Teliti Kain Sasirangan, Ketua DK Banjarmasin Sesalkan Motif Klasik Sarigading Tak Diterapkan Optimal

0

KETUA Dewan Kesenian (DK) Kota Banjarmasin, Hajriansyah tertarik untuk menggali lebih jauh motif kain sasirangan yang terus berkembang seiring tuntutan zaman.

SEBAGAI pelukis, Hajriansyah mengungkapkan lukisan di atas kain bagi sebagian orang memang menjadi hal penting. Ini karena fungsinya bukan hanya sebagai penutup aurat, tapi juga identitas sebuah kebudayaan tempatan.

“Motif-motif kain yang berkembang merupakan hasil dari akulturasi atau asimilasi yang panjang. Bukan sekadar hiasan yang nyaman dipandang mata,” ucap Hajriansyah kepada jejakrekam.com, Minggu (3/10/2021).

Menurut dia, ada narasi sosial dan budaya yang melekat pada ornamen yang dilukis di atas kain. Motif bahkan memiliki makna simbolik dan bisa jadi sakral bagi sebagian pemangku budaya.

Apa itu motif? Hajriansyah menjelaskan bahwa motif adalah gambar pada keseluruhan atau kesatuan ornamen (hiasan), yang bisa jadi berupa pola tertentu dalam bentuk perulangan atau sekadar gambar utama tunggal yang mendominasi hiasan.

“Motif ramak sahang, misalnya, sejauh ini belum ada penggambaran yang jelas tentangnya. Yang diaplikasikan pada kain sasirangan yang dipamerkan pada kegiatan jalur rempah beberapa waktu lalu,” ucap Hajriansyah.

BACA : Banjarmasin Sasirangan Festival ke-5 Diproyeksikan Mampu Gaet Wisatawan

Seniman jebolan ISI Yogyakarta ini mengutip buku karya budayawan Banjar, Syamsiar Seman berjudul ‘Sasirangan Kain Khas Tradisional Banjar’.

“Ternyata, saat dikonfirmasi ke beberapa pengrajin, gambarnya beda. Saat ditelusuri ke asalnya pada kain sarigading yang ada di Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru, justru hasilnya lain lagi, atau jauh dari gambaran yang dibayangkan sebelumnya,” tutur Hajriansyah.

Motif Kain Sarigading yang menjadi model awal kain sasirangan tersimpan di Museum Lambung Mangkurat Bnajarbaru. (Foto Hajriansyah)

Owner Kampung Buku Banjarmasin ini menyebut justru motif-motif baru lahir dan berkembang. Sementara, motif-motif lama atau lawas pada kain sasirangan malah tak terdokumentasikan secara baik.

“Sebenarnya, buku yang ditulis Syamsiar Seman telah menggambarkan polanya, Sementara aplikasinya pada kain hasilnya bisa bias karena teknik pengerjaan yang beda-beda tangan,” kata Hajriansyah.

Dalam kesimpulannya, Hajriansyah mengatakan belum ada bentuk klasik penerapannya pada kain sasirangan yang optimal. “Bisa pula, karena penelitian saya yang belum terlalu jauh, baru sekadar observasi sepintas pada sedikit objek yang diteliti,” aku penyair ini.

BACA JUGA : Boyong Dua Piala Silat Budaya, Kain Sasirangan Raih Penghargaan Internasional

Hajrianyah berujar dirinya sebenarnya ingin menyeriusi hal ini. Hanya saja, selalu waktu yang menjadi kendala. “Mungkin nanti setelah bertahun-tahun dan minat saya tak terlalu jauh bergeser. Semoga saja, saya bisa menghasilkan sebuah buku besar tentang sasirangan,” imbuhnya.

Untuk diketahui, sasirangan merupakan kain adat dalam kultur budaya etnis Banjar, Kalimantan Selatan. Sasirangan berasal dari dua kata ‘sa’ yang berarti satu dan ‘sirang’ berarti jelujur, berdasar proses pembuatannya, dijelujur, disimpul hingga dicelup untuk pewarnaan yang memiliki arti sakral dalam sejarah awal pembuatannya.

Dikutip dari cerita rakyat (sahibul hikayat) serta Hikayat Banjar yang disadur Johanes Jacobus Ras, profesor emeritus bahasa dan satra Jawa asal Universitas Leiden, Belanda, diceritakan pada abad 12 hingga 14, di masa Kerajaan Negara Dipa yang berpusat di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, di kala Patih Lambung Mangkurat bertapa 40 hari 40 malam di atas lanting hingga larut ke muara Sungai Negara.

Tetap di Kota Bagantung (kini Rantau, Kabupaten Tapin), sang patih ini mengakhiri masa tapanya, setelah berjumpa dengan seorang wanita di atas pusara air yang dikenal dengan Puteri Junjung Buih. Nah, di atas lanting itu, Patih Lambung Mangkurat menggunakan kain sasirangan sebagai media tapanya dan dipercaya orang pertama yang menggunakan kain sakral ini.

BACA JUGA : Langgundi, Tenun Sarigading di Bawah Bayang Sasirangan

Dari situ akhirnya, kain sasirangan pun menjelma menjadi kain pamintaan atau permintaan. Ya, ketika orang mengidap penyakit tertentu, maka kain sasirangan diyakini menjadi media penyembuh. Tak mengherankan, jika warna sasirangan memiliki nilai historis dan magis bagi sang pemakainya karena digunakan untuk batatamba atau pengobatan.

Dalam tradisi Negara Dipa diteruskan Negara Daha, hingga berdirinya Kesultanan Banjar di bawah komando Pangeran Samudera yang bergelar Sultan Suriansyah, kain sasirangan mendapat tempat yang terhormat dalam tutus raja-raja Banjar.

Warna kuning yang menghiasi kain sasirangan itu menyimbolkan atau digunakan untuk pengobatan penyakit kuning atau kena wisa atau racun dalam tradisi Banjar. Kemudian, sasirangan hijau untuk proses penyembuhan penyakit lumpuh (stroke), warna ungu untuk media penyembuhan penyakit perut seperti disentri, kolera dan diare. Lalu, warna merah digunakan untuk sakit kepala atau insomnia (sulit tidur).

BACA JUGA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Sedangkan, warna hitam dipercaya untuk mengobati penyakit kulit gatal-gatal dan demam. Selanjutnya, coklat menjadi identitas bagi penyembuhan penyakit tekanan jiwa atau stres.

Beragam warna sasirangan ini juga dipengaruhi bahan baku alami yang dipakai seperti kuning dihasilkan dari temulawak dan kunyit, hijau dari jahe dan daun pudak, ungu dari biji buah gandaria (ramania), merah dicomot dari buah mengkudu, lombok merah, gambir atau kesumba (sonokeling).

Sedangkan, warna hitam dari uar atau kabuau (buah khas pedalaman Kalimantan), serta coklat yang diambil dari kulit buah rambutan atau uar.Seiring waktu dengan kekayaan pola pikir dan budaya, akhirnya kain pamintaan ini pun memiliki motif yang penuh makna filosofis sendiri. Hewan, tumbuhan serta objek yang ada di alam semesta menjadi inspirasi pembuatan motif kain sasirangan.

Secara garis besar, ada 18 motif sasirangan yang menjadi pakem dalam budaya Banjar. Seperti motif bayam raja yang merupakan atribut sesorang yang bermartabat dan dihormati masyarakat. Lalu, motif kambang kacang yang menggambarkan simbol keakraban.

Berikutnya, daun jaruju yang mengandung unsur tolak bala, tampuk manggis yang bermakna kejujuran karena buah tropis yang digelar pangeran buah ini antara isi buah dan bagian kulit bisa diketahui dengan jelas. Kemudian, ada motif mayang maurai yang berarti mayang terurai yang digunakan untuk acara bamandi-mandi (mandi-mandi) dalam tradisi adat Banjar bagi wanita yang telah hamil tujuh bulan.

BACA JUGA : Memori dari Benang Lawai dan Kain Pipintan

Dari cerita rakyat Banjar (folkler), naga balimbur pun yang menggambarkan seorang naga sedang mandi di tengah sungai di pagi hari dan berjemur di bawah terik mentari diwujudkan dalam motif kain sasirangan. Motif selanjutnya adalah ramak sahang yang berarti hancur merica menggambarkan motif hiris pundak ganda, dengan gambar tak senyawa atau terputus.

Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarmasin, Hajriansyah (Foto Istimewa)

Lalu, motif daun katu yang akrab dengan sayur berkuah khas Banjar digunakan bagi ibu-ibu yang sedang menyusui. Motif sasirangan lainnya adalah bintang sudut ampat, lima, tujuh atau gugusan bintang alias bintang bahambur yagn menggambarkan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa dengan bintang yang menghiasi langit semesta.

Dari kue khas Banjar bernama gagatas pun akhirnya mengilhami pembuatan motif sasirangan bernama hiris gagatas yang berarti cantik atau tak pernah bosan untuk terus dipandang. Begitupula, sekuntum bunga yang bernama kambang sasaki pada ornamen arsitektur rumah adat Banjar pun juga menghiasi motif sasirangan. Tumbuhan jamur atau cendawan yang hidup di alam bebas pun dijadikan motif sasirangan yang bernama kulat karikit. Motif ini menggambarkan hidup yang harus mandiri dan tahan menderita tanpa merugikan orang lain.

BACA JUGA : Bubuhan di Era Kesultanan Banjar, Diberi Gelar Pembekal, Kiai hingga Andin (2-Habis)

Ikan khas air tawar rawa-rawa dan sungai di Kalimantan Selatan bernama haruan pun dijadikan motif. Nah, gigi haruan (ikan gabus) ini menjadi motif yang menggambarkan ketajaman berpikir dan paling populer dalam seni mewarnai kain sasirangan. Kemudian, ada pula hiris pudak yang mengadopsi keharuman daun pandan dijadikan motif selanjutnya. Begitupula, hewan yang cerdik dan mitologi bernama ular lidi pun dijadikan motif sasirangan dengan cirri khas garis melengkung serta bervariasi.

Motif selanjutnya adalah kangkung kaumbakan. Dalam kain sasirangan, motif semacam ini digambarkan kankung yang terkena ombak diwujudkan dalam seni menjulur di atas kain putih dan diwarnai sebagai simbol tahan terhadap cobaan atau ujian dalam mengarungi hidup.

Masih bertema ombak bernama ombak sinampur karang pun dijadikan motif sasirangan yang berarti bahwa dalam perjuangan hidup manusia pasti akan menemui ombak atau ujian.

Terakhir adalah dara mangingang yang dalam tradisi kultur Banjar, seorang gadis selalu disebut galuh yang dulu masih menginang atau memakan siring dengan campuran gambir hingga air liurnya memerah dan menetes dari bibirnya.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2021/10/04/teliti-kain-sasirangan-ketua-dk-banjarmasin-sesalkan-motif-klasik-sarigading-tak-diterapkan-optimal/,model kamban sarigading
Penulis Rahim/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.