Sepenggal Cerita Gang Penatu yang Masih Tersisa
GANG Penatu. Namanya begitu melegenda di Banjarmasin. Di ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, gang sempit yang menghubungkan Jalan Hasanuddin HM dan Jalan Pangeran Samudera itu kini dikenal sebagai kawasan percetakan dan penjualan aneka buku, terutama buku sangu kuliah dan buku-buku agama.
SEDARI dulu, sebenarnya Gang Penatu turut memengaruhi transformasi kota. Terutama, para pemukim perkampungan yang kini masuk Kelurahan Kertak Baru Ulu, Kecamatan Banjarmasin Tengah.
Dinamakan Gang Penatu, karena memang awalnya banyak orang mendirikan usaha bergerak di bidang pencucian atau penyetrikaan pakaian. Ya, semacam dobi atau benara. Kenangan sosial ini coba dihidupkan sosiolog dan antropolog FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Setia Budhi.
BACA : Pemilik Lahan Deadline Pengosongan, Pasar Gang Penatu Terancam Dibongkar
Ketika masih menyandang status mahasiswa, Setia Budhi bercerita orang pertama yang menjalankan usaha penatu. Dia adalah Liem, seorang Tionghoa yang membuka usaha penatu bernama Jakaya. Liem yang belakangan nama akrabnya, Otek merupakan orang paling dicari para pejabat mentereng di Banjarmasin, demi tampil modis dan parlente.
“Pak Liem itu tinggal di Gang Penatu. Dia punya empat anak bernama Yu Kim, Yu San, Shie Han dan Shie Lan. Sayang, usahanya tidak diteruskan anak-anaknya. Bahkan, Rumah Penatu Jakaya sudah tak ada lagi,” ucap Setia Budhi kepada jejakrekam.com, Rabu (25/4/2019).
Doktor antropolog jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia ini pun mengatakan nama Gang Penatu pun sesuai dengan usaha penyetrika, karena terkenal rapi dan apik. Terutama, penatu baju, celana terkhusus lagi stelan jas.
“Sayang kini Gang Penatu berikut Rumah Penatu Jakaya sudah tak ada lagi. Bahkan, nama gang terpampang di pintu masuk juga turut lenyap, seiring hilangnya rumah penatu itu,” beber Setia Budhi.
BACA JUGA : Pangsa Pasar Makin Lesu, Banyak Pedagang Koran Beralih Profesi
Menurutnya, Gang Penatu merupakan gambaran kehidupan warga kota yang rukun dan damai, meski berbeda etnis dan agama. Bagian kenangan sosial ini dinilai Setia Budhi turut membangun wajah Kota Banjarmasin yang terkenal nilai toleransi.
“Benar, di Gang Penatu yang sekarang tembus ke Pasar Sukaramai, merupakan pemukiman warga yang bercampur etnisnya. Dulu, di kawasan Penatu ini, sedikitnya ada enam kepala keluarga (KK) Tionghoa. Selebihnya, Banjar, keturunan Arab, Jawa, dan sekarang ada orang-orang Madura yang bermukim di sini. Tapi semua rukun,” kata Abdul Gani, warga Gang Penatu yang termasuk dituakan di kawasan itu berbincang dengan jejakrekam.com.
Kehadiran Pak Liem yang membuka usaha penatu tak dipungkiri Abdul Gani, memicu warga lainnya menjalankan profesi serupa. “Sebenarnya, usaha itu sudah berjalan sejak zaman Belanda, hingga berakhir sekitar tahun 1980-an,” beber Abdul Gani, sembari menunjukkan lokasi yang kini telahberdiri ruko penjual optik kacamata.
Sebagai loper koran era Belanda hingga kemerdekaan, seperti Indonesia Berjuang, Suara Kalimantan, Indonesia Merdeka, Abdul Gani ingat betul jika di sekeliling Gang Penatu, dulunya merupakan perkampungan berbagai etnis.
“Sekarang Kampung Cina masih ada di kawasan Pasar Cempaka. Dulu, ada Gedung Tjung Hua Tjung Hui yang jadi tempat pertemuan masyarakat Tionghoa, sekarang hilang jadi areal parkir,” tuturnya.
BACA JUGA : Ramadhan Datang, Omzet Penjualan Alqur’an Makin Benderang
Bahkan, menurut Gani, sebelumnya di atas Gedung Tjung Hua Tjung Hui itu merupakan kediaman petinggi Belanda dengan rumah kayu ulin. Lalu, di sebelahnya ada rumah para habaib. Termasuk, ada dokter gigi berkebangsaan Jepang, dr Shogenji, yang kemudian di masa pendudukan menjadi pejabat penting di Banjarmasin.
“Di sekeliling Gang Penatu ini dulu ada sungai yang tersambung hingga ke Sungai Martapura (Ujung Murung) dan Sungai Belasung. Waktu zaman Belanda dulu, kemudian dibangun gorong-gorong setinggi 1,5 meter. Ya, semacam terowongan, makanya kawasan di sini tak pernah banjir,” beber Gani.
Setelah pelebaran Jalan Pangeran Samudera dan Jalan Hasanuddin, sungai pun menghilang. Berikut saluran drainase warisan Belanda dikubur, hingga tak tersisa lagi.
“Memang awalnya Pak Liem yang membuka usaha benatu. Sebelahnya ada rumah sakit milik Muhammadiyah. Belakangnya ada kamar mayat, makanya dulu dianggap angker di sini,” tuturnya.
BACA LAGI : Pasar Soedimampir dan Amarah si Jago Merah
Sebagai penghuni generasi kedua setelah sang ayah, Tarman, Abdul Gani mengungkapkan di kawasan Gang Penatu juga berdiri berbagai usaha percetakan mesin lama. Huruf demi huruf disusun untuk membentuk kata dan kalimat yang dicetak di atas kertas. Dari sinilah, akhirnya sebagian warganya beralih ke usaha percetakan hingga menjadi agen distribusi koran.
Berada di pusat kota, perekonomian Gang Penatu pun tumbuh. Apalagi, kawasan itu dikepung berbagai pasar yang menjual aneka barang. Ini ditambah, tumbuhnya perkantoran seperti Bank BRI dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kalsel.
Senada Abdul Gani, Sabriyansyah pun mengenang saat masa kejayaan usaha benatu berakhir, mulai dibuka usaha percetakan dan penerbitan buku. Sabriansyah sendiri menjalankan usaha yang diwariskan sang ayah, Abdurrahman Sidik, generasi pertama di Gang Penatu.
“Ya, sekitar tahun 1980 hingga 1990-an, tak ada lagi yang menggeluti usaha benatu. Tapi, namanya tetap dikenal dengan sebutan Gang Penatu,” ucap Sabriansyah.
Ia pun mengatakan kawasan Gang Penatu merupakan lorong yang ramai, hingga malam hari. Itu ketika tumbuh industri jasa pemutaran film seperti Bioskop Ria, Bioskop Presiden, hingga terakhir tutup, Bioskop Cempaka. Lalu, ada juga jasa cuci cetak foto Ria, dan kawasan perkantoran ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
BACA LAGI : Mengenang Imam Besar Masjid Noor, Haul ke-20 Habib Hasan Al Kaff Diperingati
“Sekarang, karena semakin canggih teknologi, usaha percetakan memang agak kurang. Kebanyakan kami di sini menggeluti usaha mencetak undangan, kartu nama dan lainnya. Ya, inilah kebisaan kami,” tutur Sabriansyah, tampak serius di depan komputer dalam kios kecilnya.
Kini, Gang Penatu pun telah bertransformasi. Gang itu pun tetap dikenang turut menghidupkan denyut Kota Banjarmasin. Baik Abdul Gani maupun Sabriansyah mengakui Gang Penatu adalah contoh pluralitas dan warna tersendiri para pemukim pelbagai etnis. Sayang, kini banyak rumah telah beralih pemilik, meski bangunan lawas tetap masih terjaga.(jejakrekam)