Hanya 3 Pemilu Penuhi Standar, Pakar Tata Negara ULM Sebut Parpol Sudah Tak Demokratis

0

PEMILIHAN Umum (Pemilu) sejatinya menjadi instrumen untuk agenda perubahan politik dan pergantian kekuasaan secara beradab, terhormat dan terencana. Amanat ini diperjuangkan pasca Reformasi 1998, usai tumbangnya hemegoni Orde Baru.

IRONISNYA, justru dalam perjalanannya, even kontestasi lima tahunan itu tidak sesuai dengan harapannya

Fakta ini diungkap pakar hukum tata negara Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dr Mohammad Effendy dalam diskusi publik bertajuk Pemilu dan Politik Keseharian helatan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin dan JPKP Kalsel di Restoran Lima Rasa, Banjarmasin, Sabtu (4/2/2023).

“Dari hasil kajian, hanya ada tiga pemilu di Indonesia yang memenuhi standar. Yakni, Pemilu 1999 dengan segala kelemahannya pasca Reformasi usai tumbangnya Orde Baru,” papar Effendy.

BACA : Jangan Utamakan Popularitas, Ini Catatan Antropolog ULM bagi Parpol Pengusung Caleg Pemilu 2024

Mantan anggota KPU Kalsel ini menyebut pemilu paling standar adalah Pemilu 2004. Saat itu, beber Effendy, masyarakat khususnya para pemilih bisa menikmati suasana reformasi yang murni dalam gelaran pemilu kedua.

“Berlanjut pada Pemilu 2009 masih memenuhi standar, meski sudah mengalami penurunan (kualitas). Ternyata, semakin ke depan, justru pemilu kita terus mengalami penurunan signifikan,” tutur Effendy.

Mantan Dekan Fakultas Hukum ULM ini menyebut elemen pemilu pertama adalah partai politik (parpol). Dalam kajian ilmiah, Effendy mengungkapkan sebagian besar parpol belum mencerminkan sebuah parpol modern.

BACA JUGA : Ungkap 72 Persen Persepsi Publik Kalsel Tergoda Politik Uang, Rifqi : Bikin Politisi Baik Putus Asa!

“Parpol juga belum menjadikan dirinya sebagai instrument demokrasi. Utamanya, mendorong demokrasi dengan nilai-nilainya,” kata doktor hukum lulusan Universitas Padjadjaran (Undap) Bandung ini.

Ambil contoh, beber Effendy, saat kongres, muktamar atau musyarawah nasional (munas) parpol tidak lagi berjalan sesuai rulenya. Hal ini menjadi masalah serius yang dialami parpol sebagai pilar demokrasi.

“Begitupula, calon-calon yang diusung parpol, bisa kita saksikan sekarang. Inilah mengapa penting bagaimana kita merenungkan perilaku politik parpol dalam kesehariannya,” ujar peneliti demokrasi ini.

BACA JUGA : Bukan Menakuti Masyarakat, Pakar Hukum ULM Sebut Politik Uang Sumbernya dari Peserta Pilkada

Effendy mengatakan parpol justru membiarkan para calonnya mencari logistik sendiri demi bersiap diri menghadapi pemilu berikutnya.

“Begitu pula, dalam pengambilan keputusan parpol tidak lagi berada di jajaran pengurus daerah, tapi sudah ditentukan oleh pimpinan pusat. Dalam hal ini, posisi ketua umum sangat dominan, sehingga tidak bisa dibantah jajarannya di bawah,” beber Effendy.

BACA JUGA : Bangun Kesadaran Politik, Uhaib Beber Kuatnya Cengkeraman Oligarki di Pesta Pilkada Kalsel

Dalam kamus Effendy, justru reformasi telah gagal memberi pilihan bagi rakyat berbasis program. Dirinya tidak pernah mendengar ada calon legislatif (caleg) atau calon kepala daerah yang mengusung social justice (keadilan sosial), nilai-nilai human right (hak asasi manusia) hingga penegakan hukum.

“Ambil contoh, saat banjir besar melanda Kalsel, beberapa waktu lalu, lagi-lagi ada statement dari kepala daerah termasuk dari pejabat pusat menyebut akibat cuaca ekstrem. Termasuk, anggota DPR RI, termasuk DPD RI di Senayan Jakarta, tak membantah pernyataan itu, padahal fakta di lapangan bukan itu masalahnya,” beber Effendy.

BACA JUGA : HMI Banjarmasin Ajak Generasi Milenial Berani Lapor Indikasi Politik Uang ke Bawaslu

Akademisi yang juga pernah mengikuti training di Utrech University Belanda, New Castile Australia dan University Manila, Filipina mengungkapkan saat UU Cipta Kerja (Ominibus Law) diprotes publik, justru wakil rakyat khususnya dari Kalsel tidak memberi tanggapan, seakan tanpa bersalah atas hal itu.

“Ini belum lagi soal putusnya poros jalan negara di Satui, Tanah Bumbu. Tidak ada suara dari DPRD Provinsi Kalsel, padahal mereka adalah wakil rakyat kita di parlemen,” kritik Effendy.

Soal pembagian kue pembangunan bersumber dari uang rakyat dari APBN maupun APBD, Effendy mengatakan juga sulit untuk dibedakan mana kepentingan untuk rakyat atau justru pesanan dari para ketua umum parpol.

BACA JUGA : Pilkada Serentak 2020, Pemuda Muhammadiyah Banjarmasin Tegaskan Sikap Anti Politik Uang

“Banyak kebijakan publik pemerintah justru tidak memihak kepada rakyat. Ini problema serius yang dialami Indonesia, termasuk Kalsel,” kata Effendy.

Soal penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Effendy juga menilai telah terjadi degradasi. Seperti dalam proses rekrutmen tidak mempertimbangkan kapasitas anggota penyelengara yang patutnya memahami norma-norma kepemiluan.

“Sepatutnya, penyelenggara pemilu itu menjadi narasumber parpol. Jadi, KPU dan Bawaslu itu bisa menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh parpol,” kata Effendy.

Tak mengherankan, Effendy mengatakan hal itu memunculkan tiga strata di tengah masyarakat. Yakni, masyarakat kelas bawah yang tidak mengenal pemilu.

BACA JUGA : Seperti Gunung Es, Pengamat Desak Bawaslu Kalsel Tegas Soal Praktik Politik Uang

“Mereka baru kenal kalau pemilu itu mendatangkan rezeki (politik uang). Kalau sudah selesai, ya sudah. Mereka tidak pernah mempersoalkan siapa pun calonnya, yang penting berapa mereka bisa terima (uang). Sedangkan, di sisi calon justru ramai-ramai membagikan berbagai bingkisan atau hadiah untuk dipilih. Anehnya, calon yang hanya berdiam di rumah, bisa terpilih di pemilu, aneh memang,” kata penulis buku dan jurnal demokrasi ini.

Effendy mengatakan pada strata masyarakat menengah justru berada di area abu-abu. Kadang-kadang redup, kadangkali terang dalam bersikap politik.

“Terakhir adalah strata masyarakat atas. Justru, mereka tidak pernah mempersoalkan masalah pemilu. Mereka hanya mempersiapkan kontrak politik dengan para calon. Inilah gambaran ke depan jika tidak diperbaiki, maka bangsa ini menuju kehancuran. Ini jadi tanggung jawab kita bersama,” pungkas Effendy.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.