Dari Konkernas PWI di Banjarmasin; Harmoko Bicara Ideologi Pers, dan Soeharto Sentil Soal Iklan (2)

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

ACARA seremoni Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) pada 9-11 Februari 1981 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan berlangsung cukup bermakna dan meriah.

DIMULAI mendengarkan laporan Panitia Konkernas, sambutan-sambutan Ketua PWI Pusat Harmoko, Gubernur Kalsel Mistar Tjokrokoesoemo, dan amanat Presiden RI Soeharo di pagi harinya. Sore harinya, Konkernas dibuka Ketua PWI Pusat di Hotel Maramin (kini Hotel Grand Mentari), Jalan Lambung Mangkurat, di pusat kota Banjarmasin.

Diawali sidang pleno I berupa temu wicara dengan Dirjen Pembinaan  Pers dan Grafika Deppen H Soekarno, Ketua Umum SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) Pusat diwakili Sekjennya Zulharmans dan Ketua Umum Serikat Grafika Pers (SGP) H.G. Rorimpandey.

Disusul sidang-sidang pleno dua, tiga dan empat, diakhiri dengan widiawisata ke Kabupaten Tanah Laut di pagi hari pada 11 Februari 1981. Kemudian, rangkaian acara ditutup dengan resepsi mengesankan di malam harinya.

BACA : Perayaan HPN Tahun 1981, Tiga Even Bersejarah Di Banjarmasin Dihadiri Presiden Soeharto (1)

Pada awal pembukaan sidang pleno I, dilakukan pengheningan cipta untuk almarhum wartawan Suara Merdeka (Semarang) Mulyono (42 tahun), yang meninggal dunia hari itu, tepat pada hari ulang tahun ke-35 PWI.

Ketua Panitia Konkernas yang juga Ketua PWI Cabang Kalimantan Selatan, H Anang Adenansi, dalam laporannya menyampaikan terima kasih kepada PWI Pusat yang telah mempercayakan daerahnya menjadi tuan rumah dari serangkaian kegiatan bertingkat nasional. Dia melaporkan tentang penyelenggaraan berbagai kegiatan olahraga dalam menyambut HUT PWI ini.

Sementara itu, dalam sambutannya, Ketua PWI Pusat Harmoko mengungkapkan PWI sejak kelahirannya 35 tahun yang lalu secara sadar telah memiliki pegangan hidup yakni idealisme yang menyala sebagai pers perjuangan.

BACA JUGA : Yusni Antemas: Si Kuli Tinta, Langganan Masuk Penjara

Sebagaimana yang dialami sejarah negara republik ini, PWI dalam sejarahnya juga mengalami pasang surutnya zaman pernah digoncang goncang badai politik, diseret oleh riak gelombang liberalisme, dikoyak oleh kepentingan pergolakan dominasi PKI, bahkan hampir terlena dalam buaian ideologi asing.

“Namun PWI tetap berdiri teguh di atas ideologi Pancasila. Pers Indonesia, dewasa ini berada dalam proses pertumbuhan sebagai pers pembangunan dan bersama dengan dengan komponen-komponen masyarakat lainnya PWI berjuang melaksanakan Ampera demi pembangunan nasional,” kata Harmoko, ketika itu.

BACA JUGA : Suara Kritis Pers Perjuangan dan Menguatnya Kapitalisasi Media Massa

Harmoko mengakui, melaksanakan fungsi pers pembangunan ini memang sulit dan berat. Untuk menjadi pers pembangunan pers Indonesia dituntut senantisa mengusahakan tercipta dan terbinanya stabilitas nasional yang dinamis.

Selain itu, beber Harmono, pers nasional berkewajiban melaksanakan komunikasi timbal balik dengan cara memasyarakatkan hasil hasil pembangunan. Usai menjelaskan tentang watak pers pembangunan, di antaranya menjauhkan berita-berita bersifat desas-desus, fitnah, yang menimbulkan isu-isu negatif.

Harmoko menekankan bahwa pers juga dibenarkan melakukan kritik, sosial kontrol serta koreksi terhadap segala bentuk penyelewengan baik dalam masyarakat maupun dalam tubuh aparatur pemerintah.

BACA JUGA : Dari Buku Amuk Banjarmasin (1997) : Tragedi Kerusuhan Jumat Kelabu, Kampanye Golkar ‘Dikudeta’

“Tentunya segalanya itu dilakukan berlandaskan ketentuan ketentuan dalam kode etik jurnalistik,” ucap Harmoko, seraya mengutip ucapan Presiden Soeharto di depan para Manggala Pers di Bina Graha, 15 Februari 1979.

Soeharto pernah berkata; “Kritik tidak perlu kita ragukan lagi, jelas merupakan bagian yang terpenting dari kehidupan demokrasi dan kekuatan kemajuan yang hendak kita kejar”.

Presiden Soeharto didampingi Ibu Tien Soeharto saat meresmikan Masjid Raya Sabilal Mutadin di Banjarmasin pada tahun 1981.(Foto Dokumentasi Mansyur)

Dalam sambutan itu, Harmoko juga melaporkan kepada Presiden Soeharto tentang kehidupan pers di Indonesia yang menunjukkan titik titik cerah, tentang kemajuan yang dicapai dalam pengembangan peningkatan pers daerah melalui koran masuk desa (KMD). Bahkan, KMD dinilai oleh Harmoko telah berkembang menjadi semacam “warung informasi” yang menghidangkan pangan mental bergizi untuk mencerdaskan masyarakat.

BACA JUGA : Kritik Pemerintah Kolonial Belanda, Tokoh-Tokoh Parindra Banua pun Diganjar Penjara

Ketua PWI Pusat itu menutup sambutannya dengan mengutip sebuah pepatah yang diartikan sebagai “bercancut taliwondo, biar hancur tidak menyerah, satrya sampai akhir”. Maknanya adalah tekad dan pengabdian untuk berpartisipasi menyukseskan pembangunan bangsa dan negara.

Sementara itu, Presiden Soeharto turut memberi sambutan saat peresmian Masjid Raya Sabilal Muhtadin dan pembukaan Konkernas PWI di Banjarmasin. Bagi Soeharto, kedua momentum itu sangat penting karena mesjid dan pers kedua-duanya sebagai kekuatan penggerak pembangunan. Dan pembangunan lahir batin masyarakat itu merupakan pusat medan juang kita dewasa ini.

Presiden Soeharto menekankan tentang semangat persatuan dan kesatuan, semangat pembangunan menuju kemajuan dan keadilan, harus dikobarkan di mana-mana. Untuk ini, kata Presiden, kita semua mengharapkan peranan pers nasional. Harapan ini pantas karena pers telah tumbuh dan menempatkan diri pada posisi strategis dalam kehidupan masyarakat.

BACA JUGA : Jejak Rekam Anang Adenansi di Mata Putra Sulungnya, Anang Rosadi

“Setapak demi setapak”, demikian penilaian Presiden Soeharto, “Pers telah dapat menjadikan dirinya sebagai salah satu kebutuhan hidup manusia modern, masyarakat modern”.

“Pers sudah menunjukkan peranannya yang sangat aktif, yaitu dapat membentuk dan merubah pikiran masyarakat,” kata jenderal besar ini.

Bagi Soeharto, pikiran yang berkembang dalam masyarakat ini merupakan kekuatan besar dari suatu bangsa, karena masyarakat yang berpikiran terbuka akan melahirkan bangsa yang demokratis dan sanggup mencerna gagasan gagasan baru, yang pada gilirannya akan menjadi bangsa yang kokoh.

“Masyarakat yang berpikiran ingin maju pasti melahirkan bangsa yang kuat semangat dan kemauannya untuk membangun,” ucap Soeharto lagi. “Tidak berkelebihan kalau saya katakan, dalam beberapa hal, kekuatan dan kemampuan pers dapat melebihi pemerintah,” ujar Presiden RI ke-2 ini.

BACA JUGA : Narasi Banua dan Menjadi Banjar dari Perspektif Antropologi dan Sosiologi

Menurut Soeharto, pers yang setiap hari dengan gaya kecepatan dan penyebaran yang luar biasa, dapat menyampaikan berita dan pandangan mengenai segala kejadian di sekitar kita, di seluruh wilayah tanah air, malah di setiap penjuru dunia. Masih kata Soeharto, perasaan dan penilaian kita terhadap suatu peristiwa untuk pertama kali akan sangat dipengaruhi oleh warta berita yang disajikan oleh pers.

“Kekuatan dan kemampuan yang demikian besar itu hendaknya dan saya percaya – disadari oleh kalangan pers sendiri. Kekuatan dan kemampuan yang demikian besar tentunya harus berada di tangan orang-orang yang memiliki rasa tanggungjawab yang besar pula. Di sinilah sangat penting artinya kode etik di kalangan pers,” pesan Soeharto, ketika itu.

Demikian penting peranan pers dalam masyarakat, maka pemerintah menaruh perhatian yang besar kepada perkembangan dan pertumbuhan pers nasional kita. “Pembinaan pers merupakan bagian dari keseluruhan bangsa dan masa depan kita,” kata tokoh Orde Baru ini.

BACA JUGA : Victor Mambor; Wartawan Papua Raih Penghargaan Jurnalisme dari Yayasan Pantau

Presiden Soeharto juga mengingatkan agar pers nasional dikembangkan di atas kepribadian sendiri. Tak perlu begitu saja mencontoh kebebasan pers di negara-negara lain, yang oleh masyarakatnya sendiri mulai dipertanyakan lagi kebaikannya.

Berbicara tentang pers pembangunan, Presiden mengatakan, kita semua merasa bersyukur, di kalangan pers sendiri telah berkembang naluri untuk mengembangkan pers yang bebas dan bertanggungjawab. “Ini menunjukkan tanggung jawab pers terhadap bangsanya, masa sekarang maupun masa datang”.

Dalam hubungan dengan penghapusan siaran iklan di TVRI mulai 1 April 1981, Presiden Soeharto menegaskan, bukanlah maksud pemerintah mematikan usaha-usaha periklanan yang kini makin tumbuh.

“Pemerintah memberi kesempatan untuk mengalihkan siaran iklan ke media lain, khususnya surat kabar dengan tetap mempertahankan segi dan fungsi ideal surat kabar,” kata Soeharto.

BACA JUGA : Tok! MK Tolak Judicial Review UU Pers, PWI Kalsel : Kado Indah bagi Wartawan

Sejalan dengan semangat pemerataan, penampungan pengembangan iklan di surat kabar- surat kabar hendaknya diusahakan agar surat kabar baik pusat maupun daerah yang masih lemah periklanan nya dapat didorong untuk menyerap periklanan secara optimal sesuai dengan ketentuan yang ada.

“Dalam hubungan ini, saya berikan petunjuk agar instansi-instansi pemerintah dan perusahaan milik negara memelopori dengan mengutamakan pelaksanaannya memasang iklan pada suratkabar suratkabar yang masih lemah dan kecil periklanannya, apabila memerlukan pemasangan iklan,” imbuh Presiden Soeharto yang mendapat tepukan gegap gempita hadirin khususnya kalangan pers.

Presiden mengakhiri pidatonya dengan mengucapkan selamat kepada PWI dan seluruh anggota yang tergabung di dalamnya sambil mengharapkan agar pers nasional dapat benar-benar menjadi kekuatan yang terus menerus mengobarkan semangat persatuan dan pembangunan bangsa.

BACA JUGA : Paman Birin Dorong Media di Kalsel, Profesional dan Terverifikasi Dewan Pers

Sejak tibanya di Banjarmasin sudah tampak kesibukan yang dialami anggota-anggota Pengurus PWI Pusat dan para peserta Konkernas dalam menghadiri resepsi resepsi dan pertemuan-pertemuan (antara lain Minggu malam)

Kemudian, resepsi Walikota Banjarmasin. Ada pula, Senin malam resepsi oleh Harian Banjarmasin Post di tingkat III gedung harian tersebut. Sedangkan, di malam ketiga, diterima oleh Ketua Muspida Kalsel Brigjen Sudiman Saleh.

Gedung Radio Republik Indonesia (RRI) sebelum dibongkar dan menjadi Hutan Kota Banjarmasin di Jalan Lambung Mangkurat. (Foto Museum Lambung Mangkurat)

Minggu malam, yaitu menjelang esok harinya peresmian pembukaan Konkernas oleh Presiden Soeharto, Walikotamadya Banjarmasin Kamaruddin beserta Nyonya menyelenggarakan resepsi guna menyambut para peserta Konkernas.

Resepsi berlangsung di kediaman Walikota di Jalan Taman Sari dengan jamuan makan malam , diiringi malam kesenian daerah dan lagu-lagu Banjar. Pada acara tersebut, Ketua PWI Pusat Harmoko menyerahkan secara simbolik sejumlah buku jurnalistik kepada Walikota untuk Perpustakaan Banjarmasin disaksikan ratusan pasang mata hadirin.

BACA JUGA : Berpotensi Halangi Kemerdekaan Pers, Dewan Pers Surati Presiden Minta Penundaan Pengesahan RKUHP

Sementara, Brigjen Sudiman Saleh dalam jamuan di tempat kediamannya menyatakan rasa syukurnya, pembukaan Konkernas berlangsung dengan aman dan selamat. Hal itu membuktikan praktik lapangan dari interaksi positif tiga komponen yakni pers, pemerintah dan masyarakat di daerah ini.

Untuk ini, Ketua PWI Pusat Harmoko atas nama para peserta Konkernas mengucapkan terimakasih kepada Muspida dan seluruh rakyat Kalsel atas keikut sertaannya dalam mensukseskan Konkernas PWI ini.

“Bukti, masyarakat dan pihak pemerintah di daerah ini mulai mengerti tentang peranan dan fungsi pers,” kata Harmoko, setelahnya menyerahkan plakat PWI kepada Ketua Muspida Kalsel.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.