Menilik Kehidupan Perantauan Urang Banjar Dalam Buku Madam Dan Jarwa

0

SEBUAH buku tulisan karya Arif Rahman Hakim, yang berjudul Madam Dan Jarwa, mengisahkan sebuah kehidupan perantauan orang banjar di tanah orang.

MENGANGKAT istilah madam yang memiliki arti menetap di tempat jauh dalam perantauannya dari rumah, serta istilah jarwa diartikan sebagai Banjar Jawa yang memiliki makna mereka orang Banjar yang menetap di Jawa.

Dijelaskan Arif Rahman, dalam kegiatan bedah buku yang diselenggarakan di Taman Kamboja, Sabtu (1/7/2023) lalu, ia mengisahkan latar belakang dari adanya buku ini adalah dari pengalaman membuat tesis tentang ilmu antropologi, semasa berkuliah Pascasarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM) dulu.

“Ini berkaitan erat dengan pengalaman hidup saya, yang sering kali berpindah tempat mulai sekolah, dan akhirnya terlintas ide untuk mengangkat tema migrasi dalam tulisan saya,” ucapnya.

BACA: Ketika Lukisan Mengajarkan untuk Berpikir, Membedah Buku Estetika Sufistik Amang Rahman

Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat daerah Yogjakarta dalam tulisannya, dan akhirnya terciptalah buku berjudul Madam dan Jarwa.

“Diambilnya latar Yogyakarta karena istilah Jarwa atau Banjar Jawa ini banyak muncul di sana, serta ini adalah sebagai gambaran akan awal mulanya istilah ini di daerah Jawa yang lain,” tuturnya.

Dalam pembahasannya di buku ini juga, dirinya ingin menjelaskan dan mengangkat istilah madam yang selama ini ada, namun jarang di gunakan dan dipahami orang Banjar.

“Karena madam ini bukan benar-benar konsep yang utuh seperti merantau, yang pada intinya istilah madam di sini dibuat sebagai sebuah kerangka berpikir,” terangnya.

Dalam telaahannya, istilah madam ini tidak ada referensi yang menjelaskan kata madam ini berakar dari kata mana. “Dan dalam buku ini dicoba untuk menjelaskan, meskipun masih dalam tahap awal,” terangnya.

Sehingga nanti dalam istilah luas, madam ini bisa diterima dan diketahui, sebagai sebuah konsep berpindah tempat yang hampir sama dengan merantau namun menetap.

Sementara itu, pegiat literasi dan owner dari Rumah Alam, Noorhalis Majid mengapresiasi buku Madam dan Jarwa ini, sebab dari buku ini para pembaca dapat lebih mengetahui mengenai istilah madam ini.

“Apalagi orang-orang Banjar yang ada di perantauan sana, buku ini memberikan pengetahuan kepada kita apa perbedaan merantau dengan madam,” ucapnya.

BACA JUGA: Menginspirasi Mahasiswa, Ketika Tokoh Aktivis 98, Pius Lustrilanang Bedah Buku Aldera di Kampus ULM

Dimana meraka yang merantau ini harus kembali lagi ke kampung halaman, serta memiliki keterikatan untuk mengabdikan kembali diri di tempat asal.

“Sementara madam itu tidak, dimana tidak ada lagi niat untuk kembali karena telah menetap di suatu tempat, paling-paling pulang hanya saat hari raya atau waktu tertentu hanya untuk bersilaturahmi,” ujarnya.

Dan dia melihat ini sama dengan sebuah istilah peribahasa yang berkembang di Banjar, tentang budaya madam ini yang berbunyi: Jangan kaya (seperti) burung, Imbah (sehabis) makan terabang (terbang)’.

“Jadi kita dalam hidup itu jika merujuk peribahasa ini, semestinya di mana kita makan di situ kita hidup,” terangnya.

“Dan orang Banjar menganut paham seperti itu. Di situ dia mencari duit di situ juga dia hidup, di mana ini berbeda dengan pemikiran perantau di daerah lain. Di sinilah luar biasanya filosofi dari buku ini,” sambungnya.

Ia juga melihat, dari sinilah bagaimana betapa luar biasanya orang Banjar itu, dikarenakan kemampuan adaptifnya yang hebat, hingga memunculkan yang namanya istilah Banjar Jawa atau jarwa yang melakukan madam ini.

“Mereka akan dengan dengan cepat bisa membaur, saat sudah lama mereka di sana (Jawa) maka mereka akan dengan cepat bisa berkeseharian seperti orang lokal, seperti berbicara dan lainnya, seperti meninggalkan sisi Banjar dari diri mereka,” jelasnya.

“Dan uniknya mereka akan kembali menjadi seperti orang Banjar, jika bertemu orang Banjar yang lainnya,” tandasnya.

BACA LAGI: Penulis Muda dari Komunitas Arkalitera Bedah Buku Antologi Puisi Hajriansyah

Ikut serta dalam membedah buku Madam dan Jarwa, Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispersip) Kota Banjarmasin, Ikhsan Al Haq memberikan masukannya terhadap buku ini.

Masukan berupa revisi dan pembenaran pada beberapa tulisan dan istilah yang bisa lebih diperjelas yang ada dalam buku, agar para pembaca khususnya pembaca yang berasal dari Banjar bisa lebih mudah memahaminya.

“Dan saya agak tergelitik pada pernyataan yang dikutip dalam buku yang menjelaskan bahwa orang Banjar ini tidak mengakar seperti pohon dan mengikat dengan wilayah lain,” tuturnya.

Menurut ini adalah suatu hal yang harus dikritisi, sebab ia berpandangan orang Banjar ini tidak memiliki perasaan melekat akan identitas Banjarnya. “Padahal orang Banjar ini lebih egaliter (berperasaan sama atau sejajar) dalam hal bersosialisasi dibandingkan suku lain yang seperti Jawa contohnya, yang lebih feodal,” terangnya.

Namun dalam garis besarnya dirinya juga mengapresiasi pembahasan yang diangkat dalam buku ini, sehingga kita bisa mengetahui lebih dalam terkait istilah madam dan jarwa.(jejakrekam)

Penulis Fery
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.