Empati dalam Hukum

0

Oleh : Mohammad Effendy

DALAM sebuah tayangan Youtube diceritakan seorang polisi Amerika menangkap seorang anak yang mencuri di sebuah supermarket atas pengaduan pemiliknya.

MELALUI beberapa pertanyaan terhadap anak tersebut, polisi mengetahui bahwa anak itu mencuri karena sedang kelaparan.  Polisi membawa anak itu ke supermarket di mana tadi ia mencuri, dan membayar harga barang yang dicurinya, bahkan menambah beberapa makanan lain.  

Anak itu kemudian diantarkan ke rumahnya di kawasan kumuh. Di tempat itu, itemukan beberapa keluarga si anak sedang duduk berdempetan di ruang sempit dan pada wajah mereka nampak terlihat muka orang yang menderita kelaparan. 

Mereka begitu senang melihat makanan yang di bawa anak tadi dan langsung melahapnya dengan penuh semangat di depan polisi yang tadi ingin menangkap dan kemudian justru membelikan makanan serta mengantarnya pulang.

BACA : Hukum Indonesia Makin Memburuk?

Sepulangnya ke kantor, polisi tadi menceritakan pengalaman yang ditemui dan dirasakannya kepada kawan-kawan kerja. Tanpa dikomando dan imbauan, mereka langsung mengeluarkan uang masing-masing untuk dikumpulkan dan diberikan kepada keluarga miskin si anak tadi. 

Sikap polisi yang tidak menangkap si anak tadi padahal perbuatanya secara nyata dan factual telah melakukan tindak pidana serta sikap kawan-kawan kerjanya yang memberikan sumbangan sukarela sementara mereka itu berstatus sebagai aparat penegak hukum, adalah ekspresi rasa empati dalam hukum.

BACA JUGA : Tegakkan Keadilan Hukum dan Bebaskan Banua Kalsel dari Pebisnis Aturan Hukum

Rohnya hukum itu adalah keadilan, dan di dalam keadilan bersemayam rasa empati pada sesama yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan.  Jika sekarang hukum di negara kita tidak lagi memiliki rasa empati, dan mereka yang memakai baju serta simbol aparat negara hadir dengan wajah yang garang dan menakutkan, maka hukum menjadi kering dan tidak bermakna.  Bahkan, mungkin kita telah kehilangan rasa solidaritas sebangsa.

Pendiri bangsa ini telah mewariskan rasa solidaritas sebangsa ini, dan warisan itu telah lama kita rawat dan jaga bersama dengan segala pengorbanan yang besar. 

BACA JUGA : Penegakan Hukum Lingkungan Bisa Dimulai dari Kalsel

Mengapa kita begitu tega mengoyak warisan yang sangat berharga itu sekarang ini? Membiarkan rakyat hidup dalam penderitaan dan ketakutan serta kehilangan harkat dan martabatnya dan itu dilakukan oleh kita sendiri, bangsa sendiri.

 Jadilah pelaku sejarah di mana anak cucu kita akan bangga membacanya nanti, jangan sebaliknya kita meninggalkan jejak sejarah yang kelam, sehingga anak cucu kita menderita cemoohan dari kawan-kawannya. (jejakrekam)

Penulis adalah Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM)

Pegiat Forum Ambin Demokrasi

Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.