Social Distancing dan Ujian Berpancasila

0

Oleh : Ahmad Fikri Hadin

HARI-hari ini kita sudah  dibiasakan mendengar istilah kata lockdown dan social  distancing atau pembatasan sosial sebagai usaha negara atau pemerintah untuk memperlambat penyebaran virus Corona (Covid-19) sebagai suatu virus yang membawa penyakit pendemi.

SEBAGAI penyakit pandemi maka wabah virus Corona telah menjangkiti di banyak negara di dunia ini. Apa itu lockdown? Lockdown, artinya dikunci. Secara istilah Lockdown diartikan sebagai penutupan akses masuk maupun keluar suatu daerah yang terdampak dari penyakit pendemi.

Beberapa negara telah mengambil kebijakan lockdown untuk mencegah penyebaran virus Corona. Hal ini berarti  pemerintah negara-negara tersebut memberlakukan lockdown secara nasional untuk menahan laju penyebaran virus.

BACA : Usai Social Distancing Jadi Physical Distancing, Bagaimana Pelayanan Publik Berjalan?

Beberapa negara yang saat ini sedang memberlakukan lockdown akibat pandemi COVID-19. DATA yang penulis himpun dari berbagai sumber menyebutkan :

  1. Spanyol (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 13.716)
  2. Malaysia (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 673)
  3. Perancis (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 7.652)
  4. Denmark (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 1.044)
  5. Irlandia (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 292)
  6. Belanda (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 2.051)
  7. Belgia (jumlah kasus positif per 18 Maret 2020: 1.468)
  8. New York & California  Amerika Serikat (AS)
  9. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan langkah tegas memberlakukan lockdown di negaranya pada Senin (23/3) malam waktu setempat.
  10. Negara bagian berpenduduk terpadat di Australia, New South Wales (NSW), pada Selasa melaporkan kenaikan tertinggi jumlah kasus virus corona. Sehingga diarahkan  pada lockdown (karantina wilayah) secara penuh.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah lockdown kebijakan yang tepat untuk menahan laju penyebaran virus corona?Pengalaman Tiongkok, sudah terbukti. Toh, lockdown sebenarnya adalah perluasan dari social distancing, dalam skala yang jauh lebih besar dan dampak yang jauh lebih luas.

BACA : Banjarmasin Bakal Diberlakukan Jam Malam, Tim Covid-19: Jika Warga Masih Keluyuran di Luar

Menurut catatan Bloomberg, per 19 Maret 2020, Provinsi Hubei melaporkan tidak ada kasus infeksi COVID-19 baru di wilayahnya. Provinsi Hubei merupakan area pusat penyebaran virus corona, dengan Wuhan sebagai ibukotanya.

Saat ini sejumlah negara di Eropa telah menutup tempat-tempat seperti sekolah, universitas, kafe, restoran, dan bioskop, atau pada dasarnya yang ramai dikunjungi warga.

Lockdown adalah situasi yang melarang warga untuk masuk tempat atau tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya.

Di Prancis, istilah lockdown adalah menutup semua tempat-tempat yang dianggap ‘tidak vital’, seperti restoran, bioskop, dan tempat pariwisata, seperti Menara Eiffel, yang berlaku mulai Minggu 15 Maret. Namun, supermarket, apotek, bank, dan layanan publik, seperti transportasi umum, masih beroperasi, meski ada pembatasan siapa dan berapa orang yang bisa masuk dalam satu tempat.

Spanyol juga menerapkan lockdown, meski warga masih bisa pergi membeli makan dan obat, bahkan pergi ke kantor.

BACA JUGA : Saat Istilah Asing Viral Di Tengah Wabah Corona Dinatularisasikan Ke Bahasa Daerah

Dari beberapa contoh negara di Eropa, status lockdown tidak selamanya berarti menerapkan social distancing. Lantas, apakah kebijakan ini satu-satunya jalan? Ternyata tidak. Singapura dan Korea Selatan memang tidak memberlakukan lockdown dan dapat menahan laju persebaran dengan tingkat kematian akibat COVID-19 yang rendah.

Namun, tentu kedua negara tadi juga melakukan pencegahan tersendiri. Korea Selatan misalnya, menjadi negara dengan jumlah pemeriksaan COVID-19 paling banyak per kapita di dunia. Negara ini sudah melakukan tes virus corona pada kurang lebih 290.000 orang warganya.

Cara ini rupanya efektif untuk menekan angka penyebaran. Sebab, banyak kasus bisa diketahui sejak dini melalui langkah ini. Sehingga, pasien positif tersebut tidak sempat menyebarkannya ke orang lain.Dari data yang dilansir Reuters, jumlah pasien baru positif corona di Korea Selatan per 18 Maret 2020 turun drastis menjadi 93 orang per hari, setelah dua minggu sebelumnya menyentuh angka 909 infeksi baru per hari.

Apakah dengan cara social distancing yang diambil kebijakan pemerintah kita sekarang ini  yang hanya berupa imbauan dan dilakukan atas kesadaran tiap individu.

Ujian Berpancasila

Kebijakan Pemerintah Indonesia yang langsung di ambil Presiden Jokowi adalah tidak menerapkan lockdown, hal senada selalu disampaikan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo yang dalam setiap rilisnya menegaskan bahwa pemerintah tidak akan melakukan penguncian wilayah atau lockdown untuk mengatasi penyebaran Covid-19 yang disebabkan virus corona.

Langkah startegis yang diambil pemerintah adalah melakukan rapid test  dengan cakupan yang lebih besar guna deteksi dini pasien yang kemungkinan terpapar COVID-19  Contoh ini sukses dilakukan Korea Selatan (Korsel).

Pertimbangan Pemerintah tidak melakukan lockdown yang disampaikan ketua gugus penanganan wabah berdasarkan Pasal 52 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan: “(1) Selama penyelenggaraan Rumah Karantina, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan yang sesuai dengan Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.” “(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Rumah diizinkan menyetujui ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang terkait.”

BACA JUGA : Panik Corona Bisa Memicu Perubahan Sosial Masyarakat

Konsekuensi jika tidak memenuhi hak dasar tersebut, berarti pemerintah tidak menjalankan amanah konstitusi sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 52 UU Nomor 6 Tahun 2018. Jika pemerintah tidak memenuhi kebutuhan dasar warga dan hewan selama masa karantina yang menurut pemerintah sangat berat dilakukan.

Akhirnya dengan konsekuensi tersebut masyarakatlah yang beradaptasi dengan kebijakan pemerintah. Ujian terberat di masyarakat adalah bagaimana penjelmaan kehidupan Pancasila itu di uji. Apakah tidak terjadi panic buying? Apakah rela masyarakat ekonomi kelas atas berbagi dengan masyarakat ekonomi kelas bawah dalam persedian bahan pokok serta alat kesehatan? Disinilah ujian itu dilaksanakan dengan konsekuensi penjelmaan ideologi negara kita yakni Pancasila.

BACA LAGI : Resmi, MUI Kalsel Terbitkan Imbauan Umat Islam Tak Laksanakan Shalat Jumat Di Masjid

Ujian yang tidak kalah pentingnya alokasi anggaran besar-besarankisarannya mencapai Rp 121 triliun. Menurut Menteri Keuangan, dana itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp62,3 triliun serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp56 triliun sampai Rp 59 triliun.

Kebijakan ini tertuang dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Ditambahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rilisnya, “akan berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai penggunaan APBN dan APBD tahun ini agar realokasi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tak menjadi ‘temuan audit’.

Namun, juga tak menutup mata bahwa kebijakan ini akan membuka ‘celah korupsi’ bagi oknum-oknum tertentu. Makanya, saya menegaskan pemerintah akan menindak tegas pihak-pihak yang mengambil keuntungan di tengah penanganan virus Corona”.

Dana yang sangat besar untuk menaggulangi wabah ini apabila masih terdapat oknum yang melakukan korupsi tentu orang tersebut tidak pancasilais dan sungguh terkutuk!(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum ULM,

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (PARANG) ULM).

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.