BPJS dan Nalar Gagal Pelayanan Publik

0

Oleh: Kadarisman

INSTRUKSI Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022  tentang Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengoyak hak warga negara sebagai pemilik kedaulatan sebenarnya.

BAGAIMANA tidak, upaya menekan rakyat  agar ‘bayar’ BPJS kesehatan sebagai syarat  mendapatkan haknya dalam pelayanan publik adalah mendistorsi dari tujuan bernegara. 

Pemerintah terlalu berpikir kapitalis dengan menjadikan pelayanan publik sebagai  bargaining dalam menyokong belum optimalnya kinerja BPJS kesehatan. Berpemerintahan dengan menggunakan pendekatan seperti ini menunjukkan ketumpulan berpikir penguasa dalam memenuhi janji-janji politiknya dan dalam menjalankan pemerintahan.

Kebijakan ini sebagai jalan pintas yang mendegradasi tujuan negara yang dikhidmatkan untuk pemilik kedaulatan sejati, rakyat itu sendiri. Birokrasi publik tidak seharusnya menjalankan instruksi kekuasaan yang melawan kewajibannya  yang bertanggung jawab untuk memberikan pelayananan kepada rakyat.

BACA : Polemik BPJS Tengah Jadi Sorotan, Ombudsman Kalsel Sarankan Layanan Diperbaiki

Pelayanan publik oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan pemerintah kepada masyarakat merupakan amanah negara untuk menciptakan kondisi yang menjamin bahwa warga masyarakat dapat melaksanakan kehidupan mereka secara wajar, dan ditujukan juga untuk membangun dan memelihara keadilan dalam masyarakat. (Rasyid, 1998)

Rasyid mengatakan bahwa pemerintahan pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk  melayani masyarakat.

BACA JUGA : BPJS Ketenagakerjaan Komitmen Rangkul Seluruh Pekerja

Sungguh sangat tidak relevan hanya gara-gara belum mampu menjadi peserta BPJS kesehatan lantas tidak dapat diberikan layanan membuat SKCK, SIM dan STNK.  Lama laun, jika ini terjadi tanpa ditolak akan merembet ke sektor pelayanan yang lebih mendasar lagi.

Karena itu yang harus digenjot pemerintah adalah bagaimana masyarakat dapat terlayani sebagai peserta BPJS sebagaimana janji-janji penguasa dengan kartu saktinya. Kartu sakti itu perlu diingatkan. Mana Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Sembako Murah yang saat ini sangat relevan diketengahkan di keadaan meroketnya harga minyak goreng di negara penghasil sawit terbesar dunia.

BACA JUGA : Kembali ke Zaman baheula, Antrean Mengular di Loket BPJS RSUD Ulin Banjarmasin Dikritik

Hal yang perlu ditekankan adalah bagaimana pemerintah di daerah dapat memberikan layanan tanpa pandang bulu untuk seluruh masyarakatnya mengakses BPJS kelas III. Penekanan ini sangat masuk akal dan tidak mengibiri hak publik dalam mendapatkan pelayanan negara. Pasalnya, Pemerintah Kota Balikpapan sudah melakukan itu. Semua warganya diberikan pelayanan BPJS gratis kelas III.

Selain Balikpapan, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo juga menerapkan itu kepada masyarakatnya. Kenapa hal ini menjadi konsen? Bupati  Sidoarjo Ahmad Muhdlor mengungkapkan, urusan kesehatan merupakan pelayanan kebutuhan dasar dan pemerintah harus memenuhi kebutuhan itu.

BACA JUGA : Harapan Hukum Kedokteran dan Kesehatan Vs Oligarki Politik dan Finansial

Tak usah jauh-jauh,  di Hulu Sungai Utara (HSU), Amuntai, kabupaten di Kalimantan Selatan yang banyak kehilangan sumber pendapatan asli daerah (PAD) pasca hilangnya pemasukan dari tambang juga menerapkan itu. Hal itu yang seharusnya jadi penekanan. Penguasa diberikan mandat oleh rakyat agar  menghadirkan solusi kreatif untuk rakyat, bukan sebaliknya.

Jadi, menjadikan kepesertaan BPJS kesehatan sebagai syarat mendapatkan hak pelayanan publik di sektor tertentu adalah nalar gagal dalam pelayanan publik.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik Banua

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.