Banjir, Agenda Tahunan yang Tak Dirindukan

0

Oleh : Masrah

BANJIR sepertinya tidak pernah berhenti menjadi agenda tahunan ketika memasuki musim hujan di daerah Kalimantan Selatan seperti saat ini.

KETIKA meningkatnya intensitas hujan yang terus menerus menjadi kami merasakan was-was akan naiknya debit air sungai yang akan menyebabkan banjir. Kekhwatiran kami ini bukan tanpa alasan, karena dalam jangka waktu lima tahun ini setiap memasuki musim hujan maka debit air sungai akan meningkat bahkan naik sehingga terjadi banjir.

Tahun 2020 kemarin tepatnya tanggal 7 Februari 2020 kami mengalami banjir. Tahun ini,  Januari 2021 banjir ternyata luar biasa parah karena hampir seluruh Kabupaten di Kalimantan Selatan tergenang air. Bahkan sampai sekarang memasuki bulan Februari daerah ibu kota propinsi masih ada daerah mengalami banjir sampai sekarang.

Walaupun di daerah kabupaten Tabalong tempat kami tinggal untuk tahun ini tidak separang tahun 2020 kemarin. Tapi tetap saja masih merasakan was-was, karena intensitas curah hujan masih deras dalam beberapa waktu ini.

Dulu banjir menjadi agenda tahunan yang sering kita lihat di pulau Jawa dan Ibukota Negara Jakarta. Tapi sekarang pulau Kalimantan yang kita tahu memiliki hutan yang sangat luas ternyata sekarang menjadi langganan banjir setiap tahunnya.

Mengapa Semua Itu Bisa Terjadi?

Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat faktor: curah hujan; air limpahan dari wilayah sekitar; air yang diserap tanah dan ditampung oleh penampung air; dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar.

Dari semua itu, hanya curah hujan yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Tiga faktor lainnya sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia, termasuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Karena itu dalam bencana banjir, tidaklah bijak jika malah menjadikan curah hujan sebagai kambing hitam.

BACA : Putusan PTUN Banjarmasin Inkracht, Pemprov Kalsel Wajib Segera Pasang Alat EWS Banjir

Curah hujan hanya satu dari empat faktor. Tiga faktor lainnya sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan. Degradasi lingkungan, di hulu dan hilir, juga di Daerah Aliran Sungai (DAS) berpengaruh besar atas terjadinya bencana banjir dan memperbesar skala dampaknya.

Persoalan tutupan lahan hingga semakin berkurangnya efektivitas DAS juga menjadi faktor lain yang memperburuk musibah banjir. Akibatnya, ketika memasuki musim hujan, banjir tidak bisa dihindari.

Menurut analis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tutupan lahan berupa hutan telah hilang di wilayah Kalsel. Akibatnya, ketika hujan deras mengguyur wilayah Kalimantan Selatan selama 10 hari berturut-turut, DAS Barito tidak mampu lagi menampung air hujan sehingga meluap dan menyebabkan terjadinya banjir bandang. Secara keseluruhan, jumlah lahan yang menyusut di wilayah tersebut mencapai 322 ribu hektare. Di lain sisi, perluasan area perkebunan terjadi cukup signifikan yaitu seluas 219 ribu hektare (Asiatoday.id, 18/1/2021).

BACA JUGA : Korban Banjir Menang di Pengadilan, Walhi Minta Gubernur Kalsel Segera Laksanakan Perintah PTUN

Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini.

Menurut dia, Kalsel berada dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Sebabnya, dari total wilayah seluas 3,7 juta hektare di Kalsel, sebanyak 50 persennya sudah dialihfungsikan menjadi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.

Kisworo menjelaskan, tata kelola lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di Kalsel sudah cukup rusak dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan yang tidak memadai.

Hal ini didukung data laporan 2020 yang mencatat, terdapat 814 lubang tambang di Provinsi Kalsel milik 157 perusahaan batubara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi (Lokadata.id, 19/1/2021).

Semua ini tidak akan lepas dari peran para pengambil kebijakkan ketika mereka menyetujui dan menandatangani ekploitasi sumber daya alam yang tanpa memikirkan dampak. Kolusi dari para penguasa dan oligarki.

Kondisi Saat Banjir dan Pasca Banjir

Bencana banjir yang terjadi ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah di Kalimantan Selatan. Daerah yang paling parah adalah daerah Kabupaten HST (Hulu Sungai Tengah), Kabupaten Tanah Laut Kabupaten Banjar dan Banjarmasin. Menyisakan banyak peristiwa yang membuat miris dan menyesakkan dada kita melihat kondisi korban banjir.

Pada saat musibah banjir yang terjadi di HST (Hantakan, Barabai) mereka yang mengalami banjir bandang yang menghancurkan rumah mereka. Ditambah lagi putusnya jalur transportasi ke sana, sehingga banyak yang mengalami kelaparan. Bantuan dari masyarakat banyak tapi hanya bisa menjangkau daerah yang bisa dijangkau bagian daerah perkotaan.

BACA JUGA : Banjir Melanda, Walhi Sebut Bukti Kalsel Sudah Darurat Bencana Ekologis

MasyaAllah, bantuan terus mengalir dari orang-orang yang peduli kepada saudaranya yang terkena musibah. Bahkan untuk menjangkau daerah yang jalannya terputus karena banjir sulit ditempuh dengan kendaraan bermotor para relawan berjalan kaki.

Pasca banjir beberapa hari setelahnya, terjadi keresahan masyarakat bahkan ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat terkena musibah banjir, tetapi yang tidak mengalami  musibah pun mengalami. Yaitu terjadinya kelangkaan BMM dan naiknya harga-harga barang ekonomis karena kelangkaan barang tersebut.

Menyikapi Bencana

Bagi seorang mulim yang meyakini bahwa bencana atau musibah merupakan ketetapan atau qadha’ Allah SWT (QS at-Taubah [9]: 51). Tak mungkin ditolak atau dicegah.

Sebagai ketetapan (qadha’)-Nya, musibah itu harus dilakoni dengan lapang dada, ridha, tawakal dan istirja’ (mengembalikan semuanya kepada Allah SWT) serta sabar (QS al-Baqarah [2]: 155-157).  Orang berakal akan menjadikan sikap sabar sebagai pilihan dalam menyikapi bencana/musibah.

Selain itu juga kita juga harus menjadikan renungan. Setiap bencana yang terjadi pasti melibatkan peran manusia. Allah SWT berfirman:

Musibah apa saja yang menimpa kalian itu adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dosa-dosa kalian) (TQS asy-Syura [42]: 30).

BACA JUGA : Enam Titik Wilayah Banjir Bandang Terparah, Cerita Perjuangan Relawan di Pegunungan Meratus

Sehingga kita harus semakin sadar bahwa banjir terjadi tidak semata-mata karena tingginya curah hujan. Tetapi ada peran tangan manusia yang menyebabkan kerusakan ekosistem alam. Siklus hidrologi mengalami gangguan karena kerusakan hutan dan hilangnya daerah resapan air.

Di sinilah kita semakin menyadari dan semakin sadar bahwa kalau kita bersikap masa bodoh dengan persengkokolan antara penguasa dan pengusaha, maka semua musibah akan kita rasakan bersama-sama.

Dalam Islam cerminan pemimpin ditengah rakyat adalah seperti perisai dan pengembala. Bagaimana seperti kata khalifah Umar r.a.: “kalau rakyatku kelaparan maka aku orang yang pertama mengalaminya, apabila rakyatku kekenyangan maka aku orang terakhir merasakannya”. Apakah sudah seperti itu pemimpin kita dan orang-orang yang diberi amanah untuk mengurusi urusan rakyat?  Wallâh a’lam bi ash-shawâb.(jejakrekam)

Penulis adalah Pendidik di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.