Panik Corona Bisa Memicu Perubahan Sosial Masyarakat
HARI-hari penuh histeria virus Corona (Covid-19) kini tengah dijalani warga Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan. Krisis ekonomi, wabah penyakit, dan kepanikan sosial jelas berimbas pada perubahan sosial di tengah masyarakat.
PENGAMAT sosial kemasyarakatan FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dr Taufik Arbain mengakui efek dari wabah Corona ini sangat mempengaruhi pada banyak faktor di tengah masyarakat yang komunal.
“Ya, efek wabah Corona ini merupakan sebuah musibah dan kejadian luar biasa. Bahkan, seluruh dunia panik, bukan hanya di Kalsel, dan setidaknya merubah perilaku keseharian,” tutur Taufik Arbain, dalam dialog Palindangan Noorhalis Masjid di RRI Banjarmasin, Kamis (19/3/2020) lalu.
BACA : Kegiatan Masyarakat Menurun, Jangan Sampai Muncul Gejolak Sosial
Doktor kebijakan publik jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengurai ada beberapa aspek kepanikan. Salah satu variabel pendukungnya adalah lahirnya kebijakan, baik berupa imbauan, maklumat, dan sebagian dari patron negara untuk menyelesaikan masalah.
“Cara seperti itu dilakukan terutama di negara berkembang seperti Indonesia, agar masyarakat sadar dan paham, sehingga bisa mematuhi anjuran pemerintah, imbauan maupun fatwa. Berbeda dengan di negara maju dengan tingkat sumber daya manusia (SDM) dan kuatnya pengetahuan personal, tentu bisa mengatur diri sendiri dan kemampuan untuk membangun kesadaran lingkungan,” papar Taufik.
Dalam kamus Taufik, ada istilah panik karena semua orang tentu ingin bertahan hidup lebih lama. Sedangkan, menurut dia, ketika sudah sakit, maka bayangan kematian justru lebih dekat, karena tahu kemampuan rumah sakit atau layanan kesehatan tersedia.
“Kepanikan ini juga berdampak secara sosial dan ekonomi. Tentu butuh waktu lama untuk memulihkannya. Prosesnya tidak sebentar,” ucap dosen muda FISIP ULM ini.
BACA JUGA : Antisipasi Penularan Covid-19, Kapolda Kalsel Bertemu Tokoh Agama
Ia memuji ada hikmah dari peristiwa histeria publik terhadap Covid-19, karena bisa menyatukan kepedulian untuk saling tolong menolong. “Solidaritas ini modal sangat bagus dalam membangun konstruksi pilihan kebijakan. Tujuannya, agar cepat mengatasi masalah ini,” papar Taufik.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Dr Suriani Shiddiq pun mengakui perubahan yang terjadi di tengah wabah Corona, tidak selalu berdampak negatif. Namun, ada pula positif.
“Negara lain dengan tingginya kesadaran individunya, justru bisa respon cepat . Berbeda dengan kultur di negara kita, seringkali imbauan, fatwa atau sejenisnya dikeluarkan malah diragukan bahkan didebat, hingga akhirnya tak jalan,” ucap Suriani.
BACA JUGA : Punya Riwayat Keluar Daerah, Dua Warga Banjarmasin Bikin PDP Covid-19 Bertambah
Di tengah kondisi sekarang, Suriani mengakui banyak perubahan terjadi pada kultur dan budaya, hingga berimbas pada ekonomi. Ia pun menyarankan agar tidak membawa perubahan negatif, maka informasi berseliweran yang dikonsumsi masyarakat, harus dibatasi penyalurannya.
Menurut Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Kalimantan (JIMKa), chaos dan kekacauan sosial, sangat mungkin terjadi, jika pemerintah tidak mampu mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi di tengah masyarakat.
“Berbeda halnya dengan di negara maju yang juga mengalami musibah ini. Mereka sudah memiliki SOP, protap dalam menangani hal-hal yang bersifat darurat, atau bencana yang membahayakan keselamatan jiwa manusia,” imbuh Suriani Shiddiq.
Namun, Taufik Arbain menegaskan di kondisi sekarang di era revolusi industri dan digital, maka media sosial (medsos) menjadi instrumen utama di abad ke-21.
“Sekarang masyarakat cepat dalam mendapatkan informasi, tapi lambat dalam memahami maksudnya. Tentu, perlu pembatasan akses, agar informasi di dunia maya tidak dipenuhi kabar atau berita hoaks,” ucap Taufik.
BACA LAGI : Banjarmasin Bakal Diberlakukan Jam Malam, Tim Covid-19: Jika Warga Masih Keluyuran Di Luar
Di sisi lain, dosen yang juga peneliti ini mengakui kepercayaan masyarakat cukup rendah terhadap pemerintah, turut memicu persoalan itu. Ia berharap agar pemerintah terbuka dalam menyampaikan informasi, sehingga tokoh agama dan tokoh masyarakat bisa meneruskannya menjadi sebuah peringatan yang harus diperhatikan.
“Tentu saja, yang paling berdampak adalah psikologi masyarakat. Ketakutan, kepanikan, tapi bersamaan itu juga kurang begitu peduli atas imbauan pemerintah, maka problemnya ada pada psikologi dan komunikasi,” urai Taufik. (jejakrekam)