Menakar Urgensi Pilkada Serentak 2020, Antara Manfaat dan Mudharat

0

Oleh : dr Abd Halim SpPD.SH.MH.MM.FINASIM

PADA tanggal 14 April 2020, Komisi II DPR RI, Pemerintah RI melalui Kementerian Dalam Negeri bersama KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP RI telah menyepakati pilkada serentak digelar pada 9 Desember 2020. Padaha, sebelumnya akan dihelat pada September 2020.

HAL Ini terlihat dari ditandatanganinya Perppu Nomor2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentangPemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang pada tanggal 4 Mei 2020 oleh Presiden Joko Widodo.

Dengan menundaan ini ada tambahan sekitar 4 bulan untuk persiapan pelaksanaan tahapan tahapan pilkada. Menurut Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik dalam sambutannya saat uji publik Peraturan KPU (PKPU) Pilkada di kantornya, Jalan Imam Bonjol, ada 9 pemilhan gubernur dan ada 224 wilayah kabupaten, dan untuk tingkat kota akan berlangsung di 37 kota pada 32 provinsi.

Sebenarnya jadwal pemilihan wali kota dan wakil wali kota untuk tahun 2020 hanya pada 36 kota. Namun ada satu tambahan yaitu Kota Makassar yang diulang karena pada pilkada sebelumnya dimenangkan oleh pasangan kotak kosong.

BACA : Pilkada Dengan Protokol Kesehatan, KPU Kalsel Perlu Tambahan Rp 60 Miliar

Ke 9 provinsi yang menyelengarakan pilkada serentak Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah

Sedangkan ada 7 kabupaten/ kota di Kalimantan Selatan yaitu Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kota Baru, Balangan, Hulu Sungai Tengah dan Tanah Bumbu.

Pemilihan Umum dalam hal ini pilkada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adanya pengertian yang demikian ini sesungguhnya juga harus dimaknai bahwa pelaksanaan pilkada di Indonesia bukan hanya kongritisasi dari kedaulatan rakyat (langsung, umum, bebas, dan rahasia), tetapi lebih dari itu yaitu menghendaki adanya suatu bentuk pemerintahan yang demokratis yang ditentukan secara jujur dan adil.

BACA JUGA : Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19 Terlalu Banyak Risiko yang Harus Dihadapi

Kegiatan pemilihan umum (general election) termasuk pilkada juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan.

Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat di mana rakyatlah yang berdaulat, maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum, memperlambat penyelenggaraan pemilihan umum tanpa persetujuan para wakil rakyat, ataupun tidak melakukan apa-apa, sehingga pemilihan umum tidak terselenggara sebagaimana mestinya.

Wabah pandemi Covid-19 yang melanda dunia menyebabkan telah meruntuhkan memporakporandakan tatanan kehidupan masyarakat di semua negara yang terdampak baik dari segi kesehatan yang sampai hari ini lebih dari 7 juta jiwa yang terinfeksi dengan angka kematian 6 sampai 10 persen dan kerugian finansial yang luar biasa dan membutuhkan biaya penanganan triliunan dollar.

BACA JUGA : KMB UIN Antasari : Kandidat Pilkada Jangan Jadikan Covid-19 Sarana Politik Pencitraan

Di samping, juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi semua negara melambat bahkan ada yang kolaps , termasuk Indonesia. Semua negara memproyeksikan penurunan pertumbuhan ekonominya akibat pandemi Covid-19.

Bahkan salah satu dampak bukan hanya pertumbuhan ekonomi namun juga mempengaruhi terganggunya agenda negara yakni Pemilu. Berdasarkan data IDEA ada 38 negara yang mengalami penundaan. Sedangkan, Indonesia menjadi negara yang ke-38 yang menunda pelaksanaan pilkada serentak 2020.

Dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, Presiden Jokowi telah mengeluarkan dua Perppu yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan sekarang Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yakni terkait atas penundaan Pilkada Serentak 2020 di mana pada pasal 201A ayat 2 telah disebutkan pada bulan Desember 2020, walaupun ada ruang terbuka pada ayat 3 bahwa dapat ditunda jika bencana nonalam belum berakhir.

Perppu merupakan sebuah aturan yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah di mana menjadi subjektivitas dari Presiden dalam mengatasi suatu kondisi dan/atau situasi memaksa dan/atau genting sesuai Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mana Perppu pun memiliki materi muatan yang sama dengan UU. Sesuai aturan tata negara bahwa Perppu tetap harus diajukan ke DPR pada persidangan berikutnya untuk disetujui atau ditolak menjadi UU (Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

BACA JUGA : Pilkada Resmi Ditunda, Penunjukan Plt Kepala Daerah Jadi Sorotan

Dan konfigurasi politik di DPR saat ini Perppu tersebut dapat disetujui menjadi UU oleh DPR dengan mudah dan/atau lancar. Kegentingan yang menjadi alasan bahwa pemerintah telah menetapkan bahwa pandemi Covid-19 19 merupakan bencana nonalam dan dengan Keppres nomer 11 tahun 2020 penetapan wabah pandemi Covid-19 sebagai Kadaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) pertanggal 31 Maret 2020, satu bulan setelah kasus positif covid 19 pertama kali di Indonesia.

Melihat laporan terakhir dari gugus tugas percepatan penanganan wabah covid 19 bahwa per 12 Juni 2020 terus terjadi penambahan kasus terkonfirmasi per hari. Pemerintah telah memperbarui data pasien positif virus corona pada konferensi pers di Graha BNPB, Jumat (12/6/2020) pukul 15.30 WIB. Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Republik Indonesia, Achmad Yurianto mengatakan pada hari ini terjadi penambahan kasus, baik yang positif, dinyatakan sembuh, maupun meninggal dunia. Berdasarkan laporan data tersebut, tercatat adanya 1.111 kasus baru.

Total kasus yang terjadi di Indonesia sebanyak 36.406 pasien positif virus Corona. Kemudian, sampai hari ini ada 577 pasien dinyatakan sembuh, sehingga total pasien yang sembuh tercatat 13.213 orang. Sementara untuk pasien meninggal dunia bertambah sebanyak 48 korban, sehingga total menjadi 2.048 kasus kematian.

Terlihat jelas bahwa sampai saat ini pandemi Covid-19 belum mencapai puncak dan menaik apalagi setelah direlaksasinya kegiatan PSBB dan penerapan konsep tatanan normal baru atau New Normal yang akan sangat memberi efek terbentuknya kluster kluster baru.

Dalam tahapan pelaksanaan Pilkada salah satunya nya adalah sosialisasi dan kampanye para kandidat peserta pilkada yang secara tradisional mengumpulkan massa dan sulit menghindari kontak sosial dan fisik seperti yang ditetapkan dalam protokol kesehatan pencegahan Covid-19 sesuai anjuran Kemenkes dan WHO. Hal ini memicu terjadinya serangan kedua dan ketiga gelombang Covid-19.

BACA JUGA : Tiga Opsi Pilkada Ditunda, Dana Hibah Pemda Dialihkan Perangi Corona

Bagaimana kondisi terakhir di Kalimantan Selatan ? Menurut informasi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Kalsel pada tanggal 12 Juni kemarin, perkembangan penanganan Covid-19 di Kalsel yang menunjukkan penambahan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 60 kasus. Dengan demikian, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Kalsel tercatat sebanyak 1.694 kasus. Penambahan kasus Covid-19 tersebut terjadi di tujuh kabupaten/kota di Kalsel.

Paling banyak di Kota Banjarmasin sebanyak 33 kasus. Lalu selanjutnya di Kabulaten Banjar ada penambahan 13 kasus, Kota Banjarbaru 5 kasus, Kabupaten Tanah Laut 3 kasus, Kabupaten Batola 3 kasus, Kabupaten Tanah Bumbu 2 kasus dan di Kabupaten Tapin 1 kasus.

Terlihat bahwa di 7 kabupaten/ kota yang akan melakukan pilkada serentak masih merupakan zona merah dan belum ada tanda melandai bahkan negatif. Hasil ini pun belum mencerminkan pelaksanaan test and test yang masif dan terstruktur pada kluster kluster tertentu. Sehingga angka real mungkin lebih besar.

Saya tetap menyarankan dalam penanganan tetap mengutamakan Hukum Tertinggi Adalah Keselamatan Rakyat (Salus Populi Suprema Lex Esto) Memang imbas terburuk serangan covid-19 mungkin ekonomi. Namun, dengan prinsip Salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat hukum tertinggi), pemerintah wajib mengutamakan perintah konstitusi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia”.

Pemerintah harus all out mengerahkan segala kemampuan fokus menyelamatkan hidup setiap orang dari serangan covid-19. Dan tidak membuka peluang untuk terjadinya penyebaran yang masif yang tentunya akan menyebabkan semakin membengkaknya biaya yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat dalam penanganan wabah ini. Inilah salah satu mudharat yang akan terjadi bila kegiatan pilkada tetap akan dilaksanakan dalam kondisi pandemi Covid 19 yang belum terkendali.

Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan pemerintah apabila memutuskan tetap melaksanakan pilkada sesuai rencana yaitu seperti yang disampaikan WHO.

1. Terbukti bahwa Tramsmisi Covid bisa dikendalikan.

2. Sistem Kesehatan Masyarakat telah mampu memitigasi, mengidentifikasi, mengisolasi, menguji dan melacak kontak dan mengkarantina.

3. Mengurangi resiko wabah dengan pengaturan yang ketat terhadap tempat yang risiko tinggi seperti rumah jumpo, kesehatan mental dan pemukiman padat dan pertemuan banyak orang,

4. Pencegahan ditempat kerja dan masyarakat dengan penerapan protokol kesehatan

pencegahan covid yang ketat dan berwibawa. Dengan aturan hukum yang jelas.

5. Risiko penyebaran IMPORTED CASE dapat dikendalikan.

6. Partisipasi masyarakat yang tinggi dan aktif dalam penangangan dan pencegahan wabah Covid 19.

Ada beberapa pendapat masyarakat bahwa kalau pilkada ini dilaksanakan pada saat pandemi ini akan menguntungkan petahana karena momem yang tepat untuk menunjukan kemampuan kepemimpan dan manajemen krisisnya. Hal itu bisa menjadi kampanye gratis terhadap calon tersebut. Tapi juga mempunyai peluang terhadap penyalahgunaan wewenang dan bansos sebagai ajang kampanye.(jejakrekam)

Penulis adalah Dokter Utama

Internist RSDI Banjarbaru dan Klinik Halim Medika

Kandidat Dokter Ilmu Hukum PDIH Unissula Semarang

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.