Penanganan ‘Calap’ Dan Visi Calon Pemimpin Kota Banjarmasin, Masih Adakah Harapan?(3)

0

Oleh : Dr H Subhan Syarief

KEMUDIAN rumah atau bangunan di kota Banjarmasin semua dulunya berkonsep panggung , dalam hal ini bagian kolong rumah masih bisa berfungsi sebagai area resapan yang saling terkoneksi dengan kolong rumah atau bangunan yang lainnya sehingga mampu menjadi area buangan alias penampungan air.

DULU tak perlu dibuat drainase karena setiap rumah atau bangunan sudah punya drainase alami melalui pengaliran air hujan atau air buangan ke bawah kolong rumah atau bangunan mereka. Begitu juga di tepi jalan, tak boros membuat drainase karena kiri kanan jalan tersebut sudah sungai, baik kerokan ataupun sungai alami dan juga banyak area resapan.

Sayangnya semua berubah. Bangunan panggung sudah ditinggalkan. Area resapan berubah menjadi area perumahan , pergudangan, jalan dan berbagai fungsi lainnya yang kemudian hampir 80 persen dibangun bermodel diuruk dengan tanah. Bagi yang paham pasti tahu ini penyebab awal muncul masalah.

Area resapan yang mestinya menjadi ‘rumah air’ habis tidak tersisa, akibat dari kesalahan kebijakan dalam mengatur model membangun. Konsekuensinya, ketika musim hujan dan air berlimpah ditambah dengan air sungai yang pasang maka limpahan air tersebut tidak mampu dialirkan dengan lancar oleh drainase buatan.

BACA : Penanganan ‘Calap’ Dan Visi Calon Pemimpin Kota Banjarmasin, Masih Adakah Harapan?(2)

Kondisi area resapan yang sudah menyusut ini tentu tidak lah mampu menampungnya limpahan, sehingga dampaknya air pun meluap mengenangi area jalan bahkan lantai rumah warga kota.

Banyaknya kehilangan area resapan ini sejatinya sangat berperan penting ketika mau menangani persoalan calap atau banjir di area hulunya. Ya, seperti halnya drainase. Area resapan sangat membantu memperpendek panjangnya drainase, ketika mau menuju sungai. Sehingga masalah kemiringan awal drainase menuju ujung atau akhir drainase akan lebih mudah dipertajam.

Walhasil, air pun akan bisa mengalir dengan baik, cepat dan lancar. Juga air sebelum mencapai sungai bisa singgah dulu di area resapan.

Akhirnya bila melihat kondisi tiga faktor yang ada di hilir tersebut, bagi yang paham tentu bila mau melakukan pembenahan terhadap soal hulunya. Ya, seperti hal drainase untuk tujuan mengatasi persoalan kecalapan pastilangkah awal akan melakukan perbaikan atau minimal melakukan analis hilirnya dulu. Bila hilir tidak diperhatikan dalam menata hulu, maka janganlah berharap drainase bisa maksimal mengatasi persoalan calap yang rutin melanda.

BACA : Penanganan ‘Calap’ Dan Visi Calon Pemimpin Kota Banjarmasin, Masih Adakah Harapan?(1)

Ya, aspek hilir sejatinya menjadi faktor utama yang harus  didahulukan dioptimalisasi, sebelum di hulunya melakukan penataan ataupun pembangunan. Ini agar tidak mubazir seperti yang terjadi pada pola pembangunan drainase kota yang dari dulu sampai saat ini selalu rutin dilakukan.

Bila hilir tidak tersentuh, maka bisa diprediksikan paling lama drainase tersebut akan berfungsi sekitar tiga sampai lima tahun saja. Selanjutnya berubah menjadi tempat penampungan air yang tidak mampu lagi untuk mengalirkan air ke sungai atau daerah resapan.

Sebagai catatan, ketika muka air laut semakin meninggi naik maka air sungai pun akan turut menaik. Bila ternyata kemudian sungai banyak yang dangkal akibat endapan, lebar menyempit dan juga banyak yang mati atau buntu atau tidak saling terkoneksi.

BACA JUGA : Mengapa Banjarmasin Sering Terendam? Ini Analisis Ketua LPJK Kalsel

Kemudian air juga kesulitan untuk hilir mudik atau tersendat dan ditambah kehilangan area resapan sebagai tempat air bermukim atau tempat singgah, sebelum menuju sungai untuk kemudian ditarik ke laut, maka bukan keniscayaan musibah bakal menimpa Kota Banjarmasin. Mengapa ? Karena ketika hujan lebat melanda di musim hujan atau ketika air pasang tiba maka air akan bertumpuk dan mencari daerah rendah untuk dia bermukim sampai airnya surut.

Dengan posisi permukaan Kota Banjarmasin yang berada di bawah permukaan air laut, maka pasti akan memunculkan masalah. Sebuah masalah yang bila tidak diperhatikan sedini mungkin akan menjadi bencana yang terjadi secara rutin seperti yang dialami oleh Jakarta. Dan, ujungnya akan membutuhkan biaya serta waktu yang panjang untuk bisa mampu mengatasinya.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Ketua LPJK Provinsi Kalimantan Selatan

Pengamat perkotaan di Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.