Tak Perlu Hunus Mandau, Perlawanan Masyarakat Dayak Bisa Melalui Buku

0

KETIKA tanah adat dirampas, ekosistem lingkungan rusak, masa depan warga adat semakin terancam, tidak ada pilihan lain, kecuali melawan.

LAUNG Bahenda adalah gerakan menggunakan ikat kepala kuning sebagai bentuk perlawanan dan kehendak kolektif akar rumput untuk menolak yang datang merusak lingkungan. Kisah militansi orang Dayak Bakumpai dalam mempertahankan tanah adatnya dari serbuan perkebunan skala besar.

Buku ini sebenarnya hasil riset. Menggunakan metode autoetnography, bentuk penelitian kualitatif, dimana dalam melakukan kegiatan, mulai dari meneliti hingga analisis data, penelitinya sendiri terlibat langsung pada apa yang diteliti.

BACA : Gerakan Laung Bahenda, Sebuah Perlawanan Simbolik dan Kearifan Dayak

“Jadi saya terlibat langsung. Sebagai peneliti, sekaligus pelaku dari peristiwa itu. Awalnya saya melihat respon masyarakat di kampung saya, atas masuknya perkebunan kelapa sawit. Dari respon itu kemudian saya menuangkan berbagai rencana secara tertulis, semata-mata agar lebih terukur,” kata Nasrullah, mengawali cerita Gerakan Laung Bahenda di Palidangan Noorhalis, RRI Banjarmasin, Kamis (16/4/2020).

Antropolog FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin ini menceritakan warga sudah berulang kali melakukan aksi menghentikan aktivitas perusahaan, tapi setelah aksi berhenti, perusahaan jalan lagi.

“Betul bahwa perusahaan memiliki izin HGU, namun izin tersebut hanya menyangkut urusan dengan pemerintah. Urusan dengan masyarakat tidak pernah selesai. Bagi kami masyarakat, soal sawit ini, jangankan ganti rugi, ganti untung saja  tidak mau, karena sama sekali tidak memberikan harapan dan masa depan bagi masyarakat,” papar intelektual muda Bakumpai ini.

BACA JUGA : Moratorium Sawit, 12 Protokol Masyarakat Adat Dayak Perlu Diperjuangkan

Nasrullah mengisahkan melalui aksi yang disusun, kemudian ke DPRD Barito Kuala  melakukan sharing informasi, audiensi, berdiskusi dengan menyampaikan sejumlah data.

“Gerakan kami tidak destruktif, hanya dengan kata-kata dan pena. Paling-paling sesekali menahan alat berat agar tidak beroperasi, selebihnya berdiskusi pada banyak pihak,” ucapnya.

“Memang prosesnya sekarang belum sampai pada kata putus. Masih terus berproses, tapi hsailnya, desa kami tidak digarap oleh perusahaan,” kata Nasrullah lagi.

Buku berjudul Gerakan Laung Bahenda ditegaskan Nasrullah adalah sebuah bentuk sikap tegas jika warga Dayak Bakumpai khususnya di Desa Jambu Baru, Kecamatan Kuripan, Batola menolak keras ekspansi perkebunan sawit.

“Ingin tahu alasan kami, silakan baca buku ini. Bagi kami, buku merupakan senjata baru bagi orang-orang Dayak. Tidak lagi dengan menghunus mandau, namun sekarang sudah dengan buku. Syukurnya atas terbitnya buku ini banyak yang merespon dan memberikan dukungan,” papar magister antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Menurut Nasrullah, sebelum menuangkan pengalaman dan risetnya ke dalam buku, dirinya beberapa kali terlibat dalam riset konflik.

“Dari pengalaman tersebut, saya berharap, di kampung saya jangan sampai terjadi konflik sebagaimana di tempat lain yang sudah saya pelajari, terutama terkait sumber daya alam. Kalau sampai terjadi konflik, akan banyak korban,  masyarakat akan dirugikan, dan tujuan belum tentu tercapai,” tuturnya.

Nasrullah bercerita buku yang ditulisnya secara akademik masuk kategori serius, terutama sebagai buku antropologi. Bisa dilihat pada halaman referensi, sekalipun tipis, tapi buku ini referensinya ada 5 halaman.

“Ada banyak pendapat ahli dan teori yang saya rujuk, menggambarkan bahwa secara teoritik benar-benar dikaji,” urai Nasrullah.

BACA JUGA : Adu Argumen, Warga Jambu Baru Tetap Tolak Sawit Masuk ke Desa

Akademisi Fakultas Kedokteran ULM, Dr  Lyta Permatasari menilai buku Gerakan Laung Bahenda ini sangat diperlukan, baik oleh akademisi untuk menjadi bahan ajar dan penelitian lanjutan.

“Tentu saja juga diperlukan bagi masyarakat, sebagai refleksi bersama perjuangan suatu kelompok masyarakat. Tulisan dalam buku ini menggambarkan komunikasi yang saling tersambung antara penulis dengan masyarakat,” ucap Lyta.

Ia menjabarkan poin dari perjuangan ini adalah mempertahankan lahan gambut. Suatu bentuk pemberdayaan.

“Menjadi istimewa, karena berasal dari inisiatif  masyarakat. Sebab, harus diakui bahwa soal gerakan penyelamatan lahan gambut, masih sangat kurang. Masyarakat kurang memberikan perhatian pada perjuangan sumber daya alam,” ucap Lyta.

Apalagi, beber dia, pada lahan gambut tersebut tumbuh subur purun, suatu tanaman dengan varietas yang sangat unik dan penting bagi pelestarian gambut itu sendiri.

“Buku ini menyampaikan pesan yang mudah dipahami. Suatu bentuk literasi yang baik dikembangkan. Poin-poin penting dalam buku ini tersampaikan dan mudah dipahami,” ujarnya.

Lyta melanjutkan dalam buku mampu menyederhanakan problem lingkungan dan perubahan iklim dengan bahasa yang bisa dimengerti masyarakat. 

“Jadi, kesimpulan saya, untuk memberikan pemahaman pada masyarakat, tidak perlu dengan buku yang rumit, buku ini memberikan contoh bahwa yang rumit bisa disampaikan dengan cara mudah,” pungkas Lyta.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.