Karhutla, Mengapa Bisa Terjadi Kembali?

0

Oleh: Nailah, ST

DIREKTUR Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menyebut pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi ataupun perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

DARI 22 perusahaan yang digugat, sebanyak 14 perusahaan diketahui telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht dengan total nilai putusan mencapai Rp 5,60 triliun. Secara lebih terperinci, 7 perusahaan sedang dalam proses eksekusi dengan nilai Rp 3,05 triliun dan 7 perusahaan persiapan eksekusi dengan nilai mencapai Rp 2,55 triliun.(kompas tv, 20 Agustus 2023)

Kembali terjadi

Kebakaran lahan kembali terjadi, berpotensi membahayakan  lahan dan perumahan warga, juga  menimbulkan kabut asap sehingga sempat mengganggu mobilitas barang dan masyarakat, dan mengancaman kesehatan .

Diakui atau tidak, karhutla memang masih jadi PR besar bagi Indonesia. Dari tahun ke tahun luasan hutla yang terbakar meningkat dengan angka yang luar biasa. Pada 2021 saja luasannya mencapai angka 358.867 ha. Jumlah tersebut meningkat 20,85% dibanding tahun 2020 yang luasannya sekira 296.942 ha.

BACA : Bakar Lahan di Desa Baru, Pelaku Langsung Diamankan Satgas Karhutla Gabungan TNI-Polri

Kebakaran hutan kembali terjadi di Kalimantan. Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) BPBD Kalimantan Selatan (Kalsel) melaporkan bahwa hingga Sabtu (24-6-2023), luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalsel mencapai 163,15 hektare.

Karhutla di Kalsel telah melanda Kota Banjarbaru, serta enam kabupaten lainnya, yaitu Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong. Total ada 2.168 titik api. (Kumparan, 25-6-2023). Sementara itu, di Kalimantan Timur, terdeteksi 20 titik panas. (Republika, 23-6-2023).

Bukan hanya faktor cuaca, karhutla yang berulang terjadi sejatinya lebih disebabkan karena unsur kesengajaan perusahaan/korporasi membakar hutan dan lahan. Dari aspek ini saja, kita patut mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk mengatasi karhutla.

BACA JUGA : Bupati HST Tetapkan Status Siaga Darurat Bencana Karhutla Hingga 30 November 2023

Tuntutan administratif atau ganti rugi materi sejatinya bernilai kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan karena pembakaran hutan. Tuntutan kepada 22 perusahaan tidak bisa menyelesaikan persoalan fundamental karhutla. Di luar sana, masih ada 900 perusahaan yang beroperasi dalam dua ekosistem gambut dan ekosistem hutan yang berpotensi melakukan hal sama jika mereka ingin membuka lahan.

Kapitalisasi

Karhutla ini imbas dari kebijakan adanya konsesi hutan untuk perusahaan, dan abainya perusahaan negara akan penjagaan hutan sebagai  paru-paru dunia.  Apalagi Penegakan hukum yang  tidak memberikan efek jera membuka peluang penyalahgunaan konsesi yang diberikan negara.

Inilah yang menyebabkan puluhan juta hektare hutam berubah menjadi objek eksploitasi dan kapitalisasi. Korporasi-korporasi itu bergerak di bidang industri kayu, sawit, food estate, pertambangan, dan lain-lain. Bahkan, terkait proyek IKN, banyak perusahaan yang menerima hak membuka hutan untuk kawasan bisnis dan perumahan.

BACA JUGA : Ada Pembiaran Perusahaan, Polda Kalsel Tangani 2 Kasus Karhutla di Kota Banjarbaru

Padahal, siapa pun tahu, para kapitalis pemilik korporasi cenderung tidak mau rugi. Tidak sedikit pihak industri yang terlibat dalam perusakan lingkungan demi menekan biaya produksi. Akibatnya, selain menimbulkan bencana yang merugikan secara ekonomi, sosial, bahkan politik, semua itu menyebabkan konversi dan deforestasi yang tidak terkendali. Jika data statistik KLHK 2015 mencatat luas hutan Indonesia sebanyak 120 juta ha, pada 2021 hanya tinggal seluas 95,6 juta ha saja.

Dampak lanjutannya tentu tidak bisa kita abaikan. Keseimbangan ekosistem menjadi terganggu. Bencana longsor, dan banjir pun menjadi langganan. Bahkan, konversi dan deforestasi yang salah satunya disebabkan karhutla telah berpengaruh besar pada perubahan iklim dunia dan menyusutnya ketersediaan air bersih di mana-mana.

Paradigma Islam

Dari paradigma kapitalisme inilah, kesalahan dalam pengelolaan hutan terus berlangsung. Ini jelas berbanding terbalik dengan paradigma Islam. Nabi saw., bersabda, “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yakno, air, padang gembalaan, dan api.” (HR Imam Ahmad).

Hadis ini memang tidak menyebutkan secara eksplisit tentang hutan, tetapi syariat tidak membatasi pada tiga aspek tersebut. Hutan adalah kepemilikan umum yang berarti tidak boleh dikuasai individu. Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat untuk memanfaatkannya.

BACA JUGA : Gapki Kalsel Gelar Diskusi Strategi Pencegahan dan Pengendalian Karhutla di Kalsel

Negara tidak boleh memberikan kewenangan pengelolaan kepada swasta, tetapi negara boleh mempekerjakan swasta untuk mengelola hutan. Akad yang berlaku ialah akad kerja, bukan kontrak karya. Adapun dalam aspek pengelolaan lahan, kembali pada hukum kepemilikan lahan. Setiap individu boleh memiliki lahan sesuai jalan yang dibenarkan syariat. Pemilik lahan harus mengelola lahannya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun.

Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, status lahan tersebut berubah menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikannya kepada siapa saja yang lebih dahulu bisa menggarap dan menghidupkan tanah tersebut. Selain itu, pengelolaan lahan tidak boleh dengan melakukan pembakaran atau menghilangkan unsur hara serta merusak ekosistem.

Negara akan mengembangkan kemajuan iptek di bidang kehutanan agar pengelolaan hutan dan lahan dapat dioptimalkan sebaik mungkin tanpa harus mengganggu dan merusak ekosistem. Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera.

BACA JUGA : Antisipasi Karhutla, H Sahbirin Noor Kukuhkan Pasukan Elang Darat Karhutla

Semua ini tidak bisa berjalan jika sistem dan produk hukum masih berkiblat pada ideologi kapitalisme. Penyelesaian karhutla hanya akan tuntas dengan mengganti seluruh perangkat dan produk hukum yang berasas kapitalisme dengan paradigma Islam.

Ketaatan dan ketundukan pada hukum Allah Taala akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan bagi negeri ini. Dengan penerapan sistem Islam kaffah, SDA yang berlimpah, termasuk hutan di dalamnya, akan memberi kemaslahatan dan kebermanfaatan bagi seluruh umat manusia.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati sosial politik

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.