Kebijakan Jokowi yang Mengejutkan di Awal Tahun 2022

0

Oleh : Ahmad Zaki

ADA yang menarik dari pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-49 PDI Perjuangan di Jakarta.

ORANG nomor satu di Indonesia ini mengeluarkan kebijakan untuk menyetop ekspor bahan mentah nikel. Sebelum disetop nilai ekspor bahan mentah nikel hanya sekitar Rp 25 triliun. Kini, sudah mencapai USD 21 miliar atau jika dikonversikan sekitar Rp 280 triliun untuk nilai ekspornya. Sebab, saat ini, Indonesia hanya mengekspor bahan setengah jadi dan barang jadi.

Atas dasar itu, Presiden Jokowi menyatakan akan menyetop ekspor bahan mentah nikel ini. Belied ini akan diikuti dengan moratorium ekspor bahan mentah mineral lainnya seperti bauksit, tembaga, timah dan emas. Dasarnya, hilirisasi industri dan industrialisasi akan terus ditingkatkan. Apalagi, sejak zaman VOC-Belanda selalu mengirim bahan-bahan mentah atau raw material ke luar negeri.

BACA : Kebijakan Pelarangan Ekspor Batubara Dinilai Rugikan Pengusaha

Dengan adanya kebijakan baru itu ditaksir bisa menghasilkan nilai tambah komoditas ekspor. Bahkan, membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Hilirisasi bahan-bahan ekstraktif ini akan berdampak pada kemandirian bangsa di dunia internasional.

Penyetopan ekspor ini tidak hanya bahan mentah mineral. Sebab, di era Presiden Jokowi juga sudah dimulai pelarangan ekspor batubara ke luar negeri dengan terbitnya surat dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Nomor : B-1605/MB.05/DJB.B/2021, tanggal 31 Desember 2021 dan berlaku efektif terhitung dari 1 Januari 2022 hingga 31 Januari 2023.

Larangan ekspor ini diambil sebagai langkah awal agar terpenuhinya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik dalam negeri. Pasalnya, bila pasokan batubara berkurang, akan berdampak pada pasokan listrik dari 10 juta pelanggan PLN di pulau Jawa dan luar pulau Jawa.

BACA JUGA : Saingi Batubara, Nilai Ekspor Pertanian Kalsel Tahun 2021 Capai Rp 10,5 Triliun

Selama ini, para pengusaha ditengarai lebih mementingkan ekspor dibanding kebutuhan dalam negeri sendiri. Atau istilahnya, DMO (Domestic Market Obligation) yang mewajibkan para pelaku usaha batubara minimal memasok 25 persen dari total produksi batubara untuk kebutuhan dalam negeri. Hal ini sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021.

Adanya kebijakan ini jelas membikin para pengusaha batubara tergoncang. Dengan ditutupnya keran ekspor ke luar negeri, jelas berdampak signifikan. Apalagi, harga batubara dunia melonjak naik per 6 Januari 2022. Kenaikannya cukup drastis saat ini dengan harga 196,5 dolar Amerika Serikat per metrik ton. Bahkan pemerintah Jepang mengirim surat kepada pemerintah Indonesia untuk bisa mengimpor batubara kalori tinggi.

BACA JUGA : Ekspor Batubara Kalsel Turun Imbas Perang Dagang Tiongkok-AS

Sebab, kebutuhan energi bersumber dari batubara untuk Negeri Matahari Terbit itu per bulan mencapai 2 juta ton. Tentu saja, sebuah permintaan yang begitu menggiurkan bagi pengusaha ‘emas hitam’ ini, karena pangsa pasarnya jelas dan nyata. Artinya, tidak hanya pengusaha saja yang tergoncang, tetapi dunia internasional pun kaget dibuat Presiden Jokowi dengan adanya kebijakan penyetopan ekspor batubara ini.

Kebijakan Jokowi menyetop batubara ini sangat tepat untuk kebutuhan dalam negeri. Hal sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Semoga keputusan ini tidak hanya berlaku sementara. Tentu harapan besarnya adalah kebijakan penyetopan ekspor batubara dan kekayaan alam Indonesia bisa diberlakukan selamanya. Hal ini penting, agar kekayaan alam Indonesia bisa dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat seluas-luasnya menuju kemakmuran dan kesejahteraan.

BACA JUGA : Eksploitasi Gila-Gilaan, Deposit Batubara Kalsel Diprediksi Habis pada 2030

Selaras dengan pencabutan izin konsesi kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) per tanggal 5 Januari 2022, tercatat ada 192 unit perizinan/perusahaan seluas 4.126.439 hektare.

Keputusan yang diambil ini Menteri LHK pula pasti menuai kontroversi dari berbagai kalangan yang berkepentingan dengan dunia pertambangan ini. Dengan asumsi bahwa perusahaan kecil akan kembali terjun bebas seperti di masa-masa awal pandemi.

Sementara bagi perusahaan besar juga terkena imbas dengan adanya permintaan dari luar negeri yang begitu besar saat ini. Di sisi lain, mereka tidak bisa melakukan pengiriman komoditas ekspor untuk industri ekstaktif itu. Jelas, ujung-ujungnya akan mengemuka alasan bagaimana membayar gaji karyawan atau dalih lain sebagainya.

BACA JUGA : Harga Batubara Dunia Melonjak 202 Persen, Nilai Ekspor Kalsel Naik Drastis

Semoga kebijakan awal tahun ini tidak hanya kepentingan politik sesaat saja. Tentu sebagai rakyat Indonesia sangat mengharapkan kebijakan ini dipermanenkan. Tujuannya semata-mata agar para pengusaha lebih berempati dan mengutamakan kebutuhan dalam negeri Indonesia daripada luar negeri.

Sekarang saatnya Presiden Jokowi membuktikan lebih berpihak rakyat dan bangsa Indonesia. Sebab, Presiden Jokowi adalah milik seluruh rakyat Indonesia,  tanpa ada tekanan dari oligarki, dan memberikan legacy terhadap anak dan cucu nantinya.

Baru saja ingin mengucapkan mendukung penuh kebijakan Presiden Jokowi ini tentang penyetopan eskpor. Ternyata, kabar mengejutkan datang dari pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengenai diperbolehkannya kembali beberapa perusahaan batubara untuk ekspor ke luar negeri. Hal ini bisa dikutip dari berbagai media online seperti kontan.co.id per 10 Januari 2021.

BACA JUGA : Selain Batubara dan Sawit, Ini Produk Andalan Ekspor Kalsel ke Berbagai Negara

Apakah kebijakan yang ada ini hanya untuk perusahaan skala besar saja? Mereka mendapat dispensasi atau diperbolehkan. Sedangkan, pengusaha kecil tidak diperbolehkan ekspor, karena terkendala dengan kewajiban DMO tersebut.

Kalau benar adanya ini, seperti ketidakadilan bagi pengusaha untuk mencari sesuap nasi. Hal ini bisa diartikan pula bahwa perusaahan besar itu adalah oligarki yang diduga membelenggu Presiden Jokowidi. Hasilnya, keputusan nasional ini terkesan seperti kebijakan yang plin-plan.(jejakrekam)

Penulis adalah Koordinator Forum Intelektual Muda

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.