Dampak Budaya Pemindahan Ibukota Negara

0

Oleh : Y.S. Agus Suseno

MESKIPUN Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) dan para pihak terkait lainnya menyambut positif rencana pemindahan Ibukota Negara ke Kabupaten Penajam, Paser Utara, dan Kabupaten Kutai Kertanegara — Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) — sebagai praktisi budaya saya menolak: tidak setuju dengan rencana itu.

DENGAN tujuan meningkatkan perekonomian, dengan penuh suka cita Pemprov Kalsel menyambut baik rencana pemindahan Ibukota Negara itu, tanpa mempertimbangkan dampak budaya yang menyertainya; yang berpotensi merampas hak asasi manusia (HAM) penduduk lokal dan masyarakat adat untuk hidup bermartabat.

Penduduk lokal dan masyarakat adat dimaksud bukan hanya Suku Dayak di Kaltim, tapi juga di Kalsel. Suku Dayak di Kaltim dan Dayak Meratus di Kalsel kini sebagian bahkan telah menjadi minoritas yang dizalimi dan dikebiri penguasa dan pengusaha lokal, nasional maupun multinasional (industri pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit) di tanah tumpah darahnya sendiri.

Dengan dijadikannya dua kabupaten tersebut sebagai Ibukota Negara, kondisi penduduk lokal masyarakat adat ke depan akan makin memprihatinkan.

BACA : Kalsel Pintu Gerbang Ibukota Negara, Intakindo Tingkatkan Kualitas Keahlian Anggota

Sebelum ditetapkan sebagai Ibukota Negara saja, misalnya, Suku Dayak di Kaltim telah menjadi minoritas, populasinya menempati urutan kesekian (setelah Jawa, Bugis, Banjar). Kondisi sosial dan budaya Suku Dayak di Kaltim kini tak jauh beda dengan Dayak Meratus di Kalsel.

Saya tidak membicarakan tentang dan, apalagi, mempersoalkan kesukuan (etnosentris). Bagaimanapun juga, Pancasila dan bhinneka tunggal ika adalah filosofi bangsa dan negara yang telah diterima dan disepakati bersama.

Persoalannya: sebelum dua kabupaten di Kaltim itu ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara, mengapa RUU Masyarakat Adat (RUU MA) hingga kini belum disahkan? Ada kepentingan apa (dan siapa) di baliknya?

Meminimalisir kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM dan dampak budaya negatif lainnya akibat pemindahan Ibu Kota Negara, RUU MA mestinya segera diselesaikan. Jika tidak, bukan mustahil kelak terjadi konflik sosial dan konflik etnis: mayoritas akan menindas minoritas secara sosial, budaya, ekonomi dan pelanggaran HAM lainnya — seperti yang dialami suku-suku Indian di Amerika Serikat.

Segelintir warga Kalsel tampaknya setuju dengan rencana pemindahan Ibukota Negara itu. Konon, kelak, budaya dan bahasa Banjar (bahasa pergaulan di sebagian penduduk Pulau Kalimantan) akan mendominasi (seperti halnya bahasa Betawi di DKI Jakarta).

BACA JUGA : Tinjau Perbatasan Kaltim-Kalsel, Supian HK Ingin Pintu Gerbang ke Ibukota Negara Dipermak

Siapa berani menjamin? Harap diingat: urang Banjar/penutur bahasa Banjar di Kaltim menempati peringkat kesekian (setelah penutur bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Bugis dan bahasa Dayak). 2

Urang awak (Minangkabau, Sumatera Barat) punya kearifan lokal yang telah diterima sebagai prinsip dasar bangsa Indonesia dalam menyikapi perbedaan: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” — urang Banjar punya peribahasa, “Urang baik tu nang saraba rasuk; saraba sadang: duduk sadang, badiri sadang.” Jika tak bisa menyesuaikan diri, siapa pun dan dari manapun dia berasal (bahkan dari komunitas budaya suku di Pulau Kalimantan sendiri) akan “Saraba santuk: duduk santuk, badiri santuk.”

BACA JUGA : Tak Perlu Hunus Mandau, Perlawanan Masyarakat Dayak Bisa Melalui Buku

Saya membayangkan, kelak (semoga tidak terjadi), jika pemindahan Ibu Kota Negara tetap dilaksanakan, akan terjadi gegar budaya (culture shock) dan tragedi kemanusiaan lainnya terhadap penduduk lokal dan masyarakat adat di Pulau Kalimantan (Kaltim, Kaltara, Kalsel, Kalteng, Kalbar): persis yang dialami etnik Betawi, seperti gambaran film Si Doel Anak Betawi.

Sebagai penutup, saya akan membacakan puisi:

Y.S. Agus Suseno

JANGAN KAU TIPU KAMI, JAKARTA

Jangan kau tipu kami, Jakarta

Jangan kau jadikan sapi perah belaka

Kalian perdayai kami semaunya

Kau harus ingat sejarah

Perjanjian Linggarjati 25 Maret 1947 menyatakan

hanya Pulau Jawa, Madura dan Sumatera Republik Indonesia

Tapi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan

Tanggal 17 Mei 1949 memproklamasikan:

Kalimantan bergabung dengan Republik Indonesia

Bukan Jakarta yang menentukan

Pendahulu kamilah yang memutuskan

Demi cita-cita bersama sebagai bangsa

Negeri merdeka yang sejahtera

Puluhan tahun usia Republik Indonesia

Cita-cita negeri merdeka yang sejahtera hanya mimpi belaka

Jumlah kami memang tak sebanyak penduduk Pulau Jawa

Tapi Kalimantan pulau terbesar ketiga di dunia 3

Kalau jumlah penduduk yang kau hitung

Selamanya nasib kami akan buntung

Bagaimana dengan sumber daya alam kami

yang kau kuras sejak dahulu hingga kini?

Mengapa kau tak tahu balas budi?

Jangan kau tipu kami, Jakarta

Jangan perdayai kami selamanya

Sudah banyak yang Kalimantan berikan untuk Indonesia

Tapi yang kau kembalikan sedikit saja

Kepala daerah kami raja-raja kecil belaka

Mereka anak buah penguasa dan pengusaha di Jakarta

Wakil rakyatnya juga

Kau mesti tahu, Jakarta

Rakyat Kalimantan takkan diam

Bara api dalam sekam (jejakrekam)

Penulis adalah Seniman dan Budayawan Kalsel

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2020/12/15/dampak-budaya-pemindahan-ibukota-negara/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.