Film Dokumenter Barang Panas Ajarkan Kesadaran Kritis atas Narasi Ramah Lingkungan

0

FILM dokumenter berjudul Barang Panas; Hati-Hati Kalau Mengaku Ramah Lingkungan jadi tontonan yang menuntun bagi lintas generasi.

FILM garapan Tim Indonesia Baru dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) disuguhkan di Kampung Buku (Kambuk) Banjarmasin, Jalan Sultan Adam, Banjarmasin, Minggu (30/12/2023) malam diinisasi oleh komunitas Gemar Membaca (Gembel) Bedah Buku.

Film dokumenter ini menggambarkan kondisi lingkungan Indonesia. Lewat narasi berbau kritik sosial menceritakan bahwa Indonesia sangat kaya.

“Indonesia memiliki banyak gunung, itu sebabnya geotermal banyak ditemukan di Indonesia. Geotermal atau (energi) panas bumi, 40 persen terdapat di Indonesia, 60 persen panas bumi dunia tersebar di dunia,” begitu narasinya.

BACA : Demam Film Sexy Killers Menyapa, Potret Buram Industri Batubara

Geotermal yang katanya pengganti peran batubara (lampu, listrik, bahan bakar minyak dan lainnya) digagas oleh PLN dengan narasi ramah lingkungan. Namun, faktanya lewat kajian Tim Indonesia Baru justru menemukan geotermal tidak ramah lingkungan, bahkan lebih berbahaya dari batu bara bagi masyarakat sekitar.

Film dokumenter juga menyajikan fakda data bagaimana konflik sosial terjadi terutama beririsan dengan komunitas adat seperti  di Sumatera khususnya Mandailing Natal, di Jawa di Dieng, di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sebaran lainnya di beberapa daerah di Indonesia.

Nonton bareng ini menghadirkan kembali narasi lingkungan yang menarik dalam diskusi yang cukup hangat setelah film berakhir. Beberapa peserta dengan latar komunitas yang berbeda-beda menanggapi tidak hanya persoalan wacana lingkungan dan komunitas sosial.

BACA JUGA : Asal Sesuai Aturan, Kementerian LHK Jamin Limbah Batubara Tetap Ramah Lingkungan

Wacana bahkan melebar sampai kepada persoalan diskursus film dokumenter sendiri yang akhir-akhir ini makin terasa progresif dan punya keberpihakan yang terarah di tengah estetika film dokumenter umum yang lebih objektif.

Tak hanya menyalahkan peran pemerintah, hadir juga refleksi yang kiranya penting di akhir tahun ini soal kesadaran personal dan kolektif yang semestinya dibangun secara berkesinambungan.

“Refleksi ini menjadi penting untuk menentukan arah gerak komunitas-komunitas yang ada di Kalsel atau Banjarmasin. Hal ini mengingat bahwa acara serupa yang diadakan sejauh ini baik melalui diskusi dan kegiatan semacam nonton bareng ini, dirasa tidak menggugah kesadaran yang lebih mendalam di kalangan remaja atau anak muda dalam berkontribusi terhadap perubahan sosial di daerah,” kata pemilik Kambuk Banjarmasin, Hajriansyah kepada jejakrekam.com.

BACA JUGA : Kertas Dicap Tak Ramah Lingkungan, Pemprov Kalsel Mulai Godok Pergub Green Procurement

Akhirnya, film dokumenter itu ditonton cukup banyak pasang mata hingga berakhir pada pukul 23.00 Wita. Dilanjutkan diskusi kecil yang lebih intens bagi peserta yang belum beranjak dalam kelompok yang lebih kecil.

“Bagi Kampung Buku Banjarmasin, kegiatan semacam ini menjadi refleksi akhir tahun, dengan disertai harapan bahwa iklim literasi dab berpikir kritis di tengah orang muda tetap terjaga,” kata Hajriansyah yang juga Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin ini.(jejakrekam)

Penulis Sirajuddin
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.