saya duga, akan berat berjuang untuk mencukupi dana kampanyenya. Problem yang sama saya hadapi ketika maju di Pilgub Kalsel.

Insting politik dan hati nurani saya memilih bersanding dengan orang yang didzalimi untuk berjuang bersama, meskipun surveinya katanya di urutan nomor tiga. Perjuangan ini bukan hanya sekedar soal kalah dan menang, tetapi lebih penting, ini adalah perjuangan menegakkan hukum yang lebih adil dan lebih antikorupsi.

Saat menawarkan jasa hukum ke satu partai politik, Ketua Umumnya mengatakan, “Kita akan memakai kantor mas Denny INTEGRITY, syaratnya hanya satu. Mas Denny tidak boleh mendukung Anies Baswedan sebagai capres”. Ketika saya tanyakan kenapa demikian? “Karena saya harus memikirkan keselamatan hidup partai saya,” ujarnya. Akhirnya, kerja sama miliaran Rupiah itu pun batal dijalankan.

Jadi, inilah saya, Denny Indrayana. Kembali memilih untuk berjuang. Memilih untuk mendaki jalan terjal menuju puncak kejayaan, ketimbang bersantai berpangku tangan melihat hukum Indonesia
dipermainkan, ketimbang diam menonton keadilan diperjualbelikan.

Saya Denny Indrayana, anggota Partai Demokrat, menjadi caleg DPR RI di Dapil II Kalimantan
Selatan, dan sekaligus memperjuangkan Anies Baswedan sebagai Presiden Republik Indonesia.

Bismillah, keep on fighting for the better Indonesia!(*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.