Analisis Hasil Temuan Bekas Ketel Uap di Lokasi Cagar Budaya Langgar Al Hinduan

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

KESIMPULAN awal dari hasil kajian Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banjarmasin bahwa tinggalan budaya material di kawasan rehabilitasi Langgar Al Hinduan,Sungai Mesa Banjarmasin diduga kuat temuan adalah ketel uap.

KETEL uap dengan model Cochran Boiler, produksi sekitar tahun 1885 untuk smallriver steamer (kapal uap kecil yang melayari sungai) berjenis boiler pipa air (water steam) dengan bahan bakar batubara. Ada beberapa alasan yang menguatkan.

Ada beberapa alasan mendasar yakni penemuan jelaga (serpihan) batubara dalam temuan “boiler) tersebut. Ini didapatkan bersamaan dengan beberapa pecahan keramik di area lokasi rehabilitasi Langgar Al Hinduan, Jalan Kapten Piere Tendean, Banjarmasin.

Berikutnya, ada kesamaan atau kemiripan bentuk tinggalan budaya material dengan ketel uap dengan model Cochran Boiler.

Dari hasil analisis temuan sebelumnya, pada tahun 1997 yang lalu, pernah ditemukan sisa kapal masa pemerintahan Hindia Belanda yang karam di Bantaran Sungai Martapura, Jalan Kapten Pierre Tendean, Sungai Mesa, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

BACA : Awalnya Dikira Meriam, Ternyata Ketel Uap Peninggalan Kapal Uap Zaman Kolonial Belanda

Hal ini bersumber dari Laporan Balai Arkeologi Kalimantan Selatan yang diterbitkan satu tahun kemudian, tahun 1998. Dalam laporan itu dituliskan, sejarah perkembangan daerah Banjarmasin pada saat Belanda berkuasa secara politis dan ekonomis, frekuensi pemanfaatan kapal jenis tarik atau gandeng yang dikelola oleh perusahaan Hindia Belanda cukup banyak.

Sisa jelaga atau batubara yang terdapat dalam ketel uap temuan di lokasi proyek Langgar Al Hinduan, Sei Mesa, Banjarmasin. (Foto Dokumentasi Mansyur)

————

Aktivitas tersebut tidak hanya dilakukan di sekitar perairan muara, melainkan sampai ke pedalaman. Banjarmasin adalah pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan di Kalimantan Selatan.

BACA JUGA : Tenggelamnya Onrut, Kapal Modern dari Feyenoord dalam Perang Banjar (1)

Bersama dengan Sungai Barito dan Sungai Martapura yang merupakan sungai terbesar dan terpenting di daerah ini dan merupakan urat nadi utama perekonomian sejak dulu. Temuan sisa kapal karam memiliki arti yang cukup penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bukti sejarah.

Temuan kapal berusia kurang lebih 97 tahun di bantaran Sungai Martapura diyakini dapat menjadi sumber studi yang sangat berharga khususnya yang menyangkut teknologi dan konstruksi kapal dari masa penjajahan Belanda di Nusantara, sekaligus sebagai satu-satunya data mengenai konstruksi dan teknologi kapal sejenis yang dapat diperoleh selama ini.

BACA JUGA : Misteri Pulau Kembang, Antara Penguasa Gaib dan Tenggelamnya Kapal Dagang Inggris

Selebihnya keberadaan kapal tersebut merupakan sumber informasi untuk memahami sejarah aktivitas transportasi air pada jalur perdagangan di Banjarmasin sekitar awal abad ke-20 masehi.

Model ketel atau mesin uap yang dipakai orang Eropa termasuk Belanda saat berada di Hindia Belanda (Indonesia). (Foto Dokumentansi Mansyur)

————

Kapal tersebut berasal dari masa VOC di Nusantara, karena dikaitkan dengan penemuan mata uang tembaga yang dikeluarkan oleh VOC denganangka tahun 1790 hingga Nederlandsch Indie yang berangka tahun 1945.

Anggapan ini dapat ditepis, karena tidak berkaitan atau tidak berkonteks dengan kapal tersebut mengingat letak temuan mata uang tersebut pada lapisan tanah/endapan lumpur hitam halus yang memenuhi badan kapal (tidak menempel pada pelat besi kapal), bahkan sebagian besar berada di luar kapal.

BACA JUGA : Narasi Jukung Tambangan, Perahu Elit Istana dan Saudagar Banjar

Temuan lain pada badan kapal berupa sisa-sisa peralatan sehari-hari yang tidak sesuai dengan kronologi kapal. Selain itu, bahan yang digunakan juga menunjukkan bahwa logam barumulai digunakan pada pembuatan kapal di abad ke-19 Masehi.

Dalam hubungannya dengan perkembangan teknologi metalurgi rolling plate dan profile (pelat baja dan besi siku) yang digunakan dalam pembuatan kapal baru mulai diproduksi pada permulaan abad ke-20.

Model kapal uang yang digunakan Belanda saat mengarungi perairan Sungai Barito dan Sungai Martapura. (Foto KILTV Leiden Belanda)

—————-

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa, kapal besi dari lokasi tersebut berkisar pada angka tahun 1920. Kapal tersebut merupakan sumber data yang mewakili sebuah tahapan teknologi transportasi sungai yang melibatkan adaptasi teknis fungsional dengan memanfaatkan sarana transfortasi air.

BACA JUGA : Berkat Erik Petersen, Si Kai Asing yang Membawa Jukung Borneo Mendunia

Dari sumber jurnal Hartatik, berjudul Penelitian Dan Pengembangan Situs Arkeologi Bawah Air di Kalimantan, dalam Kindai Etam Vol. 5 No.1 November 2019-Balai Arkeologi Kalimantan Selatan Pada tahun 1997 Balai Arkeologi Banjarmasin melakukan penelitian di Sungai Martapura yang terletak di Kampung Sungai Mesa, Kelurahan Seberang Mesjid, Kotamadya Banjarmasin. Penelitian ini diawali dengan adanya berita dari media dan masyarakat tentang adanya harta karun berupa mangkuk keramik, mata uang logam kuno, kepala peluru dan plat besi di kawasan jalur hijau di wilayah tersebut.

Dari informasi tersebut dilakukan peninjauan lapangan oleh tim gabungan Balai Arkeologi Banjarmasin1 dan Kanwil Depdikbud Provinsi Kalimantan Selatan. Dari hasil peninjauan di Sungai Martapura yang sedang surut tampak adanya bagian kemudi kapal, dengan bagian badan kapal diduga masih tenggelam.

BACA JUGA : Memori Ford, Jejak Sejarah Mobil Pertama di Banjarmasin

Peninjauan itu kemudian ditindaklanjuti dengan penelitian ekskavasi penyelamatan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk kapal dan hubungan temuan lepas dengan keberadaan kapal. Lebih jauh penelitian ini berupaya untuk memahami transportasi air sebagai mekanisme budaya masa lalu dan upaya penyelamatannya (Widianto 1997).

Ekskavasi dilakukan di bagian tepi sungai pada saat air surut, tetapi pada saat air pasang lokasi penelitian terendam air dengan sejumlah material yang ditinggalkan sehingga harus dibersihkan setiap akan memulai ekskavasi.

Model mesin uap yang dipasangkan di badan kapal teknologi terapan Eropa, termasuk waktu Belanda berkuasa di Hindia Belanda. (Foto Dokumentasi Mansyur)

————

Kondisi ini berlangsung setiap hari selama penelitian. Kondisi tanah berupa lumpur bercampur batuan lunak dan batang pohon yang membusuk. Dari ekskavasi dengan sistem grid ukuran 5 x 5 meter berhasil ditampakkan sisa kapal, yaitu bagian dinding berupa pelat baja/besi, buritan, kemudi kapal (rudder), tongkat kontrol kemudi, gading-gading, rantai, jangkar, dan tambang pengikat kapal.

BACA JUGA : Sungai Pembunuhan; Kisah Kekejaman Serdadu Jepang saat Duduki Banjarmasin

Bagian yang ditampakkan baru sekitar 30 persen dari bagian kapal utuh yang tenggelam. Ukuran kapal secara utuh adalah panjang 15 meter dan lebar 4 meter. Bahan pembuat kapal adalah pelat besi baja (untuk badan kapal) dan besi siku (kerangka kapal). Dari analisis diketahui bahwa kapal ini merupakan kapal tarik, tidak bermesin.

Kapal ini digerakkan dengan cara ditarik oleh kapal lain yang bermotor (tugboat). Mengingat bahwa kapal ini menggunakan pelat besi baja dan besi siku, yang baru mulai diproduksi pada awal abad ke- 20, maka usia kapal diperkirakan sekitar 75 tahun (pada tahun 1997), atau 97 tahun pada tahun 2019 ini.

BACA JUGA : Riwayat Pelabuhan Martapura Lama Era Belanda dan Jepang

Diduga kapal ini merupakan armada distribusi barang-barang antar pelabuhan atau dermaga sungai dari muara hingga pedalaman. Kapal ini dulu sengaja ditinggalkan karena tidak layak pakai. Kapal dengan konstruksi dan teknologi jenis ini merupakan satu-satunya di Kalimantan sehingga perlu diselamatkan (Widianto 1997).

Kesimpulan akhir, ada kemungkinan ada hubungan antara temuan ketel uap di lokasi Langgar Al Hinduan dengan bangkap kapal yang ditemukan tim Arkeolog tahun 1997. Pada masa Hindia Belanda tahun 1920-an sudah beroperasi sedikitnya dua kapal uap berjenis small river steamer (kapal uap kecil yang melayari sungai) berjenis boiler pipa air (water steam) dengan bahan bakar batubara. Dalam sumber gambar KITLV terdapat visualisasi kapal uap yakni Kapal Pemerintah Hindia Belanda S.S. Selaton (model stoomboot) melayari Sungai Barito tahun 1920. Kemudian kapal Negara, dengan model raderboot.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.