Hasil Riset PR2Media Yogyakarta; Media Massa Rusak Akibat Sistem Politik Indonesia

0

GURU besar ilmu komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Dr Masduki mengungkap fakta bahwa rusaknya media massa akibat sistem politik yang terjadi di Indonesia.

FAKTA ini diungkap Prof Masduki dalam diskusi ringan bersama AJI Balikpapan Biro Banjarmasin di Kafe Kubik, Kota Lama Bandarmasih Tempo Doeloe, Banjarmasin, Senin (8/1/2023) sore.

Premis ini ditegaskan Masduki membeberkan hasil risetnya dalam buku berjudul Kepemilikan dan Afiliasi Politik Media di Indonesia dengan 177 halaman. Riset ini mengambil sampel di empat kota besar yakni Jakarta, Surabaya (Jawa Timur), Samarinda (Kalimantan Timur) dan Makassar (Sulawesi Selatan) dengan melibat tim peneliti dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Yogyakarta dan sejumlah jurnalis di empat provinsi.

Menurut Masduki, dari hasil riset ini semangatnya adalah menjaga kewarasan karena media massa di Indonesia itu rusak akibat sistem perpolitikan dengan adanya konglomerasi yang menggurita.

BACA : Dewan Pers Dorong Semua Media Massa Berkualitas Dan Profesional, Totok Suryanto: Belum Terverifikasi Silakan Saja Kerjasama

Ketua PR2Media Yogyakarta mengatakan riset yang telah dibukukan merupakan penelitian intensif, terutama menyangkut modal kepemilikan media massa di era Reformasi pada 1998 hingga sekarang.

Berdasar tipologi kepemilikan media, Masuki mengatakan ada tiga yakni horizontal yakni kepemilikan berdasar pada aktivitas perusahaan yang sama dengan perluasan pasar. Contohnya, MNC Group mengoperasikan RCTI, MNC, dan iNews TV (semuanya televisi).

“Ada pula kepemilikan vertikal yang kaitannya dengan rantai proses atau aktivitas. Kepemilikan ini menguntungkan dalam hal seperti mengurangi biaya transaksi, memberiperusahaan beberapa kendali atas lingkungan operasi, dan bisa menghindarikehilangan akses pasar di “hulu” atau “hilir”. Misalnya, Grup Emtek mengoperasikan SCTV, manajemen artis, rumah produksi, dan seterusnya,” kata doktor lulusan Ludwig Maximillians University of Munich, Jerman ini.

BACA JUGA : Masuki Era Digital, Media Massa Cepat Beradaptasi dan Tetap Junjung Tinggi Kode Etik Jurnalistik

Tipologi ketiga adalah diagonal atau lateral, terjadi ketika perusahaan melakukan diversifikasi ke area bisnis di luar media awal. Misalnya, merger antara operator telekomunikasi dan perusahaan televisi yang menghasilkan keuntungan atau efisiensi.

“Dari tiga tipologi kepemilikan media, terdapat kategori kepemilikan yang holistik dan lintas usaha disebut konglomerasi atau perusahaan media berskala besar,” kata Inisiator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta ini.

Begitu memasuki era digital, Masduki menyebut kepemilikan media massa berubah, termasuk kebijakan media bukan lagi publikasi namun mengarah ke komersialisasi. Hal ini karena selama ini mazhab media massa berkiblat ke Amerika Serikat, bukan Eropa Barat atau lainnya.

BACA JUGA : Suara Kritis Pers Perjuangan dan Menguatnya Kapitalisasi Media Massa

“Padahal, mazhab media itu lebih bagus menganut prophetic atau menyampaikan kebenaran. Tak mengherankan, jika media sekarang menjadi propaganda industri lebih mengarah pada mengejar profit atau keuntungan, dengan memberi ruang komersialisasi, konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan pada individu atau kelompok,” kata Masduki.

Berbeda dengan Eropa Barat seperti Jerman, Masduki mengatakan justru lebih mengarahkan pada pluralisme media massa, bahkan mengarah ke media public dan komunitas yang lebih kuat.

“Yang terjadi di Indonesia, justru terjadi bluring antara media dan politik. Tidak ada pemisahan antara institusi media dengan institusi politik. Bahkan, media itu justru dimiliki pemilik modal atau oligarki, hingga ada istilah digital konglomerat,” kata periah gelar magister (S2) dari Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Ateneo De Manila University Filipina.

BACA JUGA : Media Massa Harus Jadi Perekat Kelompok Masyarakat dan Elite Politik

Masduki mencontohkan di Jerman, sangat rigid jelas aturannya bahwa orang media tak boleh menjadi pengurus partai atau ketua parpol. Hal ini membuat sistem politik akhirnya membuat keberadaan media massa ikut rusak.

“Makanya, saya mengusulkan agar KPU, Bawaslu, Dewan Pers, KPI dan KPPU untuk duduk satu meja mengeluarkan aturan dalam menjaga sistem politik khususnya media massa kita bisa sehat,” katanya.

Masduki menyebut dalam landscape media massa di Indonesia, terdapat 8 konglomerasi besar, sehingga bukan lagi bertipologi diagonal, vertikal maupun horizontal. Menurut dia, media partisipan seperti Suara Karya yang terafiliasi dengan Partai Golkar.

BACA JUGA : Bahas Era Disrupsi Digital, Dekan FISIPOL UGM dan Pakar Sosiologi Media UB Berbagi Analisis di ULM

“Itu sih fine-fine saja, karena sudah jelas. Seperti di Jerman yang menganut negara sosial demokrasi, ada namanya Partai Hijau (Green Party) yang punya media, karena memang membidik konstituen partai. Berbeda di Indonesia, misalkan dengan Hari Tanoesoedibidjo dengan MNC Group dan Partai Perindo, atau Surya Paloh dengan Media Group dengan Partai NasDem sebagai media komersial, tapi jelas-jelas mendukung parpol sang pemilik. Terakhir, ada media pemerintah dalam hal ini TVRI dan RRI,” ucap Masduki.

BACA JUGA : AJI Balikpapan Biro Banjarmasin Resmi Dideklarasikan, Kasus Kekerasan Pers di Kalsel Jadi Atensi

Fenomena yang menarik diakui Masduki adalah kini banyak kalangan jurnalis yang leih memilih menjadi politisi karena sudah ada rule model. Dia juga mengeritik peran Dewan Pers yang hingga kini baru bisa menegakkan kode etik jurnalistik dan standar perusahaan pers. “Namun, soal konglomerasi media justru dianggap hal normal. Ini bisa bermasalah,” katanya.

Fenomena itu juga diakui dua akademisi komunikasi dari FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Dr Fahrianoor dan Sri Astuty soal afiliasi media massa ke parpol atau yang dimiliki oleh pengurus partai. “Jelas hal ini membuat independensi media massa tak bisa terjaga,” kata Fahrianoor.(jejakrekam)

Penulis Iman Satria
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.