Parpol Pragmatis Bukan Usung Ideologis, Tradisi Perdebatan Logika Antar Tokoh Politik Ditinggalkan

0

TRADISI perdebatan ilmiah mengedepankan logika dan ideologis yang mewarnai para elite politik, khususnya dari kalangan partai politik (parpol) tak lagi sedahsyat era dulu. Kini, parpol cenderung pragmatis dalam menggaet suara pemilih.

FAKTA ini diungkap oleh Antropolog Politik FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Setia Budhi dalam diskusi bertajuk Pemilu dan Politik Keseharian dihelat Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) dan JPKP Kalsel di Restoran Lima Rasa, Banjarmasin, Sabtu (4/2/2023) lalu.

“Tradisi perdebatan antar tokoh atau elite ini sudah hilang di tataran politik Banua. Tiba-tiba yang muncul adalah figur calon baik kepala daerah atau legislatif dengan misalkan wajah ganteng atau cantik untuk memikat para pemilih, padahal kita tidak tahu isi otaknya,” tutur Setia Budhi.

Ketua Program Studi Sosiologi FISIP ULM ini bercerita di masanya, ada tokoh sentral dari Sekber Golkar seperti Anang Adenansi dengan Djohar Hamid (pendiri koran Dinamika Berita sebelum berubah jadi Kalimantan Post) serta Djok Mentaya bernama asli Huzai Junus, pencetus koran Banjarmasin Post, yang awalnya Mimbar Mahasiswa. Semua aktivis eksponen 66 ini tergabung dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) di Kalsel.

BACA : Ungkap 72 Persen Persepsi Publik Kalsel Tergoda Politik Uang, Rifqi : Bikin Politisi Baik Putus Asa!

“Mereka berdebat hebat soal nasib Banua ke depan di masa itu. Perdebatan berbobot bahkan pada tingkat adu ide, logika dan ideologis, tapi mereka tetap berkawan. Tradisi ini menghilang seiring menguatnya Orde Baru hingga memasuki masa Reformasi 1998,” kata doktor antropolog lulusan Universiti Kebangsaan Malaysia ini.

Nah, menurut Setia Budhi, jelang Pemilu 2024, tak terdengar lagi perdebatan yang membangkitkan nalar atau akar sehat di tengah para kandidat. “Jadi, kita tidak bisa tahu apa gerangan yang mereka inginkan, isi otak kepala dan pikiran mereka untuk membangun Banua ke depan,” kritik peneliti etnologi ini.

BACA JUGA : Bukan Menakuti Masyarakat, Pakar Hukum ULM Sebut Politik Uang Sumbernya dari Peserta Pilkada

Menurut dosen senior ULM ini, justru arena pertempuran diwarnai dengan menebar media seperti balho, dengan surplus kata; siapa membangun Kalsel dan seterusnya.

“Di era demokrasi yang kita banggakan sekarang, semua figur berpikir pragmatis. Jangan heran, jika ada politisi yang lompat pagar dari partai A ke partai B. Ya, karena parpol sekarang sudah tak punya basis ideologis, sehingga apa yang diperjuangkan tidak jelas,” ucap Setia Budhi.

Menurut dia, asalkan punya modal finansial bisa dengan mudah masuk dan menjadi kader parpol. Bahkan, dapat lolos di urutan jadi nomor satu sebagai calon legislatif (caleg).

BACA JUGA : Pakar Hukum ULM Sebut Politik Uang Bisa Dipakai Bayar Pemilih agar Tak Mencoblos ke TPS

“Celakanya lag, pimpinan parpol bisa meluluskan dia untuk berada di nomor jadi, padahal tidak punya basis perjuangan. Sekarang isunya, misalkan Kalimantan Selatan sebagai gerbang ibukota negara (IKN) Nusantara, atau jadi daerah penyangga atau daerah religius, mau dijadikan apa ke depan? Nyaris tak terdengar dari perdebatan para elite politik kita,” kritik Setia Budhi.

Mirisnya lagi, Setia Budhi juga menyoroti saat ini justru parpol di daerah tidak bisa berkutik karena keputusan akhir di tangan pusat (DPP). “Jadi, posisi tawar tokoh daerah juga lemah karena tergantung pusat. Saya setuju jika kita meniru pola demokrasi ala Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang menghadirkan parpol lokal,” kata Setia Budhi.

BACA JUGA : Hanya 3 Pemilu Penuhi Standar, Pakar Tata Negara ULM Sebut Parpol Sudah Tak Demokratis

Dia bercerita di era kolonial Belanda hingga memasuki masa kemerdekaan RI, justru ada namanya Dewan Banjar yang otonom dan bisa mengatur secara mandiri daerah, meski akhirnya tergilas sejarah.

“Begitu Hassan Basry, sebagai tokoh Banua tercium pusat melirik ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), padahal merupakan kader Golkar, akhirnya karier politik beliau dihabisi oleh pemerintah pusat,” kata aktivis pemberdayaan masyarakat ini.

Menurut Setia Budhi, belajar dari perjalanan sejarah serta jejak demokrasi di Banua, ke depan Kalsel harus bisa melahirkan tokoh-tokoh yang masuk tataran nasional.

BACA JUGA : Figur Habib dalam Pusaran Politik Kalsel yang Ternyata Lebih Menjual

“Disayangkan pula, ternyata perjuangan tokoh-tokoh Kalsel yang ada di nasional itu bersifat individualistis, tidak membangun jaringan atau punya jejaring. Ya, beda dengan tokoh-tokoh dari etnis Bugis, Minangkabau, Batak, atau Aceh,” sentil Setia Budhi.

Faktanya, menurut dia, ketika ada pernyataan dari tokoh Kalsel yang berkiprah di politik nasional memicu kontroversi, membuat jagat publik Banua ribut. Bahkan, berujung pada hujatan.

BACA JUGA : Pemilih Pragmatis, Harga Kursi Parlemen di Banjarmasin Terbilang Mahal

“Untuk itu, Pemilu 2024, masyarakat Kalsel harus cerdas dan melek politik. Jangan memilih karena fotonya menarik, justru mungkin ada oligarki di belakangnya. Saya setujui dalam melawan politik uang, ada statement ambil duitnya jangan coblos orangnya. Namun, harus lebih dipertegas lagi jangan ambil duit dan pilih orangnya, itu yang terbaik,” ujar tokoh Hapakat Bakumpai ini.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.