Menguji Kecantikan Perempuan Bakumpai (Bagian Pertama)

0

Oleh: Nasrullah

Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP ULM
Sedang Mengikuti Tugas Belajar di S3 Antropologi UGM

“Di antara para wanitanya, sering kali kita menemukan kecantikan sejati”
(Onder hunne vrouwen treft men dikwijls ware schoonheden aan).
–CALM Schwaner, 1854–

KOTA Bahalap (Barasih, Harum, Langkar dan Pantas) sejak lama menjadi julukan Marabahan sebagai ibukota kabuaten Barito Kuala. Namun, jika mengacu dari kekaguman orang asing terhadap orang Bakumpai di masa lalu, maka kata bahalap bukan sekedar akronim tetap sebagai kata berasal dari bahasa Bakumpai yang berarti cantik.

Atas klaim bahalap (cantik) ini, saya mendapatkan kesempatan menguji pendapatan peneliti asing tentang kecantikan perempuan Bakumpai ketika membahas buku Cerita Rakyat Bakumpai terbitan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2023 yang disusun oleh Kasmuddin.

Buku tersebut terdiri dari 12 cerita mini dilengkapi terjemahan bahasa Indonesia yang memiliki alur cerita lurus tidak bercabang atau berbelok dan tidak bersambung. Di dalamnya terdapat sembilan cerita yang memuat tentang perempuan adalah

(1) Datu Mayang Sudam; (2) Si Gantang dan Si Supak; (3) Asal Mula Lebu Jingah Hantarawang (Asal Mula Kampung Jingan Terbang); (4) Patih Bahandang Balau dengan Datu Sadurung Malan; (5) Wangkang Sang Panglima; (6) Mang Raja Haji dengan Kambe (Hantu); (7) Asal Mula Aran Banua Gusang (Asal Mula Kampung yang Terbakar); (8) Supak, Gantang dengan Tuan Putri; (9) Datu Yujung dengan Datu Tak Silu.

Kekaguman Peneliti Asing
Kembali kepada peneliti asing tersebut, jika sebelumnya pendapat Schwaner dikutip pada sisi streotife negative tentang orang Bakumpai antara lain sebagai orang culas, suka menipu dan berkelahi yang dikutip (Sjamsuddin, 2014:51-52).

Sebaliknya dari sumber yang sama, saya mendapatkan catatan yang lebih menarik. Schwaner (1854:75) menulis kekagumannya tentang perempuan Bakumpai bahwa „De Bakompaijers zijn goed en fraai gebouwd, met innemende, niet sterk geteekende, meestal volle gelaatstrekken, en van eene ligte kleur.

Onder hunne vrouwen treft men dikwijls ware schoonheden aan. Een bijzonder sieraad bestaat in het lange, zwarte en met zorg onderhondene hoofdhaar. In hunne kleeding zijn zij zendlijk en smaakvol, en kiezen bij voorkeur levendige kleurun.

“Saya menggunakan Google Translate mendapatkan terjemahan (Orang Bakumpai berbadan tegap dan indah, dengan ciri-ciri wajah yang Smenawan, tidak mencolok, biasanya penuh, dan berwarna cerah. Di antara para wanitanya sering kali kita menemukan kecantikan sejati. Ornamen khusus terdiri dari rambut kepala yang panjang, hitam dan terawat rapi. Dalam pakaiannya mereka ceria dan berselera tinggi, dan lebih menyukai warna-warna cerah).

Berdasarkan pandangan Schwaner (1854:75) itulah, saya kemudian tertarik untuk melihat bagaimana perempuan Bakumpai ditampilkan baik dari sisi kecantikannya atau hal lain melalui cerita rakyat Bakumpai sendiri. Namun sebelum sampai ke situ, soal kecantikan perempuan ini juga telah diceritakan pengelana asing tetapi tidak hanya pada orang Bakumpai, yakni pada orang Banjar oleh Kapten Daniel Beeckman dalam sub judul Kesultanan Banjarmasin 1714.

Para wanitanya bertubuh mungil. Tetapi bentuknya indah, dengan penampilan dan warna kulit yang lebih baik daripada para pria. Mereka berjalan dengan postur agak tegak, melangkah dengan sangat luwes, mengangkat jari kaki mereka, berkebalikan dengan kebanyakan orang Indian.

Saya yakin ini adalah kebiasaan yang dipaksakan terhadap mereka yang terbiasa berjalan pada batangan kayu yang mengapung di sungai yang menghubungkan rumah mereka satu persatu (Beeckman, 2013:97-98).

Dari kekaguman Beeckman untuk menggambarkan perempuan secara alami dengan kemampuan berjalan kaki dari hasil adaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Hal itu jauh sekali jika dibandingkan gambaran perempuan Banjar dalam lagu populer Banjar, misalnya Siti Ropeah urangnya bahenol ujar orang jua biar tuha asal bakarul.

Siti Ropeah nang awak mungkal sekali senggol hati tapuntal. Lebih jauh eksploitasi keseksian perempuan dalam lagu Siti Ropeah ini menggunakan istilah ganal burit (pantat besar) dan talihat pusat (terlihat pusat) untuk menampilkan bagian-bagian tubuh tubuh tertentu yang sering membangkitkan hasrat (Nasrullah, 2018:296).

Agaknya lagu ini tidak mendapat respon negatif dari masyarakat, padahal jika dibandingkan dengan lagu Paris Barantai yang menurut Anang Ardiansyah, pengarang lagu itu sendiri, bahwa pada masanya lagu itu kontroversial di masyarakat yakni pada bait “tangan ka dada, hidung ka pipi“ (tangan ke dada, hidung ke pipi) (Nasrullah,2018:295).

Perempuan (Bakumpai): Manusia dan Makhluk Gaib

Kembali kepada perempuan dalam cerita Rakyat Bakumpai. Cerita Rakyat berasal dari memory kolektif masyarakat setempat yang apa saja bisa terjadi. Itulah sebabnya perempuan dalam cerita rakyat ini menampilkan dua kategori perempuan yakni pertama dari bangsa manusia.

Tersebutlah nama Datu Mayang Sudam, Uma Supak dan Gantang, Datu Sadurung Malan, Si Bungsu, Tuan Putri, dan Taksilu. Kategori kedua, perempuan dari bangsa jin atau makhluk gaib adalah Bawi Penunggu Bukit dan Uma nakuluh.
Menariknya perempuan dari bangsa Manusia dan Makhluk Gaib ada yang tidak disebutkan nama sebenarnya atau menggunakan panggilan saja yakni pada perempuan dengan status sebagai ibu hanya disebut uma.

Hal ini mungkin terpengaruh pada kebiasaan orang Dayak khususnya orang Bakumpai untuk tidak langsung menyebut nama orang tua baik orang tua laki-laki dan perempuan. Namun hal ini juga terjadi pada penyebutan anak perempuan yakni Si Bungsu dan Tuan Putri.

Kebiasaan orang Bakumpai untuk tidak menyebutkan nama asli seorang anak dan diganti misalnya untuk perempuan bawi, diyang, atau kepada laki-laki sebagai yatak, tak atau atak. Demikian pula penyebutan si Bungsu adalah menunjukkan anak pada urutan terakhir dan Tuan Putri menunjukkan status sosial dari kalangan darah biru.

Lain halnya, pada perempuan dengan status sebagai adik dengan jelas disebutkan nama yakni Datu Sadurung Malan dan Taksilu.
Saya mencoba menerka alasan tidak disebutnya nama-nama perempuan gaib, yakni Bawi Penunggu Bukit yang kemudian menjadi istri kedua Panglima Wangkang ketika bertapa di Hulu Barito dan Uma.

Boleh jadi dalam kepercayaan masyarakat Bakumpai nama-nama makhluk Gaib hanya diketahui orang tertentu saja sebab dikhawatirkan jika disebutkan berarti mengundang kehadiran makhuk gaib tersebut.
(Bersambung)

Catatan : Artikel ini merupakan pengembangan dari presentasi dalam acara Sungai Barito dalam Diskusi Dua Buku: Cerita Rakyat dan Jelajah Sungai Menyapa Alam Barito yang diselenggarakan Dewan Kesenian Barito Kuala di Marabahan, Rabu, 7 Februari 2024.(*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.