Bekas Luka Korban Kekerasan Perempuan dalam Lukisan Kelinci Karya Dhea

0

BERBEDA dengan karya sejawatnya, pelukis muda perempuan, Dhea Qistina asal Banjarmasin itu menuangkan buah pikiran dan goresan tangannya dalam karya berjudul Hidden Scars atau bekas luka yang tersembunyi.

INI mengingatkan dirinya mewakili kaum hawa, Dea Qistina pun melukis dengan gaya pop art dengan simbol-simbol kekerasan seksual yang terjadi terhadap siapa saja.

“Sisi lain kan, ada bentuk kekerasaan seksual yang terlihat secara fisik. Namun, ada juga yang secara mental tidak terlihat atau tersembunyi. Lalu di situ simbol luka sebenarnya,” ucap Dhea penuh ambisi kepada jejakrekam.com, beberapa waktu lalu.

Kemudian, Dhea mewarnai yang cerah lebih luas dan penuh warna itu karena beralasan hidup mereka (kaum perempuan) tidak lepas dipengaruhi lingkungannya.

“Dunia sosial kita kan, tidak menerima seperti itu. Kalau ada korban kekerasan seksual, selalu dituduh memang salah kamu!,” kata Dhea.

BACA : Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Meningkat di Pertengahan Tahun 2021

Simbol hewan kelinci yang nempel di kepala perempuan bertopi itu, Dhea memaknainya binatang pengerat itu kerap dianggap sebagai hewan birahi. “Karena reproduksinya lebih cepat,” ujar perempuan kelahiran 2001 itu.

Di sisi foto perempuan bertopi oren, terdapat bayangan perempuan sedang duduk termangu dan menangis. Dalam raut wajah yang dilukisnya, Dhea membagi dua sisi perempuan tengah tersenyum dan menangis.

“Air mata yang berdarah itu sebagai simbol kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan,” ungkapnya.

Adapun dengan latar background yang dipenuhi tumbuhan bunga matahari, Dhea memiliki kepribadian yang cukup menyentuh tentang simbol ini.

“Secara pribadi, ulun (saya) perlu butuh waktu yang lama dengan orang-orang di sekitar. Yang bilang bahwa, oh sudah ceriakah sekarang dan penuh berwarna, hingga sampai ada kawan yang menyebut seperti bunga matahari,” papar Dhea.

BACA JUGA : Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Banjarmasin Banyak Tak Tuntas

Dirinya merasa penuh emosional setiap kali memberikan sentuhan kuas untuk divisualisasikan ke atas kanvas. Dhea bilang, kerap dirinya menangis kala melukis karya ini.

“Secara emosional ini butuh setengah bulan, dalam proses mengerjakan itu kerap menangis, jeda beberapa menit ingin melanjutkannya. Menangis lagi,” ungkap Dhea.

Karya lukisan muda Kalsel saat ditampilkan di Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, beberapa waktu lalu. (Foto Rahim Arza)

Dia sampai bikin hipotesis kondisi sosial, apabila korban kekerasan seksual berani speak up atau berbicara tentang kisahnya. Dhea bilang seberapa peduli atau simpatik terhadap dirinya?

“Bekas luka yang ada, dan tangisan yang ada. Apakah lebih mudah mereka menarik simpati? Daripada itu menutup-nutupinya dengan embel-embel cantik,” tukasnya.

BACA JUGA : Banjarmasin Raih Predikat KLA dan APE, Walikota Ibnu Sina : Setop Kekerasan Anak dan Perempuan

Lain lagi dengan Muhammad Ramadhani. Dirinya membuat lukisan berjudul Topeng Pohon Sejarah dengan cat akrilik di atas kanvas berukuran 60×80 cm.

Dia memadukan pohon dengan wajah seseorang yang bernuasa muram agak sedih, lalu dengan bingkai puzzle berwarna kuning dengan garisan abstrak.

“Ini ide sepintas yang kubuat, tidak jauh dari manusia yaitu tentang pohon. Persamaan manusia dengan pohon itu dekat, hampir sama dan serupa. Tanpa pohon, manusia kesulitan. Simbolnya seperti manusia, pohon itu bersilsilah. Asal muasal sejarah pohon dari kisah awal tentang manusia,” ucap Ramadhani.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/tag/dhea-qistina/
Penulis Rahm Arza
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.