Pakar Hukum ULM Sebut Politik Uang Bisa Dipakai Bayar Pemilih agar Tak Mencoblos ke TPS

0

RIBUT-ribut soal politik uang (money politic) makin memanaskan tensi pertarungan babak kedua antara kubu petahana, Sahbirin Noor-Muhidin (BirinMu) versus Denny Indrayana-Diftriadi Darjat (H2D) di pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Kalimantan Selatan pada Rabu, 9 Juni 2021 nanti.

PAKAR hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Dr Mohammad Effendy menegaskan politik uang sebenarnya bukan hanya memilih salah satu paslon dengan imbalan uang atau iming-iming benda lainnya.

“Politik uang itu juga bisa berbentuk meminta agar calon pemilih tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dengan imbalan uang atau benda lainnya. Ini juga bisa terjadi dalam pilkada,” ucap Effendy dalam ngobrol santai gelaran Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin dihadiri sejumlah aktivis, akademisi dan pegiat media serta praktisi politik di Rumah Alam Sungai Andai, Jumat (28/5/2021).

Menurut dia, dengan membayar para calon pemilih agar tidak mencoblos ke TPS juga merupakan politik uang, sehingga dengan begitu partisipasi pemilih rendah. Terutama, para pemilih yang akan memilih lawan politik.

BACA : Spanduk Bernada Sindiran Politik Uang Bertebar Jelang PSU, Simak Respons Bawaslu Banjarmasin

Mantan komisioner KPU Provinsi Kalsel ini mengakui selain di Banjarmasin Selatan, pertarungan sengit justru akan tersaji antara kubu BirinMu dengan H2D di Kabupaten Banjar, khususnya Martapura.

“Dengan ketertinggalan suara yang mencapai 20 ribu lebih, tentu kubu BirinMu akan menggerakkan massa pemilihnya agar berbondong-bondong datang ke TPS. Sedangkan, kubu lawannya tentu berbalikkan, menekan agar angka partisipasi pemilih rendah saat PSU,” tutur Effendy.

Mantan Dekan FH ULM Banjarmasin ini menegaskan berbeda dengan politik uang yang membayar pemilih agar memilih salah satu kandidat. Justru, membayar para calon pemilih agar tak mencoblos lebih mudah dideteksi, karena dalam setiap TPS itu sudah diketahui daftar pemilih tetap (DPT), sehingga akan terlihat siapa saja yang tak menggunakan hak pilihnya.

“Jauh lebih mudah bagi tim sukses paslon untuk melacaknya, dibandingkan dengan politik uang membayar para calon pemilih menggunakan hak suaranya untuk salah satu paslon,” papar Effendy.

BACA JUGA : Spanduk Bernada Sindiran Politik Uang Bertebar Jelang PSU, Simak Respons Bawaslu Banjarmasin

Menurut dia, PSU yang dijalankan di Kalsel ini memang mengacu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), soal derajat curang atau tidaknya dalam perhelatan Pilgub pada Rabu, 9 Desember 2020 lalu, dapat dibaca pada fakta yang terungkap di persidangan.

“Bandingkan dengan PSU Pilwali Banjarmasin, justru MK hanya memutuskan digelar di tiga kelurahan. Sedangkan, PSU Pilgub Kalsel dihelat di 7 kecamatan di tiga daerah (Banjarmasin, Kecamatan Binuang, Tapin dan sebagian kecamatan Kabupaten Banjar),” tutur Effendy.

Selama menjadi komisioner di KPU Kalsel, Effendy tak memungkiri kebanyakan permasalahan soal pilkada maupun pemilu selalu terjadi di Kabupaten Banjar. Ia pun menegaskan tak mengherankan jika MK memutuskan PSU lebih banyak digelar di Kabupaten Banjar terdiri dari Kecamatan Sambung Makmur, Martapura, Astambul, Aluh-Aluh dan Mataraman.

“Ini juga harus jadi perbaikan kita ke depan, terkhusus di wilayah Kabupaten Banjar karena kerap bermasalah. Inilah mengapa penyelenggara pilkada atau pemilu harus benar-benar memberi atensi khusus ke daerah ini,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Rahm Arza
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.