Saat Istilah Asing Viral di Tengah Wabah Corona Dinatularisasikan ke Bahasa Daerah

0

ISTILAH asing seperti social distancing, suspect, lockdown dan lain sebagainya dalam konteks wabah virus Corona (Covid-19) sebenarnya berisi bayangan horor. Ini karena visualisasi kematian, kota yang lengang, dan situasi yang berbeda dari hal yang normal.

PAPARAN ini diungkapkan sosiolog dan antropolog FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Nasrullah kepada jejakrekam.com, Kamis (26/3/2020).

Seperti yang dilakoni beberapa warganet di Kalsel dengan viralnya istilah dari serapan bahasa asing (Inggris) di media massa maupun media sosial (medsos), dengan mengartikan social distancing dalam bahasa Banjar, berarti jangan tapi banyak baparak lah.

Lalu, suspect (kikira haja pang), lockdown (bagana gin di rumah), OPD (bubuhan nang dicurigai), PDP (painanya tajangkit sudah ni), WPH (bagi di wada sorang haja), imported case (tajangkit di daerah urang lain), atau local transmission (tajangkit wan tatangga).

BACA : Panik Corona Bisa Memicu Perubahan Sosial Masyarakat

Ia mengakui ada upaya melakukan naturalisasi bahasa asing tersebut ke dalam bahasa daerah dianggap sebagai upaya memudahkan warga untuk memahami dengan mengurangi beban psikologis.

“Sampai di sini sudah merupakan hal yang positif untuk dilakukan. Persoalannya ketika teks asing itu dipindah ke dalam bahasa lokal akan menjadi persoalan,” tutur Nasrullah.

Sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menguraikan persoalan pertama adalah ketika terjemahan dilakukan terasa kurang tepat karena pada umumnya menjadi bahasa daerah rasa bahasa Indonesia.

BACA JUGA : Batatamba, Menggali Ritus Dan Metode Penyembuhan Penyakit Di Tengah Masyarakat Bakumpai

“Hal ini disebabkan tradisi translasi sering dilakukan dalam bahasa nasional dan teks dan pengucapan bahasa resmi kita juga berorientasi bahasa nasional tersebut,” tutur pengajar jurnalistik di berbagai kampus ini.

Nasrullah juga mengungkapkan persoalan kedua adalahsesungguhnya kita jarang menggunakan bahasa daerah ke dalam bahasa tulisan, apalagi untuk hal-hal serius terutama bahasa kesehatan.

“Maka ‘rasa bahasa’ yang sifatnya abstrak selalu menjadi penjaga atau wasit dalam menilai kebenaran berbahasa yang mungkin terasa subjektif itu,” beber Nasrullah.

Masih menurut dia, persoalan ketiga adalah ketika proses penerjemahan tidak sekadar merubah teks asing ke bahasa daerah, tetapi membumikannya.

“Jadi, barangkali proses terjemahan atau bahkan tafsir istilah tidak selalu bersifat persamaan kata tetapi pada persamaan makna sehingga rasa bahasa tersebut menjadi cocok dengan penutur lokal,” urai sarjana jebolan IAIN (UIN) Antasari Banjarmasin ini.

BACA JUGA : Resmi, MUI Kalsel Terbitkan Imbauan Umat Islam Tak Laksanakan Shalat Jumat Di Masjid

Menurut dia, penutur lokal jika membaca terjemahan juga biasanya akan membahas persoalan diksi kata lokal yang digunakan. Apalagi, beber Nasrullah, pada bahasa daerah yang sangat kaya diksi, maka akan jadi perdebatan satu kata saja yang dianggap keliru.

Nasrullah berpendapat pada akhirnya, dalam proses ini tidak ada hal yang bersifat tunggal dalam bahasa daerah. Ada yang diterjemahkan dalam bahasa daerah yang mudah disampaikan. Namun, ada pula produk terjemahan dalam bahasa daerah yang benar-benar dipikirkan aspek diksi, kesesuaian dengan lokalitas.

Peneliti budaya Banjar dan Bakumpai ini juga mengkorelasikan dengan pengalamannya menerjemahkan pengumuman ke bahasa Bakumpai justru di media sosial.

“Ada beberapa yang berkomentar. Misal di bagian 2 kata manjapai dianggap kurang cocok, dan ada yang mengusul “mausep” atau “mamusut” ini disebabkan bahasa daerah kaya akan diksi,” ucapnya.

BACA JUGA : Usai Social Distancing Jadi Physical Distancing, Bagaimana Pelayanan Publik Berjalan?

Terkait poin ketiga, beber Nasrullah, ada kalimat Bahelat dengan uluh ije depe padahal teks bahasa Indonesianya adalah “jaga jarak dengan orang lain minimal 1 meter,” maka bahasa Bakumpai tidak memiliki istilah “meter,” maka padanan kata yang mungkin cocok tetap akurasi meter, tidak selalu tepat adalah depe atau depa.

“Namun, istilah ini akan lebih mudah dipahami,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.