Oleh : Subhan Syarief
SEKITAR tanggal 3 Januari 2020 , para profesi tenaga ahli di sektor jasa konstruksi dan profesi keinsinyuran (terkhusus terkait cakupan teknik sipil dan rekayasa bangunan) mendapatkan hadiah istimewa , atau tepatnya sebuah kejutan.
KEJUTAN ini berupa ‘niat awal’ akan melakukan langkah akselerasi atau mungkin tepatnya kolaborasi terapan peraturan UU No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (penganti UU Nomor 18 Tahun 1999) dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran.
Kolaborasi pada aspek terkait produk sertifikat kompentensi yang di tanggani oleh dua lembaga , Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dengan sertifikat SKA nya dan Organisasi Persatuan Insinyur Indonesia (PII) melalui sertifikat SKI-nya.
Kedua lembaga ini, LPJKN dan PII di dorong oleh Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR kemudian membuat MOU tentang hal terkait penyetaraan sertifikat yang mereka keluarkan. Dengan harapan bahwa nanti semua hal terkait penyetaraan SKA dan SKI ditanggani prosesnya secara harmoni dan tentu dengan legalitas yang bisa dipertanggung jawabkan.
BACA : Menyandingkan UU Keinsinyuran, PP 25/2019 dan UU Jasa Konstruksi
Bagi yang memahami hal konsekwensi sebuah terapan aturan maka sebelum bisa dilakukan penyetaraan sebaiknya ada beberapa hal yang perlu dicermati, dan hal yang paling mendasar yang harus dicermati adalah aspek legalitas. Bicara legalitas, maka salah satu yang cukup penting adalah terkait proses ‘perjalanan’ dari kemunculan sertifikat dari masing-masing lembaga tersebut. Dengan melakukan ‘napak tilas’ diharapkan gambaran tahapan proses dan model produk sertifikat yang diatur oleh kedua UU tersebut dapat terurai dan ujungnya ditemukan penguat legalitas penyetaraannya.
Telah diketahui Sertifikat Kompentensi Kerja (SKA) adalah izin untuk legalnya setiap tenaga kerja di level ahli yang ada pada UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi untuk bekerja di sektor jasa konstruksi. Bagi pekerja konstruksi sertifikat terkait jasa konstruksi atau sertifikat keahlian (SKA) ini adalah produk sertifikat yang diatur sejak lama, diawali kehadiran UU No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi sampai dengan UU penggantinya, UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Artinya produk sertifikat ini sudah dikeluarkan sekitar 20 tahunan, bahkan di era sebelum UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dikeluarkan , organisasi /lembaga PII pun juga turut mengeluarkan sertifikat dengan mengacu kepada UU Nomor 18 Tahun 1999.
BACA JUGA : Pangeran M Noor, Insinyur Pemersatu Pejuang Kalimantan
Dalam siklus dasar pengeluaran sertifikat kompentensi kerja (SKA) berdasar UU Jaskon (baik UU No. 18 tahun 1999 ataupun UU No. 2 tahun 2017) secara prinsip utama tidaklah ada perubahan mendasar. Hanya ke depan prosesnya dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP/dulu VVA dan USTK Lembaga). LSP ini adalah lembaga hasil bentukan Asosiasi Profesi yang telah memenuhi syarat akreditasi oleh pemerintah/ menteri. Dan kemudian produk sertifikat SKA oleh LSP tersebut dilakukan registrasi oleh LPJK yang mendapat wewenang dari menteri. Hal ini bisa terlihat pada UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi pada Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 84 / terkhusus pada penjelasan Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2).
Dasarnya secara ringkas prosesnya bisa diurai sebagai berikut; pemohon menjadi anggota asosiasi profesi jasa konstruksi terakreditasi, kemudian mengajukan permohonan sertifikat (SKA) kepada LSP bentukan asosiasi untuk dilakukan uji kompentensi.
Selanjutnya setelah lulus uji kompentensi maka sertifikatnya (SKA) akan diregistrasi LPJK, dan kemudian digunakan oleh pemohon sebagai syarat legal berupa Sertifikat Kompentensi Kerja/ SKA dalam bekerja sebagai Tenaga Kerja Ahli pada semua aktivitas terkait lingkup Jasa konstruksi. Dalam sertifikat SKA tersebut telah dicantumkan klasifikasi berikut jenjang Kualifikasi berupa Muda, Madya dan Utama dengan masa berlaku selama tiga tahun.
BACA JUGA : UU Keinsinyuran dan Jasa Konstruksi Perlu Disinkronkan
Adapun Sertifikat Kompentensi Insinyur (SKI) merupakan produk sertifikat yang diatur oleh UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan PP 25 tahun 2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran.
Pada UU Nomor 11 Tahun 2014 dasarnya terkait SKI ini ternyata saling terkorelasi mulai pada Pasal 5, Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 . Dan kemudian diperkuat melalui PP No. 25 tahun 2019 di Pasal 5 (terutama sebagian ada di 5a , 5b , 5c , 5d) kemudian Pasal 6 (terutama pada ayat (1) b; ayat (2) a , b dan c ; ayat (3) f ; ayat (4) d); Pasal 7 (terkhusus 7c dan 7d) ; Pasal 8; Pasal 12 ; Pasal 13 ; Pasal 15 sampai dengan Pasal 21.
Dari isi dan makna korelasi pasal pasal tersebut , secara tersirat bahwa seorang sarjana teknik dalam UU Keinsinyuran tidak bisa langsung mendapatkan SKI. Syarat utama mendapatkan SKI harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan atau gelar Insinyur. Adapun untuk mendapatkan gelar Insinyur wajib mengikuti Program Profesi Insinyur baik melalui program studi Profesi Insinyur ataupun melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau dan kemudian lulus program tersebut sehingga berhak mendapatkan Sertifikat Profesi Insinyur yang tercatat di PII.
BACA JUGA : Ratusan Anggota PII Kalsel Miliki Sertifikasi
Gelar Insinyur diberikan oleh Perguruan Tinggi Penyelenggara Program Profesi Insinyur. Selanjutnya agar seorang Insinyur sah dan dapat ijin untuk menjalankan / berpraktekKeinsinyuran haruslah memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang proses registrasi dan pengeluaran nya di lakukan oleh PII. Hal pentingnya seorang Insinyur sebelum memperoleh STRI haruslah memiliki Sertifikat Kompentensi Insinyur (SKI), yang bisa diperoleh setelah lulus Uji Kompentensi yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi , dan SKI ini berlaku selama 5 (lima) tahun. Hal terkait dengan pengaturan Jenjang Kualifikasi (pratama, madya dan utama ) dan masa berlaku 5 (lima) tahun tersebut akan di tampilkan / dicantumkan dalam STRI.
Sehingga dari ini bisa didapatkan gambaran hal urutan untuk bisa sah/legal secara hukum seorang insinyur berpraktek kerja , termasuk di sektor jasa konstruksi adalah pertama setiap sarjana teknik harus dulu mendapatkan gelar Insinyur melalui lulus dari Program Profesi Insinyur dan memiliki Sertifikat Profesi Insinyur yang tercatat di PII.
Kemudian yang kedua memiliki Sertifikat Kompentensi Insinyur (SKI) sebagai bukti telah mengikuti Uji Kompentensi melalui LSP. Kemudian selanjutnya untuk bisa bekerja profesi maka berdasar Sertifikat Kompentensi Insinyur (SKI) tersebut akan dilakukan proses registrasi untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) dari PII.
Berdasar bunyi UU dan PP hal keinsinyuran, STRI inilah yang berfungsi sebagai surat izin untuk berpraktik keinsinyuran seperti diatur Pasal 10 ayat (1) di UU Nomor 11 Tahun 2014 dan pada Pasal 17 ayat (1) pada PP Nomor 25 Tahun 2019. Adapun Surat Tanda Registrasi Insinyur ini berlaku selama lima tahun.
Bila di ermati proses alur produk Sertifikat Kompentensi Kerja (SKA) berdasar regulasi Jasa Konstruksi dan Sertifikat Kompentensi Insinyur (SKI) berdasar regulasi keinsinyuran akan ditemukan beberapa hal antara lain:
BACA LAGI : Penuhi Syarat Usaha, 25 Peserta Ikut Pelatihan PJTBU Gelaran LPJK Kalsel
Pertama; berdasar regulasi jasa konstruksi seorang sarjana teknik untuk bisa bekerja sebagai tenaga kerja konstruksi hanya wajib memiliki SKA dan tidak perlu wajib mendapatkan gelar Insinyur melalui studi program profesi insinyur. Sedangkan berdasarkan regulasi Keinsinyuran setiap sarjana teknik sebelum bekerja / berpraktek insinyur tidak bisa langsung mendapatkan SKI , tapi harus melalui berbagai tahapan, dan wajib bergelar Insinyur yang didapatkan setelah mengikuti studi program profesi insinyur, dengan kata lain sarjana teknik yang belum mengikuti program profesi keinsinyuran tidak akan bisa bekerja di sektor jasa konstruksi bila belum memiliki sertifikat profesi insinyur.
Kedua; SKA adalah sertifikat kompentensi kerja yang proses sertifikasi dan uji kompentensinya ada di LSP asosiasi. sertifikatnya dikeluarkan dan teregistrasi LPJK sehingga tidak ada lagi sertifikat atau surat lain sebagai syarat tenaga ahli konstruksi untuk bekerja. Dalam SKA telah mencantumkan hal kualifikasi dan klasifikasi serta jangka waktu berlakunya , SKA ini langsung bisa difungsikan sebagai Sertifikat Kompentensi Kerja.
Sedangkan pada SKI dikeluarkan setelah dilakukan uji kompentensi oleh LSP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, akan tetapi SKI belumlah bisa di gunakan langsung sebagai bukti syarat legal dalam berpraktek di bidang profesi kerja keinsinyuran. SKI ini hanyalah syarat untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) , dan STRI inilah yang berdasar UU dan PP keinsinyuran sebagai alat syarat berpraktek kerja keinsinyuran dan STRI ini dikeluarkan oleh PII.
Ketiga; dalam sertifikat kompentensi kerja SKA yang dikeluarkan lembaga / LPJK telah mencantumkan klasifikasi dan kualifikasi dan masa berlakunya SKA selama tiga tahun. Adapun sertifikat kompentesi insinyur SKI ataupun STRI berdasar UU berlaku selama 5 (lima) tahun dan dalam STRI di tampilkan hanya jenjang kualifikasi sedangkan klasifikasi belum tersajikan.
Dari uraian ringkas diatas tentu bisa disimpulkan bahwa ada beda posisi serta proses alur/pentahapan dalam mendapatkan sertifikat kompentensi antara SKA dan SKI. Sebagai syarat wajib tenaga kerja ahli konstruksi dalam bekerja profesi untuk SKA bisa didapatkan oleh setiap sarjana teknik dengan persyaratan telah memiliki pengalaman kerja dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan jenjang kualifikasi yang diinginkan (tidak mesti bergelar Insinyur) , kemudian SKA merupakan tanda bukti kompentensi seorang tenaga ahli konstruksi sebagai legalitas dalam bekerja. Pada SKA juga telah mencantumkan klasifikasi keahlian berikut jenjang kualifikasi dan masa berlakunya selama hanya tiga tahun.
SKA adalah surat izin bagi sahnya tenaga ahli untuk bekerja / berpraktik di sektor jasa konstruksi. Sedangkan untuk sertifikat kompentensi insinyur / SKI bukanlah sertifikat kompentensi yang bisa langsung digunakan untuk berpraktek kerja keinsinyuran. Tapi hanya sebagai syarat wajib untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi Insinyur / STRI. Dalam hal ini STRI lah yang menjadi Surat ijin resmi untuk bekerja/ berpraktek sebagai Insinyur.
Dalam STRI yang mencantumkan jenjang kualifikasi profesi (klasifikasi belum tercantumkan) serta jangka waktu berlakunya sertifikat / surat ijin berpraktek insinyur. Kemudian masa berlakunya STRI selamalima tahun. Hal penting lain adalah bahwa untuk mendapatkan SKI dan STRI seorang sarjana teknik wajib terlebih dahulu mendapatkan gelar profesi insinyur yang dibuktikan dengan memiliki Sertifikat Profesi Insinyur. Sertifikat Profesi Insinyur ini didapatkan setelah sarjana teknik (terkait konstruksi) lulus dalam mengikuti studi program profesi keinsinyuran yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi atau universitas terkait keteknikan.
BACA LAGI : 45 Sarjana Ikuti Sertifikasi Keinsinyuran Profesional
Akhirnya dengan melihat atau menguak sekilas aspek legalitas proses ataupun kedudukan SKA dan SKI maka hal penting yang perlu dicermati dan diperdalam adalah ;apakah yang perlu di setarakan tersebut sertifikat kompentensi kerja SKA dengan sertifikat kompentensi insinyur / SKI ataukah harusnya penyetaraan dilakukan antara sertifikat kompentensi kerja SKA dengan Surat Tanda Registrasi Insinyur / STRI.
Kalau memang yang akan dilakukan penyetaraan adalah antara SKA dengan SKI maka tentu aspek legalitas antara kedua UU tersebut , dalam hal ini UU jasa konstruksi dan UU Keinsinyuran perlu untuk dicari celah mempertemukannya atau titik temunya.
Tentu hal ini hal mendasar yang harus dilakukan agar kebijakan tindak lanjut ‘akselerasi hukum’ yang dilakukan oleh LPJK dengan PII dalam MOU tersebut bisa memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.(jejakrekam)
Penulis adalah Ketua LPJK Provinsi Kalsel
Kandidat Doktor Hukum Konstruksi Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Lhaa trusss piyee?….gak jelas
Betul.. Antara SKA dan SKI/STRI. Dua jalur yg beda.. Sama2 persyaratan untuk praktek, untuk sementara SKA yg brlaku, tdk bisakah d kolaborasikan/disatukn… Kedepan mungkin STRI syarat untuk mendapatkan SKA”
Hanya memang bikin repot para tenaga ahli yg akan bekerja… ribet..hrs mengurus n membutuhkan biaya… ☺😇😊 itulah Indonesia…
Pilih mana, SKA dan/atau STRI nih?