Terkendala Pembentukan Pansus di DPRD Banjarmasin, Revisi Perda Ramadhan Terancam Gagal

0

JELANG kedatangan bulan suci Ramadhan, keberadaan peraturan daerah (perda) yang melarang segala aktivitas berbau warung, restoran dan lainnya buka di siang hari bulan puasa selalu jadi perhatian publik.

PERDA Ramadhan, begitu namanya terbilang sudah dua kali direvisi. Sejak diterbitkan pada 2003 dikasih nomor 3, kemudian direvisi kembali lewat Perda Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 tentang Larangan Kegiatan pada Bulan Ramadhan.

Eksistensi belied ini pun kerap jadi perhatian akademisi untuk melakukan riset. Seperti kalangan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin serta Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), STIH Sultan Adam di tataran lokal.

Ada pula, pada 2019, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB) dimotori Dr Faisal dan rekannya pada Desember 2019 melaporkan hasil kajiannya.

BACA : Perda Ramadhan Dicabut? Harus Tahu Dulu Historisnya

Maklum saja, Perda Ramadhan khas Kota Banjarmasin, yang sebelumnya juga hadir di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan tergolong merupakan perda syariah. Bahkan, perda ini kerap disandingkan dengan tingginya pelanggaran, khususnya terkait dengan hak asasi manusia (HAM) dan toleransi keberagaman umat beragama.

Saban memasuki bulan Ramadhan, perda ini pun kerap jadi perdebatan pro-kontra. Terutama, saat aparat penegak perda dikomando Satpol PP Kota Banjarmasin merazia warung, restoran, depot dan lainnya. Terlebih lagi, di Banjarmasin, ada tradisi unik saban bulan Ramadhan, hadir ‘warung sakadup’, tempat makan-minum yang hanya ditutupi dengan bentangan kain saat siang puasa.

BACA JUGA : Perda Ramadhan atau Sakadup Condong Elitis, LK3 Banjarmasin Setuju Direvisi dengan Catatan

Bagaimana nasib Perda Ramadhan untuk revisi ketiga di tangan Pemkot bersama DPRD Kota Banjarmasin?

Kepala Bagian Hukum Setda Kota Banjarmasin, Jefrie Fransyah mengakui pada awal Januari 2023 lalu, sempat diusulkan pembentukan panitia khusus (pansus) oleh DPRD Kota Banjarmasin, namun gagal.

“Saat ini, kami masih menunggu agenda pembentukan pansus oleh DPRD Kota Banjarmasin. Utamanya, mencabut Pasal 33 dalam Perda Nomor 13 Tahun 2003 berisi larangan kegiatan selama bulan Ramadhan,” ucap Jefrie Fransyah kepada jejakrekam.com, usai mengikuti penyuluhan pencegahan korupsi bersama Kejari Banjarmasin di Hotel Rattan Inn, Banjarmasin, Kamis (9/2/2023).

Kepala Bagian Hukum Setda Kota Banjarmasin, Jefrie Fransyah. (Foto Ferry Oktavian Hidayat)

BACA JUGA : Sudah 17 Tahun, Perda Ramadhan Segera Direvisi, Ketua Bapemperda DPRD Hanya Manggut-Manggut

Keterlambatan pembentukan pansus dikhawatirkan Jefrie, bisa mengancam rencana revisi Perda Ramadhan. Terlebih lagi, bulan suci yang diwajibkan bagi umat Islam berpuasa itu tinggal hitungan bulan saja.

Jefrie tak memungkiri Perda Ramadhan masuk dalam ‘gerbong’ usulan produk hukum daerah yang jadi perdebatan panjang di kalangan fraksi di DPRD Kota Banjarmasin. Termasuk, usulan penyertaan modal untuk PT AM Bandarmasih dan Perumda PAL Domestik Kota Banajrmasin.

“Ada rencana dari DPRD Banjarmasin untuk menggelar rapat paripurna ulang pada Senin (20/2/2023). Ya, kami menunggu saja. Kami berharap bisa secepatnya dibahas sehingga bisa selesai,” kata Jefrie.

BACA JUGA : Dinilai Langgar HAM, Berumur 15 Tahun, Perda Ramadhan Banjarmasin Jadi Objek Penelitian Hukum

Sebagai pengaju raperda, Jefrie menyebut jika Perda Ramadhan ini tuntas dibahas dan menjadi produk hukum daerah, maka perda itu akan digantikan dengan Peraturan Walikota (Perwali) Banjarmasin.

“Pengajuan raperda juga harus menempuh berbagai tahap. Termasuk, menunggu anggaran. Kami berharap sebelum bulan Ramadhan, perda ini sudah bisa direvisi,” katanya.

Menurut Jefrie, usulan untuk merevisi Perda Ramadhan sudah digaungkan sejak tahun 2022 lalu. Kini, bola bergulir di tangan dewan.

BACA JUGA : Tuntut Perda Ramadhan Dihapus, Massa HMI Ditemui Ketua DPRD Banjarmasin

“Jika Perda Ramadhan dicabut akan digantikan dengan Perwali Banjarmasin. Karena lebih fleksibel, jika terjadi perubahan. Tidak seperti perda, untuk mengubah atau merevisi membutuhkan waktu dan tahapan yang panjang,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Fery Oktavian
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.