Ikan Terakhir Kampung Kaladan, Tidur Nenyaklah!

0

Oleh : Akbar Rahman

TERBAYANG awal kami pindah di Kaladan, kapal bertenaga uap mengantarkan. Hilir mudik kelotok penggandeng lusinan perahu rakyat menjadi pemandangan  dikala pagi dan sore di batang banyu.

KETIKA itu masih hijau, hasil anyaman keranjang dan tikar warga, dan tumpukan rumbia menghiasa lusinan perahu yang ditarik.

Adalagi keramba yang diikat di batang banyu. Ikannya begitu gemoy dan penuh menari-nari di keramba atau juga di sumur ikan. Anak-anak masih kecil saat itu, setiap pagi pengepul langganan datang mengambil sebagian ikan yang sudah dipilihkan.

Hasilnya cukup untuk ongkos hidup beberapa hari, harga sembangko masih murah, sisanya masih ada yang bisa dimasukkan ke celengan.Lamunanku terus melayang ke masa lalu, ingatan yang tak terlupakan. Hari ini terasa berbeda, di usia semakin senja. Kaladan sudah sangat berubah, setelah 50 tahun yang lalu, sebelum berpindah dari kampung yang lebih di hulu.

BACA : 3 Hari Ekspedisi Batang Banyu Merekam Budaya Luhur Pemukim Bantaran Sungai di Kalsel

Senja masih berselimut asap pekat yang sudah kami hirup beberapa bulan ini. Juga, seperti biasa gunung hitam perlahan lewat di beranda batang banyu . Tidak berselang lama lewat lagi, terhitung sudah 5 gunung hitam senja ini.

Setiap hari kami jadi saksi eksplorasi tambang yang sudah lebih 1 dasawarsa, entah sudah berapa juta ton batubara dibawa.

Warga Kampung Kaladan di Candi Laras Utara, Kabupaten Tapin tetap seperti dulu, tenang dan guyub. Namun sekarang, air bersih pun sulit didapat. Sanitasi juga masih menggunakan WC ‘cemplung’ atau mengapung di batang banyu, entah apa dampaknya kami tidak tahu, mungkin mereka yang tinggal di hilir sana lebih terdampak? Jalan kampung seadanya. Pernah beberapa bulan lalu kapal tongkang mencium rumah warga. Sederet rumah remuk, bantuan pun mengalir, jikalau tak viral mungkin warga hanya dapat ala kadarnya.

BACA JUGA : Konsep Batang Banyu yang Kian Berubah di Tengah Masyarakat Banjar

Selepas Isya. Pintu diketuk. Ternyata Kepala Kampung. “Ada yang ingin bertemu”, katanya. “Rombongan dari hilir” lanjutnya.”Siapa?” sahutku. “Rombongan peneliti” sahut Kepala Kampung.

Tak berselang lama, kami pun sampai. Terlihat di ruang tengah sudah berkumpul orang-orang yang serba berbaju hitam. Kemudian beberapa orang mulai menghampiri dan menyapa serta memperkenalkan diri, maksud dan tujuan. Es sirup dan kerupuk menemani perbincangan kami.

Banyak yang sudah kami bincangkan, mulai sejarah, sosial, budaya, ekonomi hingga ke soal politik. “Ya, mereka datang hanya jika akan pemilu, janji ini itu, setelahnya tetap beginilah kampung kami” jawabku lugas.

BACA JUGA : Bukan Hanya Susur Sungai, Hasil Kajian Ekspedisi Batang Banyu Direspons Rektor ULM

Kondisi lingkungan juga dibahas. Ku ceritakan apa adanya. Bagaimana nasib kami hari ini. Contohnya, perkebunan sawit telah mengganggu ekosistem air dan tanah. Kami semakin sulit mendapatkan ikan karena ekosistem terganggu, juga diperparah limbah batu bara yang mencemari batang banyu. Tak hanya di batang banyu, debu batu bara pun sering menghampiri rumah kami. Nasib kami di musim kemarau keasapan, musim hujan kebanjiran.

Pernah kami demo, menolak kondisi ini. Hasilnya, tidak banyak berubah, beberapa warga saja yang diperhatikan, diberi uang, jabatan, diam lah sudah.

Hari ini kesulitan mencari ikan, tidak seperti dulu. Demikian pula bahan kerajinan, sudah sulit tumbuh dan kami dapatkan di sekitar kampung, semuah tersisih perkebunan sawit dan tambang.

BACA JUGA : Pastikan Tapal Batas dan Produksi Batubara Adaro, DPRD Balangan Akan Cek Langsung Lokasi Tambang

“Apa harapan Pian? Untuk Kampung Kaladan selanjutnya?” Seseorang bertanya. Hampir lima kali pertanyaan ini diulang, sembari diselingi dialog-dialog ringan. Hanya bisa terdiam, tidak bisa menjawabnya.

Hatiku hanya bisa berbisik. Harapan apa? Hari ini kami dalam kesulitan, mencari pekerjaan sulit, pun kalau diterima, bisa bekerja diperkebunan sebagai tukang tebas rumput atau buruh kasar pengumpul sawit.

Anak-anak kami tidak bisa sekolah tinggi, kalau mau sekolah juga harus ke luar kampung, manalah ada biayanya. Beginilah kondisi kami, apa dan siapa yang bisa diharapkan? Rasanya lebih nyaman sebelum merdeka. Jawabku dalam hati. Sekarang aku sudah di rumah dan tertidur.(jejakrekam)

Penulis adalah Akademisi Fakultas Teknik Univeritas Lambung Mangkurat

Disarikan dari Catatan Ekspedisi Batang Banyu

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.